Monday 25 February 2019

Catatan Seorang Perekrut - Do The Impossible. #5

Akhirnya gue tiba di lokasi interview di kawasan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, untuk keperluan interview sebagai Rekruter. Gue diminta untuk mengisi form aplikasi (pendaftaran), lalu menunggu nama gue dipanggil oleh pewawancara. Kala itu hari kamis, tepatnya tanggal 6 Juli 2017. Gue memakai kemeja garis putih biru, celana bahan krem, pantofel boots warna cokelat. Ya, gue ingat betul outfit yang gue kenakan waktu itu.

Sama seperti proses pada umumnya, jelas, gue engga sendiri, ada orang lain dengan latar belakang pendidikan sama yang melamar untuk posisi ini, sebagai Rekruter. Di luar dugaan gue, ternyata dua senior gue di kampus ikut proses ini, total sama gue jadi empat orang, plus satu orang dari kampus lain. Tau akan hal itu, gue yang tadinya siap "menjual kemampuan" gue ke perusahaan langsung turun mental juangnya, bukan tanpa sebab, dua senior gue ini sudah berpengalaman di bidang HR plus rekrutmen. Lalu, apalah gue ini yang pengalaman kerja pertama justru di perbankan? Bukan maksud tidak menghargai orang-orang di kantor sebelumnya, apalagi menyepelekan ilmu yang didapat di sana, tapi, kebayangkan? Gue yang dianggap "lulusan baru" harus berhadapan dengan senior, berpengalaman. Pasrah dan lesu gue saat itu, nothing to lose. Do not go down without a fight, pikir gue. Gue mencoba menenangkan diri dengan cara mengobrol dengan dua senior gue itu, sambil cari celah dan "mengamankan" komunikasi gue biar ga terbata-bata dan kaku, juga kembali optimis. Bersiap Do the Impossible.

Dua senior gue dipanggil lebih awal untuk interview, mereka tampak tenang dan percaya diri selepas interview. Tibalah saatnya gue yang diinterview. Awal mula pastinya gue memperkenalkan diri, soal latar belakang pendidikan, pengalaman sewaktu di kampus, pengalaman kerja. Gue cerita banyak hal soal gue dulu pernah jadi asisten lab psikologi untuk menjual kemampuan gue di bidang alat tes psikologi, kemudian gue cerita semua yang gue kerjakan sewaktu gue kerja di bidang perbankan. Terakhir, gue dapet pertanyaan, "kenapa mau kerja sebagai rekruter?", Gue mengela nafas, diam sejenak. Gue senyum, lalu gue jawab dengan antusias, "saya suka sekali ruang lingkup ini, saya menyukai apa yang saya lakukan selama kuliah, saya ingin menambah kemampuan saya di bidang ini". Wawancara tahap pertama selesai, sekitar jam 10 gue psikotes bersama dengan senior gue. Beres sekitar jam 12, lalu istirahat. Diinfokan bahwa akan interview lanjutan dengan Manager HR jam 14.00.

Lega, akhirnya gue bisa lanjut menunjukan antusiasme gue ke Manager nanti di jam 14.00, sambil menunggu momen itu, gue makan dulu, mau gimana pun, gue lapar. Hehe. Singkat cerita, gue selesai makan siang, lalu langsung kembali ke lantai atas lokasi wawancara.

Gue urutan pertama kandidat yang dipanggil oleh Manager. Deg-degan bukan main, tapi gue coba menetralisir situasi. Gue memasuki ruangan dengan menyapa Pak Manager, "siang, Pak". Lalu dibalas dengan sapaan, "siang, Mas. Silakan duduk, dengan Mas Seto, ya". Dilanjut dengan perkenalan diri gue, pengalaman kerja gue sebelumnya di mana, apa aja yang dikerjakan. Sampai pada pertanyaan terakhir gue ditanya, "Mas, terakhir aja dari saya, kasih saya alasan, kenapa saya harus memilih Mas Seto?". Waduh, sempet blank gue ditanya soal ini, karena gue harus bisa "menjual" diri gue melalui jawaban yang keluar dari mulut gue yang mulai grogi dan agak pasrah. Entah dapet kekuatan dari mana, mulut gue spontan menjawab, "saya punya integritas dan komunikasi yang baik, saya rasa hal itu dibutuhkan oleh perusahaan". Setelah jawab itu, gue langsung mikir, "loh? Itu spontan banget gue jawabnya? Seakan ga mikir dulu". Selesai sesi wawancara gue yang berjalan sekitar 7 menitan.

