Sunday 21 September 2014

Terima Kasih, Nazliah.

Minggu, 21 September 2014. Siang hari ketika gue bingung mau ngapain, sampai akhirnya gue memutuskan untuk menulis artikel ini. Gue ngetik di kamar gue, seperti biasa, ditemenin sama detik dari jam weker Liverpool kesayangan, di kamar yang rencananya akan gue isi dengan banyak marchandise Liverpool FC. Hehe. Pagi tadi gue futsal jam 10.20-11.20, lumayan, olahraga, ngebakar dan mengurangi lemak di perut yang makin menggumpal. Akhirnya gue mandi sekitar pukul 13.40, karena keringetnya bikin badan jadi lengket. Selama gue mandi, entah kenapa gue kepikiran Nazliah. Sebenernya gue kepikiran dia dari seminggu yang lalu, yang gue pikirin itu, "kita ketemu ketika kita sama-sama ngerjain skripsi dan nemuin kesulitan, sampai akhirnya kita saling support dan saling bantu semampu kita, apalagi gue, gue ngerasa banyak dibantu lewat kehadirannya dia. Dia emang spesial". Tuhan memberi gue bantuan lewat perantara Nazliah. Tuhan pun memberi gue motivasi lebih melalui keluarga juga orang di sekitar. Tanpa maksud tidak menghargai yang lain, kali ini yang gue bahas adalah Nazliah.

Gue ngerasa seneng dan bersyukur, Nazliah hadir di waktu yang tepat. Kita sama-sama dari jurusan yang sama, cuma beda angkatan. Dia senior gue di kampus. Dia ada ketika gue butuh motivasi lebih untuk menyelesaikan Tugas Akhir alias skripsi. Gue emang (harus) bisa menyelesaikan skripsi gue sendiri, tapi, dengan adanya Nazliah, gue punya motivasi lebih dan ngerjain skripsi jadi menyenangkan. Gue ga perlu kebingungan cari temen sharing buat skripsi. Udah jadi realita, di saat ngerjain skripsi, temen-temen seperjuangan kita ketika kuliah entah ke mana. Engga, gue ga menyalahkan mereka, karena gue tahu, mereka juga sibuk dengan skripsinya masing-masing. Nazliah yang selalu nemenin dan jadi temen sharing ketika gue membutuhkan hal tersebut. Nazliah selalu nemenin dan ngedukung gue dalam pengerjaan skripsi, sampai akhirnya gue sidang di tanggal 29 Maret 2014. Rasanya berhadapan sama sidang skripsi itu deg-degan campur biasa aja. Ketika pengumuman kelulusan, pun, gue ngerasa biasa aja. Yang luar biasa adalah ketika di jalan pulang sendirian, dan tersadar, gue udah lulus.

Ga berhenti di situ, Nazliah nemenin gue sampai sekarang. Iya, kita "berkomitmen", mengusahakan, dan punya tujuan. Ga perlu diperjelas, kan, apa maksudnya? Hehe. Setelah lulus, kehidupan berasa dimulai dari nol, karena kita masuk ke tahapan awal menjalani kehidupan yang sebenarnya. Begitu kata orang bijak. Saat ini, gue dan Nazliah masih sama-sama berusaha menemukan pekerjaan. Gue amat sangat berharap, 2014 bisa produktif, paling tidak, di sisa 2014 yang tinggal beberapa bulan lagi. Produktif bisa berarti luas, kalau dipersempit, paling tidak mengacu pada berusaha, mengusahakan sesuatu. Dalam hal ini, bisa berusaha menghasilkan uang jajan buat diri sendiri. Sesekali rasanya berat, ketika beberapa teman yang lain sudah bekerja, dan kita masih berusaha. Berat itu bisa jadi ringan, ketika ada seseorang yang menenangkan.

Kalau mengacu sama judul artikel ini, sebenernya kurang berkesinambungan, tapi, kata terima kasih, tetap dan selalu jadi reward buat seseorang, supaya sesuatu yang baik itu bisa selalu dilakukan dan yang menerima (ucapan) akan jadi makin senang untuk melakukan hal tersebut. Terima kasih, Tuhan, Nazliah ada di waktu yang tepat. Terima kasih, Nazliah, kamu selalu ngisi hari aku (karena kadang aku ngerasa, kalau ga ada kamu, beberapa hal akan jadi berat, Di waktu kamu ada, banyak hal yang bisa dicapai).

