Thursday 30 December 2021

Catatan Seorang Perekrut #17 Recruiter yang Insecure dengan Perjalanan Karirnya

Jumat, 14 Juli 2017. Hari yang nggak akan pernah saya lupakan dalam perjalanan karir yang, usianya masih seumur jagung ini. Hari di mana akhirnya saya menandatangani kontrak kerja kembali, setelah selama dua minggu menganggur. Kondisi saya kala itu sudah memiliki istri dan seorang anak berusia tiga bulan. Ada perasaan lega, karena akhirnya saya bisa bekerja setelah sebelumnya resign dari kantor sebelumnya. Hal tersebut menjadi sangat spesial, karena pada akhirnya, saya bekerja di posisi yang selama ini diinginkan: recruiter.

Saya ingat betul, hari pertama mengikuti training di kantor. Begitu antusias. Sangat menggebu-gebu. Saya merasa siap, menjalani apa yang selama ini diidam-idamkan. Bukan lagi mengendap dalam angan. Melainkan sudah menjadi kenyataan.

Rasanya bergairah dan penuh semangat menjalani hari-hari sebagai recruiter. Mulai dari screening CV, wawancara dengan banyak pelamar kerja, memberi arahan kepada para kandidat untuk mengerjakan psikotes, sampai memberi kabar kepada mereka bahwa, mereka lolos semua tahapan dan diterima bekerja.

Sekali lagi, ini adalah salah satu momen terbaik saya dalam berkarir. Meski lelah secara fisik, pikiran, dan batin, saya merasa sangat-sangat-sangat bahagia bekerja di ruang lingkup ini. Vibes tersebut juga dirasakan oleh istri saya, Nazliah, yang sering kali berkata, “Kamu bawaannya happy terus sekarang, aku seneng liatnya.”

Setidaknya, hal itu yang saya rasakan di tiga tahun bekerja sebagai recruiter—posisi yang sangat saya inginkan.

Setelahnya, sampai dengan saat ini memasuki tahun ke-5 saya bekerja di posisi ini, rasanya biasa-biasa saja. Saya kehilangan gairah dan seperti kehilangan arah. Pada titik tertentu, saya mengajak diri ini berdiskusi, “Setelah ini, apalagi yang ingin dilakukan? Mau ke mana? Mau sampai kapan menjadi recruiter?”

Meski di waktu yang bersamaan, saya sering merasa kurang percaya diri dan malah balik bertanya kepada diri sendiri, “Memangnya, apa saja yang sampean sudah bisa lakukan? Yakin, perusahaan lain butuh kemampuan yang sampean miliki saat ini? Pesaingmu yang punya CV jauh lebih mentereng itu banyak, lho.”

Dalam hal ini, saya sangat menyadari bahwa, passion dalam bekerja nggak menjamin apa-apa, di antara sekian banyak naik-turunnya emosi pada saat bekerja yang sangat dinamis. Juga, pengaruh dari faktor X yang, ada-ada saja atau sering kali diada-adain oleh rekan kerja.

Itulah kenapa, setelah tiga tahun bekerja sebagai recruiter, saya mencoba menemukan kegiatan baru. Salah satunya, menulis. Mengirimkan tulisan saya ke media online. Satu yang saya idam-idamkan adalah, tulisan saya bisa tayang di Mojok.Co. Alasannya sangat sederhana, karena saya adalah pembaca Mojok dan saya suka dengan ragam tulisan yang bermunculan di sana.

Singkat cerita, dengan bermodal nekat-nggak tahu diri-dan berharap kepada keberuntungan pemula, saya memberanikan diri kirim tulisan. Ya, gimana ya. Saya nggak tahu dunia kepenulisan, teknik menulis, dan sebangsanya. Saya hanya pengin berbagi cerita—apa pun itu—yang dekat dengan diri saya. Tentang keseharian, pekerjaan, hobi, keresahan, dan lain-lain.