Dilanjut dengan senior gue yang wawancara dengan Manager. Dia lama banget di dalam ruangan, sekitar 20 menit. Setelah beres gue langsung ngobrol sama dia, yang ditanya apa aja, kok bisa lama. Dia menjelaskan apa aja yang ditanya, salah satunya soal benefit. Gue down saat itu, karena gue ga ditanya soal benefit. Makin pesimis gue, gue ga ditanya apa pun soal benefit beserta negosiasi lainnya. Gue juga langsung ngabarin istri gue, "kayaknya aku ga diterima, deh. Soalnya yang lain ditanya benefit dan udah pengalaman, aku ga ditanya soal itu sama sekali". Istri gue jawab, "ga apa-apa, yang penting kamu udah coba. Kita liat aja nanti". Setelah itu gue langsung pulang dengan pasrah dan pemikiran, "ikhlasin aja lah kalau belum rezeki". 

Mau gimana pun, gue udah mencoba, berusaha, berjuang juga buat posisi yang gue mau. Gue udah memberikan proses yang terbaik yang gue bisa sewaktu wawancara, psikotes, dan lain-lain. Selebihnya, gue tinggal berusaha lagi biar bisa kembali bekerja, memberi nafkah untuk istri dan anak.

Do the impossible.

Monday 18 February 2019

Catatan Seorang Perekrut - Masa Peralihan. #4

01 Juli 2017, gue resmi jobless alias jadi pengangguran setelah 2 tahun 10 bulan bekerja. Campur aduk rasanya ketika harus menganggur, padahal udah ada tanggungan. Banyak yang nanya, kenapa ga dapetin kerja dulu baru resign? Dapetin belum, tapi sebelumnya gue udah coba beberapa kali interview, hasilnya masih nihil. Jadi, atas dasar obrolan bareng istri, gue akhirnya resign dulu, sebelum dapet kerja kantoran rencananya gue mau jadi ojek online.

Kenapa gue resign padahal belum dapet kerjaan baru? Singkat cerita, gue resign karena alasan prinsip. Sedikit ceritanya gue ceritakan di tulisan ini: Resign Dari Perbankan dan ini: Farewel, Comrades. Mungkin, kalian harus baca juga dua artikel itu, biar bisa tau alasan gue resign. Hehe. Gue ga minta dipahami, itu alasan gue pribadi, kok. Setelah gue resign, syukur, gue dan istri dengan tabungan seadanya, kurang lebih dua juta ketika itu, ngerasa tenang dan aman aja deg-degan lah pastinya apalagi gue udah diamanati satu orang anak, yang mana dia perlu popok dan kelengkapan lainnya. Dua juta dan harus menghidupi dua orang. Cuma ya gue lanjut berdoa sambil apply banyak posisi.

Dua juta tanpa ada pemasukan tambahan pastinya berkurang juga, dong. Nah, pada prosesnya, dari segi keuangan gue diback-up sama orang tua gue dan mertua. Syukur, pada waktu itu gue didukung secara moril dan materi, jadi gue ga drop banget mentalnya. Paling, ya, Bokap gue aja yg agak cemas, seringkali nanya, udah ada panggilan (kerja) belum. Antara cemas dan perhatian. Dari tatapan Bokap ketika itu dia juga mungkin ngerasa kasian sama gue yang belum dapet kerja, sedangkan gue ada tanggungan. Gue ga menyesali sama sekali, karena ini semua pilihan yang udah didiskusikan bareng istri.

Ketika nganggur, gue pernah coba lamar jadi ojek online, entah memang karena belum rezeki, dalam prosesnya gue ngerasa dipersulit. Waktu lamar ke ojek online buatan anak bangsa, antriannya rame banget dan lagi gue ternyata dapet notifikasi palsu, jadi ga bisa diproses sampai ada notifikasi resmi. Daftar ke ojek online buatan negeri tetangga, karena diharuskan buat rekening salah satu bank terlebih dahulu, mau ga mau gue urus ke bank dulu, tapi di awal gue udah digalakin satpamnya, dia bilang, "kalau buat urus rekening jadi driver ojek online, pendaftaran udah tutup, besok lagi aja!". "Ya ampun, lagi usaha cari kerja gini amat", dumel gue. Gue sempat pasrah, down juga, kepikiran gimana nasibnya Nazliah dan Tobio, makan apa, bayar kebutuhan di rumah gimana. Ya, gue terus berdoa.

