Sunday 2 October 2016

Asisten Laboratorium

Agustus 2009, gue resmi jadi Mahasiswa di salah satu Universitas ternama berinisial UG. Universitas Gunadarma kepanjangannya. Fokus cerita kali ini bukan tentang kegiatan kuliah gue selama hampir 4,5 tahun, bukan. Kali ini lebih spesifik, gue mau mengenang pengalaman selama menjadi asisten laboratorium atau yang lebih dikenal dengan sebutan aslab.

Pertama kali gue tertarik jadi aslab adalah ketika gue jadi praktikan (mahasiswa yang menjalani praktikum) di semester dua. Gue langsung yakin dengan sotoynya, gue harus jadi aslab di semester 6 nanti (karena salah satu syarat jadi aslab di kampus gue ketika itu adalah sudah memasuki semester 6) dan gue langsung cerita ke mama, gue pengen jadi aslab. Setelah kurang lebih tiga tahun kuliah, akhirnya gue segera mendaftar jadi calon aslab begitu ada informasi mengenai penerimaan aslab. Setelah melalui beberapa proses dan mama yang mendoakan, akhirnya gue diterima, Cerita selesai. Engga, deng, engga sesingkat ini juga.

Sampai dengan saat ini, gue masih ingat, pertama kali gue berdiri di depan lab, jadi tutor buat para adik kelas adalah menjelaskan tentang pengerjaan tes pauli. Banyak diantara kalian pasti pernah dengar kalimat, "selalu ada pengalaman pertama dan pengalaman pertama seringkali bikin deg-degan", gue pun merasakan hal itu ketika pertama kali jadi tutor. Deg-degan, bicara gak karuan, gue belum bisa kontrol keadaan saat itu. Lucu kalau diinget. Sampai akhirnya, gue bisa membiasakan diri dengan rutinitas itu.

Kontrak aslab itu kurang lebih enam bulan, ketika kontrak berakhir, pilihan ada di aslab itu sendiri, jika ingin lanjut, tanda tangan perpanjangan kontrak, jika tidak, tidak perlu tanda tangan. Di lab sendiri memang ada peraturan seperti itu, pernah dapat penjelasan dari dosen, agar mahasiswa yang menjadi aslab terbiasa dengan lingkungan kerja nantinya, khususnya tentang kontrak kerja. Itu ilmu sekaligus bekal nantinya, dan gue memilih untuk perpanjangan kontrak, hal itu berlangsung selama kurang lebih dua tahun.

Selama menjadi aslab, tentu gaya dalam memberi materi kepada adik kelas berbeda antara aslab satu dengan aslab lainnya. Terlalu panjang kalau gue bercerita bagaimana gaya teman-teman gue yang jadi aslab satu per satu. Gue sendiri lebih menyukai memberi materi sambil bercanda, adik kelas bebas melakukan yang mereka mau, ngobrol, bercanda bareng gue, sambil main hape, kayang, jualan, etapi gak sampai segitunya juga, sih. Mungkin gue satu-satunya aslab yang pakai kata "gue-elo" dalam menyampaikan materi, karena gue sempat tanya ke teman-teman aslab yang lain, mereka kalau menyampaikan materi biasanya pake kata sapaan "aku-kamu" atau "saya-kamu". Bebas, menurut nyamannya masing-masing. Selama jadi tutor, biasanya kelompok gue paling rame, ketawa berisik dan dikenal suka ngobrol. Gue gak risih, karena memang nyamannya seperti itu, yang penting praktikan mengerti dan paham materi yang disampaikan. Disamping itu, gue pun seringkali tanya terlebih dulu ke praktikan, mereka lebih suka cara belajar seperti apa. Setiap praktikan yang ditanya, selalu mengeluarkan jawaban yang sama, intinya gak kaku dan sambil bercanda. Sederhana. Itu yang jadi alasan gue kenapa ketika jadi aslab selalu bikin rame kelompok. Diajak bercanda dulu, setelah mereka puas bercanda dan ngobrol, baru gue akan menyampaikan materi parktikum. Pengalaman berharga, karena dari situ gue sedikit belajar beradaptasi soal gaya belajar. Selain itu, sesekali gue suka kasih reward buat praktikan yang bisa jawab ketika diberi pertanyaan. Seringnya cokelat. Mereka suka kalau ada reward. Memang, reward lebih efektif dibanding punishment.