:)

Wednesday 10 September 2014

Kicauan Burung

12.58 PM, waktu ketika gue buka notebook ini, pasang modem, dan menyambungnya ke notebook untuk segera menulis di blog ini. Gue bikin tulisan ini di kamar gue, letaknya di lantai 2, ditemani bunyi detik jam weker Liverpool FC kesayangan gue. Sesekali terdengar suara burung yang berkicauan dari luar rumah. Ya, mungkin si burung lagi cari temen ngobrol, karena dia ga mau menikmati cerahnya langit siang ini sendirian. Suasana di rumah siang ini sepi, seperti biasanya, Bokap kerja, Nyokap kerja, Kakak gue sekarang lagi di rumah nenek. Seperti biasa pula, gue enggan untuk nonton acara tv di siang hari, karena itulah tv gue matiin. Hasilnya, di rumah jadi sepi dan hening. Menurut gue itu lebih baik, dibanding gue menyalakan tv, tapi, ga ada satu pun acara yang bikin gue seneng.

10 September 2014, sekitar 5 bulan setelah gue lulus kuliah (gue dinyatakan lulus kuliah setelah mengikuti sidang skripsi pada tanggal 29 Maret 2014), gue masih belum juga bekerja. Di dua-tiga bulan pertama gue memang belum memutuskan untuk mencari pekerjaan, memilih untuk menyelesaikan revisi skripsi dan segala urusan yang menyangkut tentang administrasi perkuliahan terlebih dulu. Hasilnya memang baik, selama sekitar dua bulan revisi skripsi gue dengan tiga dosen penguji selesai, hardcover skripsi selesai, pendaftaran wisuda dan dapet toga pun udah. Gue tinggal mengikuti gladi resik untuk wisuda tanggal 7 Oktober 2014, dan wisuda pada tanggal 19 Oktober 2014. Permasalahan yang harus gue hadapi saat ini (mungkin juga beberapa temen diploma dan sarjana yang lain) adalah tuntutan sosial, di mana setelah lulus dan/atau wisuda, gue mendapat pekerjaan atau bisa menafkahi diri sendiri. Tuntutan sosial (atau lingkungan) menurut gue lebih berat dibanding tuntutan pribadi, karena gue harus siap untuk menghadapi perkataan orang lain, termasuk orang di sekitar gue yang ga terduga. Kalau gue ga siap, gue akan melemah. Gue harus menyiapkan diri untuk itu. Terhitung dari bulan Agustus 2014, gue mulai mencari dan melamar pekerjaan. Sampai saat ini, gue udah tiga kali memenuhi panggilan untuk psikotest dan interview. Belum ada hasil yang memuaskan, memang, tapi, paling tidak, gue bergerak dan ga statis. Mau gimanapun, ini proses, gue sedang menjalani proses sebelum akhirnya gue bekerja kelak dan gue harus menghargai diri gue yang masih dan selalu mau berusaha. Gue memegang kendali atas diri gue, itu kenapa di waktu gue down, melemah dari segi mental, gue ajak ngobrol diri sendiri, maunya apa, harus gimana, dan lain sebagainya. Ya, gue berbicara dengan diri sendiri lewat berpikir dan/atau ngomong sendiri di dalam hati.

Otak gue berasa "gatel", kalau ada temen yang lagi nyinyir tentang temen yang belum dapet pekerjaan, sedangkan mereka sendiri bekerja karena "ditempatkan" oleh orang lain. Ga sepantesnya kita ngejek orang lain yang jelas-jelas sedang berjuang, berusaha buat dapetin apa yang dimau. Kenapa ga didukung? Minimal diajak ngobrol, apa yang dia suka, apa yang dia mau. Itu yang gue lakuin ketika gue belum tau apa permasalahan orang lain. Bukan berarti kepo. Mungkin betul, seseorang emang ga akan ngerti dan ga akan bisa ngerasasin ada di suatu posisi, sampai akhirnya seseorang itu ada di posisi tersebut. Beberapa atau banyak dari temen gue yang masih menganggur sampai sekarang, gue lagi ada di posisi itu. Pertanyaannya, siapa yang mau nganggur dan luntang-lantung? Gue dan banyak temen-temen yang lain yang masih usaha cari pekerjaan dan banyak cara yang ditempuh, lewat internet, datang ke jobfair, cari info ke temen, atau mungkin ada yang sedang merintis usaha pribadi (bisnis, wirausaha). Itu semua pasti menyenangkan. Ga ada yang sia-sia, termasuk usaha kita buat dapetin yang diinginkan.

Lewat tulisan ini, gue menyampaikan keluh, tapi, kita semua harus bikin jaminan sendiri, keluh kita sekarang diganti dengan rezeki yang lebih dimudahkan. Ga apa kita mengeluh, tapi, setelahnya kita harus balik berjuang. Selain itu, gue berharap yang sudah bekerja, bisa mencintai apa yang dikerjakan. Yang belum bekerja, segera menemukan pekerjaan yang diinginkan. :)

Catatan Seorang Perekrut #17 Recruiter yang Insecure dengan Perjalanan Karirnya

Jumat, 14 Juli 2017. Hari yang nggak akan pernah saya lupakan dalam perjalanan karir yang, usianya masih seumur jagung ini. Hari di mana akh...