Sewaktu gue nganggur, Nyokap gue yang berprofesi sebagai guru SD kebetulan lagi libur semester, selama Nyokap libur, beliau selalu ngajak gue, Nazliah, dan Tobio jalan-jalan. Suatu waktu, kami jalan bareng ke salah satu mall ternama di kota Tangerang, niatnya memang jalan-jalan biasa, pastinya sih, kami ditraktir Nyokap. Hehe. Kami jalan-jalan di awal bulan Juli 2018, gue inget banget, di hari Selasa. Di jalan berangkat menuju Tangerang, di grup temen-temen kampus Nazliah ada info, di salah satu kantor temannya lagi butuh posisi untuk Rekruter, posisi yang memang gue mau banget, gue impikan dalam bekerja. Nazliah nanya ke temennya di chat personal, "boleh, nih, lowongannya, suami gue lagi butuh kerja dan bisa gabung secepatnya, boleh coba? Alamat kantornya di mana?" selama main di mall itu, chatnya belum berbalas, gue hopeless juga, sih, gue sempet mikir, "ya udah, kalau belum ada info lagi, mungkin belum rezeki". Akhirnya kami pulang menuju Bogor, tiba di rumah sekitar jam 21.30, gue langsung cuci piring dan leyeh-leyeh, istirahat. Ga lama kemudian, Nazliah dapet balesan dari temennya, "boleh, kalau mau coba, langsung datang aja besok, alamatnya di ..............", gue langsung ditantang sama Nazliah, "itu, kamu bisa langsung datang aja besok, gimana?" respon gue saat itu, "yakin besok banget? Aku capek, mau istirahat dulu besok, lagian kita belum nyiapin dokumen apa pun, loh, aku juga rasanya belum siap", Nazliah langsung negur gue, "ya udah, coba dulu aja, kesempatan belum tentu datang dua kali, nothing to lose aja sambil bismillah". Jujur aja, nyali gue tiba-tiba ciut, turun drastis, gue langsung ga yakin bisa atau engga. Akhirnya gue meng-iya-kan, Nazliah bantu gue beres-beres dokumen dan kemeja apa yang akan dipakai besoknya untuk interview. Gue langsung mandi, ke kamar, lalu making love  diskusi soal apa yang harus gue persiapkan besok, kira-kira pertanyaan apa aja yang gue dapat. Kami beres diskusi sekitar jam 12 malam, sebelum tidur gue genggam tangannya Nazliah, liat dia sekaligus Tobio, berharap emang rezeki gue.

Gue bangun jam 5 subuh, bersiap, akhirnya naik kereta keberangkatan 6.20 dari stasiun bogor, tiba di alamat perusahaan yang dituju tepat jam 08.30, gue langsung isi form aplikasi dan bersiap interview kerja pertama setelah resign..

Gue mau mengutip salah satu quote yang gue suka ketika gue lagi ngerasa ragu, takut, atau down secara mental, "What are you afraid of?" -Rukawa Kaeda.

Thursday 14 February 2019

Membalas Kebaikan Orang Tua

Sudah dari tiga tahun yg lalu gue mikir, "sampai kapan pun, gue ga akan pernah bisa balas budi ke orang tua buat semua kebaikan yg mereka beri, dari kecil sampai sekarang, dari mulai biaya melahirkan gue, sampai ke biaya pernikahan gue, bahkan sampai dengan biaya saat ini". Harus gue akui, secara finansial gue belum bisa betul-betul mandiri. Hehe.

Jika kebaikan yg orang tua beri buat gue termasuk hutang, gue udah kehabisan akal, gimana caranya mengembalikan hutang ke mereka. Ga akan bisa gue balikin sama sekali. Terlalu banyak kebaikan yg mereka bagi.

Setelah mereka kehilangan satu unit mobil dan uang tunai 100juta++, saat ini mereka sedang dalam titik terendah dalam hidup. Secara materi gue belum mampu menggantikan hal itu, tapi gue selalu meyakini, akan ada ganti yg lebih baik, entah melalui perantara gue sebagai anak, entah rezeki langsung ke orang tua gue, atau bahkan mereka sudah disediakan pahala yg tak terhingga? In shaa Allah, wallahualam. Yg jelas gue selalu berharap dalam doa, mereka dalam kondisi sehat, baik, juga bahagia.