Ndilalah, tulisan saya tayang. Ada yang di Mojok, ada juga yang di Terminal Mojok. Total tulisannya memang nggak banyak. Tapi, saya sangat menikmati honornya prosesnya. Dan, karena itu pula, jika kalian mengetik nama saya secara lengkap melalui mesin pencarian di internet, beberapa mahakarya—setidaknya bagi saya sendiri—saya akan terpampang di halaman pertama, bersamaan dengan profil LinkedIn saya yang, biasa-biasa saja.

(Barangkali nggak percaya, sila ketik nama saya di google dengan kombinasi: Seto Wicaksono, Terminal Mojok. Pasti akan ada beberapa link rujukan.)

Menulis, betul-betul menjadi katarsis sekaligus sublimasi bagi saya yang, sedang memasuki fase hilang arah dalam bekerja. Bahkan, di posisi yang saya pikir menjadi passion. Menulis, seakan menjadi obat bagi saya di kala jenuh. Lambat laun—meski tulisan saya nggak bagus, bahkan dibilang jelek saja belum—saya senang menulis. Bercerita apa pun melalui tulisan.

Hitung-hitung, bisa menjadi personal branding tersendiri. Seperti misalnya, “Recruiter yang hobi menulis.” Paling nggak, portofolio saya jadi nggak polos-polos banget gitu.

Sejauh ini, kegiatan menulis menjadi time out terbaik bagi saya dalam berkarir. Sebab, saya mendapatkan banyak hal. Circle pertemanan baru, honor yang tidak sedikit, dan pengalaman berinteraksi dengan para redaktur Mojok. Mulai dari Cik Prima Sulistya, Mas Yamadipati Seno, Mas Ahmad Khadafi, Mba Audian Laili, Mas Rizky Prasetya, Mba Intan Ekapratiwi, Mba Ajeng Rizka, dan Mba Nia Lavenia (orang yang mempopulerkan istilah Raja Cabe kali pertama, buat saya. Hehehe).

Dan yang paling bikin saya deg-degan adalah, saya di-follow Mas Puthut EA di Twitter! Kepala suku Mojok. Serius. Ketika di-follow Mas Puthut, saya langsung lapor Nazliah, “Sayang, aku di-follow Kepala Suku Mojok, Mas Puthut! Aduh, gimana ini?” iya, kala itu, saya seheboh itu—untuk tidak menggunakan istilah panik.

Setelah cukup rutin menulis selama kurang lebih dua tahun, energi saya untuk menulis rasanya mulai berkurang. Nggak hilang, hanya saja intensitasnya menurun. Masih menulis, tapi tidak sesering dulu. Paling tidak, itu yang saya rasakan saat ini. Namun, saya nggak bisa membohongi diri sendiri bahwa, saya mulai merasa senang menulis. Nggak peduli dibaca oleh orang lain atau tidak. Bagus atau jelek. Saya hanya pengin bercerita, mengeluarkan unek-unek, sekaligus menyampaikan pikiran yang mengendap.

Menulis, menjadi time out terbaik di kala saya merasa insecure, dengan karir yang saya geluti saat ini. Ya, saya insecure dengan segala hiruk pikuk yang sedang dihadapi di ruang lingkup pekerjaan. Ada beberapa hal yang terlalu riskan untuk diceritakan secara gamblang. Dalam hal ini, keresahan yang saya rasakan, beberapa di antaranya sudah saya tuliskan dan tayang di Terminal Mojok.

Saat ini, dalam konteks pekerjaan yang dilakoni, saya sangat rindu berada dalam fase: meski lelah bekerja, tapi tetap merasa bahagia. Dan barangkali, kita semua sepakat bahwa, sebaik-baiknya obat rindu, adalah bertemu.

Catatan Seorang Perekrut #17 Recruiter yang Insecure dengan Perjalanan Karirnya

Jumat, 14 Juli 2017. Hari yang nggak akan pernah saya lupakan dalam perjalanan karir yang, usianya masih seumur jagung ini. Hari di mana akh...