Gue seringkali menggebu-gebu kalau cerita soal pengalaman jadi aslab, secara langsung atau tulisan. Excited. Mungkin, ini berkaitan sama apa yang gue suka dan gue mau di masa lalu. Gue tau ini ga akan pernah terulang, setidaknya, gue selalu bisa mengenang. Ruangan lab pun jadi salah satu ruangan yang selalu punya kenangan sendiri ketika gue bisa berkunjung ke sana. Sampai dengan detik ini, gue belum pernah berkunjung ke lab lagi. Terakhir kali gue ke lab, sewaktu gue sebar undangan pernikahan. Emosional.

Gue ngerasa tulisan ini kurang terstruktur dan kurang menceritakan banyak detail dari apa yang gue jalani selama jadi aslab, tapi, gue pastikan kenangan dan detailnya terekam dengan baik di ingatan jangka panjang gue.




Orang Baik

Sabtu dan minggu, waktu yang pas buat bermanja-manja bareng istri, menurut gue, termasuk bercanda, cerita tentang hal apapun, juga kumpul bareng keluarga. Tiduran, denger istri nyanyi, masuk dalam agenda sederhana di sabtu dan/atau minggu. Ketika streaming beberapa channel di youtube sambil tiduran, gue ngeliat beberapa video eksperimen sosial, yang paling menarik perhatian gue, ekseprimen sosial tentang wanita yang berhijab dan digoda oleh beberapa orang (beberapa orang ini tentu rekan-rekan dari si wanita --settingan--, namanya eksperimen sosial, pastinya ingin melihat bagaimana orang di sekitar akan bertindak ketika melihat kejadian seperti itu), yang kedua, tentang seseorang yang beragama Islam dan melaksanakan solat di jalanan tempat orang berlalu-lalang dan diganggu oleh seseorang (yang pastinya juga kerabatnya, karena sedang melakukan eksperimen sosial dan ingin melihat bagaimana orang disekitar bertindak, ketika ada seseorang yang beribadah, lalu diganggu oleh seseorang yang tidak dikenal), yang ketiga tentang seseorang yang ingin menggunakan jasa transportasi ojek online, dia sudah memesan ojek online, driver ojek online sudah datang, dan dia menjelaskan, sedang terburu-buru ingin menjenguk ibunya yang sedang sakit, namun karena uang dia sudah habis untuk beli obat, dia tidak bisa membayar tarif yang sudah ditentukan, di sini eksperimenter ingin mengetahui, apakah driver ojek online akan tetap mengantar dengan sukarela, walaupun tanpa dibayar sepeserpun.

Hasil dari ketiga sosial eksperimen itu positif, dalam tiga kasus yang berbeda, selalu ada orang baik yang menolong. Ketika menonton video sosial eksperimen itu, gue teringat mengenai persoalan yang pernah gue share ke sahabat gue semasa kuliah, tentang orang baik. Tanpa maksud menggurui, gue punya pemikiran, "ketika kita percaya di dunia ini masih banyak orang baik dan fokusnya adalah orang itu baik, maka kita akan dikelilingi oleh orang baik", dan gue percaya akan hal itu. Salah satu dosen pernah menjelaskan, "apa yang ada di sekitar, itu cerminan dari diri kita. Kalau kita mau mendapatkan hal lain yang lebih baik, dimulai dari mengubah diri sendiri, karena tanpa disadari, kita selalu berkumpul, berteman, berkelompok dengan orang yang memiliki kesamaan dengan kita". Orang baik akan selalu ada dan pasti akan selalu ditemukan, karena mau berada di manapun, orang baik akan selalu menjadi orang baik, ditambah lagi, orang baik tidak perlu menjelaskan bahwa dirinya baik.

Masih banyak orang baik dan hal positif yang bisa dilakukan, kok. Yakin dan temukan.

Catatan Seorang Perekrut #17 Recruiter yang Insecure dengan Perjalanan Karirnya

Jumat, 14 Juli 2017. Hari yang nggak akan pernah saya lupakan dalam perjalanan karir yang, usianya masih seumur jagung ini. Hari di mana akh...