Oleh karena gue ga bisa bayar "hutang" gue ke mereka, jadi gue alihkan itu, jadi janji ke diri sendiri, bahwa gue harus menghidupi istri dan anak secara layak, memberikan fasilitas dan pendidikan yg jauh lebih baik untuk anak dibanding yg gue dapat. Gue ingin rezeki gue dilebihkan, bukan lagi dicukupkan.

In shaa Allah. Aamiin.

Wednesday 13 February 2019

Catatan Seorang Perekrut - Bertolak Belakang. #3

Dari pengalaman kerja di bank selama 34 bulan, gue jadi paham soal hiruk-pikuknya bekerja. Mulai dari karakter nasabah, pekerjaan yang numpuk, awal dan akhir bulan yang selalu ramai, belum lagi jaringan/sistem offline. Berikut beberapa rangkuman pengalaman gue dari awal-akhirnya resign.

Pertama, adaptasi gue kerja di bank cukup lama, butuh waktu tiga bulan, sampai akhirnya gue tau alurnya, kalau ada case harus lapor ke mana, cek ke mana, kendalanya di mana. Kalau ada retur transaksi harus gimana. Soal kliring warkat debet, ini gue harus belajar sekitar dua minggu dan terus didampingi. Prosesnya sederhana sebetulnya, tapi ada batas waktu untuk submit ke kantor pusat. Itu yang bikin deg-degan. Apalagi kalau udah ketemu Letter of Credit atau SKBDN, muka gue udah ga ngenakin, pikiran juga ke mana-mana. Ribet buat gue.

Kedua, soal nasabah. Namanya interaksi sama banyak orang, khususnya di dunia pelayanan, kita dituntut untuk bisa menyesuaikan ketika berkomunikasi dengan mereka. Entah melalui telfon atau tatap muka. Di dunia pelayanan, ada yang beranggapan sebenar apa pun kita sebagai "pelayan" mereka, kalau nasabah lagi kesal, ya kita kena marah juga. Hehe. Satu yang pasti, -maaf sebelumnya, mungkin gue salah- gue tidak pernah menganggap nasabah/pelanggan itu adalah raja, buat gue pribadi, ga semua raja itu baik dan bijaksana. Gue tetap melayani dengan baik, tapi tidak sampai berlebihan menganggap mereka raja.

Ketiga, soal rekan kerja. Pertama kali gue datang ke ruangan kerja, pastinya gue deg-degan. Lingkungan kerja baru, suasana baru, teman baru, tanggung jawab baru. Bunda (supervisor yang gue ceritakan di bagian sebelumnya) yang "membuka tangannya" untuk gue pertama kali. Gue nanya ke beliau, apa aja yang akan jadi tanggung jawab gue. Gue inget di minggu pertama gue kerja, gue salah input transaksi transferan dalam negeri, gue yang belum ngerti apa-apa ngerasa bersalah banget ketika itu, tapi kesalahan memang harus terjadi biar gue bisa berbenah diri dari kesalahan yang dibuat. Mas Iweng sebagai senior yang pemahamannya luas banget soal perbankan, banyak tahu soal transaksi, gue belajar banyak dari beliau. Ada satu kalimat dari Mas Iweng yang gue inget banget dan nempel di kepala sampai dengan saat ini (no offense, Mas Iweng, hanya sekadar mengingat kejadian. Hehe), "lu ga akan ada di sini bareng kita, kalau Sinta (rekan kerja terdahulu) ga pindah posisi". Waktu itu gue bingung dan mikir, "Loh? Ya mau gimana, ini kan rezeki gue, gue pun masuk ke sini usaha sendiri, ga pakai orang dalem". Kejadian itu membekas hingga sekarang. Bu Tini, senior yang biasa handle transaksi luar negeri dan penggajian instansi pemerintah pun swasta. Bu Tini ini kalau awal dan akhir bulan ga boleh diganggu, karena lagi sibuk-sibuknya ngurusin gajiannya orang lain. Mas Iweng biasanya selalu ngingetin sambil berbisik, "jangan ganggu lu, tar dimarahin". Kalau inget itu, lucu aja, kami jadi ga banyak tingkah di ruangan. Hehe. Ada juga si kliring man, Deri. Dia tiap habis proses kliring, balik dari lembaga kliring, keluhannya hampir selalu sama, "ih, cemilan di kantor abis mulu kalau gue udah balik, ga disisain apa". Kocak, dia selalu keabisan cemilan dan biasanya kami ga inget buat nyisain.

Bagian ketiga sub A, mengenai pergantian rekan kerja. Deri yang pertama kali meninggalkan kursinya, karena pindah bagian menjadi marketing mikro. Masuk Juliano menggantikan Deri. Keliatan banget di awal Ano ga menguasai kliring, wajar, namanya juga pengalaman pertama. Dia sering dicengin karena cukup lama proses untuk mengerti apa yang dikerjakan, sampai akhirnya dia bilang, "awas lu semua, ya, gue buktiin setahun ke depan gue udah lebih jago dari kalian", bener aja, dia menguasai betul proses kliring warkat debet. Bunda di mutasi ke unit kerja lain, digantikan oleh Mba Apriyani. Orangnya banyak bercanda, sedikit serius. Sebagai supervisor, menurut gue kharismanya ga ada, mungkin karena kebanyakan bercanda (haha, peace, Mba!), yang pasti pintar. Kalau gue palak buat jajan, selalu ngasih, sama kayak Bunda yang selalu kasih tambahan kalau kami mau jajan. Hehe. Terakhir, Mas Iweng akhirnya resign karena prinsip. Sedih rasanya, kehilangan Bunda dan Mas Iweng dalam waktu yang berdekatan, Bu Tini sampai nangis, tapi itu harus terjadi. Lalu masuk Mba Lely yang tanpa disangka sangat gemar jajan, sehingga kalau dia jajan, otomatis kami kebagian. Salah satu orang yang mudah "dipalak" untuk tambahan jajan. Hehe.

Keempat, bagian gue yang resign. Sebetulnya gue sudah merencanakan ini dari awal bekerja, dalam dua sampai tiga tahun, gue harus kembali ke "area" yang memang gue senangi, jadi rekrutmen atau staff HRD. Gue mengajukan resign di bulan Mei 2017, notice satu bulan, efektif tidak bekerja 1 Juli 2017. Setelahnya gue menganggur selama kurang lebih dua minggu. Dalam keadaan sisa uang di rekening dua juta, sudah memiliki seorang anak dan seorang istri (lah, iya, istri satu aja, dong), ditambah belum bekerja kembali. Pusing? Pasti, dong! Tapi tetap harus dijalani dan dihadapi.

Setelah gue resign, kehidupan dan lembar baru dimulai. Mulai pusing, mulai deg-degan belum dapet kerja, mulai panik istri dan anak makan apa. Haha.

Kejadian ini menjadi tolak balik gue sampai akhirnya mendapatkan pekerjaan yang gue inginkan. Ini akhir dari pengalaman kerja pertama, namun awal dari sebuah perjalanan karir yang baru. Terakhir, sekaligus akan berhadapan kembali dengan pengalaman kerja yang pertama. Bertolak belakang.

Perlu diingat, kantor itu bukan tempat yang tepat untuk mencari kenangan, mungkin ada beberapa kejadian yang bisa dikenang, namun akan lebih tepat jika kantor dijadikan tempat menemukan pengalaman.

Lalu, tiba-tiba gue inget quote dari Steven Gerrard sebelum dia meninggalkan Liverpool, klub yg dia bela selama kurang lebih 17 tahun, "it's hard to move on, but you do, you have to".

Wednesday 6 February 2019

Catatan Seorang Perekrut - Pengalaman Pertama. #2

Gue inget, pertama kali bekerja setelah lulus kuliah itu di tanggal 25 September 2014, hari di mana teman kantor yang lain gajian. Kebanyakan dari mereka cek gaji dari pagi, gue sebagai orang baru, cuma bisa melongo aja.

Mana ada yang tau soal rezeki, karena pengalaman kerja pertama gue di perbankan sebagai staff admin, back office. Dari jurusan Psikologi ke perbankan, gue harus belajar neraca, debet, kredit, dan lain sebagainya. Sewaktu SMA gue anak IPS, belajar ekonomi juga akuntansi. Ekonomi masih oke, soal teori gue masih bisa menghafal. Akuntansi? Nah, loh, gue harus belajar soal neraca aja udah pusing gue, ga ngerti-ngerti. Ga masuk sama sekali di gue pelajaran ekonomi dan/atau akuntansi, nah ini akhirnya gue masuk perbankan. Hari pertama masuk kerja, sebagaimana kebanyakan orang menjalani proses pertama kali, gue deg-degan, kira-kita apa yang akan dikerjakan, tugas gue ngapain aja, ga kebayang sebelumnya. Mendadak berpikir berlebihan dan berasa cemas berlebih, gue yang biasanya pede, jadi pendiam dan jaga image seketika.

Supervisor pertama gue bernama lengkap Hanraswati Takarina (biasa dipanggil Bunda). Beliau supervisor yang baik dan bijaksana, bersifat keibuan, mau merangkul dan sharing ilmu ke gue sebagai anak baru di kantor. Beberapa kali beliau "pasang badan" ketika gue ga ngerti sama sekali dengan suatu permasalahan (transaksi). Kemudian digantikan oleh Apriyani Arsita. Sama baiknya, sama soal back-up bawahannya.

Untuk rekan satu tim yang lain, ada Mas Irwan Irawan (biasa dipanggil Mas Iweng, digantikan oleh Mba Lely Maryani), lalu ada juga Bu Sri Wartini (biasa dipanggil Bu Tini), mereka senior gue, satu tim. Gue belajar banyak dari mereka soal bagian Dana dan Jasa, yang kerjaannya meliputi transaksi pensiunan, penggajian instansi pemerintah atau swasta, transaksi dalam dan luar negeri, surat menyurat, dan lain-lain. Terpenting, bagaimana cara melayani nasabah ketika kerjaan sedang dalam antrian berlebih. Hehe. Rekan satu tim yang lain, Deri Septiana namanya, dia petugas kliring, suka membanggakan diri sebagai "kliring man". Pada prosesnya, akhirnya Deri menjadi seorang marketing mikro. Lalu digantikan oleh Juliano Muharam (biasa dipanggil Ano) sebelumnya dia bekerja sebagai call center. Di awal masuk, dia pernah curhat, kerja di call center perbankan itu ga enak, selalu dimarahin.  Terakhir, ada Pak Baehaki sebagai petugas pajak. Segala permasalahan mengenai pajak, biasanya akan ditangani oleh beliau. Ga ketinggalan, Bu Anissa Gayatri (Bu Anis), sebagai manager operasional kala itu.

Untuk rekan yang lain di luar dari bagian Dana dan Jasa, gue berteman baik dengan Yusdian Frizi (SDM), Mulyawandi, Ragil, dan Bu Susilawati (IT), Reza Afnan (teller, lalu jadi administrasi kredit), dan teman-teman lain yang tentunya ga bisa gue sebut satu per satu. Mereka yang mengisi keseharian gue selama 34 bulan, yang menemani menjalani kebiasaan gue selama jadi pekerja di sana. Tempat curhat, bercanda, minjem duit, dan lain-lain.

Gue baru bisa beradaptasi kurang lebih selama tiga bulan. Belajar soal transaksi, melayani nasabah, juga banyak hal. Susah banget rasanya, walaupun akhirnya terbiasa dan akhirnya bisa. Transaksi yang paling gue ga suka adalah Letter of Credit dan SKBDN (anak ekonomi biasanya ga asing dengan istilah ini, minimal pernah dengar). Susah banget, men! Prosesnya rumit, belum lagi input di sistem harus dengan benar. Untungnya, orang dari kantor pusat siap membantu. Kalau diomelin nasabah udah biasa, sampai dikatain bajingan pun pernah. Gue malah bingung, "ini orang sebegininya banget marah, dia yang salah, dia yang marah". Nasabah adalah raja, tapi buat gue, ga semua raja bijaksana.
Pada akhirnya dan dari awal, gue memang hanya punya target bekerja di perbankan paling lama tiga tahun, karena gue ingin bekerja sesuai dengan disiplin ilmu yang dipelajari selama kuliah.

Quote favorit gue selama bekerja di perbankan adalah, "do not go down without a fight, fight for your right" -Gamila Arief-

Catatan Seorang Perekrut #17 Recruiter yang Insecure dengan Perjalanan Karirnya

Jumat, 14 Juli 2017. Hari yang nggak akan pernah saya lupakan dalam perjalanan karir yang, usianya masih seumur jagung ini. Hari di mana akh...