Thursday 30 December 2021

Catatan Seorang Perekrut #17 Recruiter yang Insecure dengan Perjalanan Karirnya

Jumat, 14 Juli 2017. Hari yang nggak akan pernah saya lupakan dalam perjalanan karir yang, usianya masih seumur jagung ini. Hari di mana akhirnya saya menandatangani kontrak kerja kembali, setelah selama dua minggu menganggur. Kondisi saya kala itu sudah memiliki istri dan seorang anak berusia tiga bulan. Ada perasaan lega, karena akhirnya saya bisa bekerja setelah sebelumnya resign dari kantor sebelumnya. Hal tersebut menjadi sangat spesial, karena pada akhirnya, saya bekerja di posisi yang selama ini diinginkan: recruiter.

Saya ingat betul, hari pertama mengikuti training di kantor. Begitu antusias. Sangat menggebu-gebu. Saya merasa siap, menjalani apa yang selama ini diidam-idamkan. Bukan lagi mengendap dalam angan. Melainkan sudah menjadi kenyataan.

Rasanya bergairah dan penuh semangat menjalani hari-hari sebagai recruiter. Mulai dari screening CV, wawancara dengan banyak pelamar kerja, memberi arahan kepada para kandidat untuk mengerjakan psikotes, sampai memberi kabar kepada mereka bahwa, mereka lolos semua tahapan dan diterima bekerja.

Sekali lagi, ini adalah salah satu momen terbaik saya dalam berkarir. Meski lelah secara fisik, pikiran, dan batin, saya merasa sangat-sangat-sangat bahagia bekerja di ruang lingkup ini. Vibes tersebut juga dirasakan oleh istri saya, Nazliah, yang sering kali berkata, “Kamu bawaannya happy terus sekarang, aku seneng liatnya.”

Setidaknya, hal itu yang saya rasakan di tiga tahun bekerja sebagai recruiter—posisi yang sangat saya inginkan.

Setelahnya, sampai dengan saat ini memasuki tahun ke-5 saya bekerja di posisi ini, rasanya biasa-biasa saja. Saya kehilangan gairah dan seperti kehilangan arah. Pada titik tertentu, saya mengajak diri ini berdiskusi, “Setelah ini, apalagi yang ingin dilakukan? Mau ke mana? Mau sampai kapan menjadi recruiter?”

Meski di waktu yang bersamaan, saya sering merasa kurang percaya diri dan malah balik bertanya kepada diri sendiri, “Memangnya, apa saja yang sampean sudah bisa lakukan? Yakin, perusahaan lain butuh kemampuan yang sampean miliki saat ini? Pesaingmu yang punya CV jauh lebih mentereng itu banyak, lho.”

Dalam hal ini, saya sangat menyadari bahwa, passion dalam bekerja nggak menjamin apa-apa, di antara sekian banyak naik-turunnya emosi pada saat bekerja yang sangat dinamis. Juga, pengaruh dari faktor X yang, ada-ada saja atau sering kali diada-adain oleh rekan kerja.

Itulah kenapa, setelah tiga tahun bekerja sebagai recruiter, saya mencoba menemukan kegiatan baru. Salah satunya, menulis. Mengirimkan tulisan saya ke media online. Satu yang saya idam-idamkan adalah, tulisan saya bisa tayang di Mojok.Co. Alasannya sangat sederhana, karena saya adalah pembaca Mojok dan saya suka dengan ragam tulisan yang bermunculan di sana.

Singkat cerita, dengan bermodal nekat-nggak tahu diri-dan berharap kepada keberuntungan pemula, saya memberanikan diri kirim tulisan. Ya, gimana ya. Saya nggak tahu dunia kepenulisan, teknik menulis, dan sebangsanya. Saya hanya pengin berbagi cerita—apa pun itu—yang dekat dengan diri saya. Tentang keseharian, pekerjaan, hobi, keresahan, dan lain-lain.

Ndilalah, tulisan saya tayang. Ada yang di Mojok, ada juga yang di Terminal Mojok. Total tulisannya memang nggak banyak. Tapi, saya sangat menikmati honornya prosesnya. Dan, karena itu pula, jika kalian mengetik nama saya secara lengkap melalui mesin pencarian di internet, beberapa mahakarya—setidaknya bagi saya sendiri—saya akan terpampang di halaman pertama, bersamaan dengan profil LinkedIn saya yang, biasa-biasa saja.

(Barangkali nggak percaya, sila ketik nama saya di google dengan kombinasi: Seto Wicaksono, Terminal Mojok. Pasti akan ada beberapa link rujukan.)

Menulis, betul-betul menjadi katarsis sekaligus sublimasi bagi saya yang, sedang memasuki fase hilang arah dalam bekerja. Bahkan, di posisi yang saya pikir menjadi passion. Menulis, seakan menjadi obat bagi saya di kala jenuh. Lambat laun—meski tulisan saya nggak bagus, bahkan dibilang jelek saja belum—saya senang menulis. Bercerita apa pun melalui tulisan.

Hitung-hitung, bisa menjadi personal branding tersendiri. Seperti misalnya, “Recruiter yang hobi menulis.” Paling nggak, portofolio saya jadi nggak polos-polos banget gitu.

Sejauh ini, kegiatan menulis menjadi time out terbaik bagi saya dalam berkarir. Sebab, saya mendapatkan banyak hal. Circle pertemanan baru, honor yang tidak sedikit, dan pengalaman berinteraksi dengan para redaktur Mojok. Mulai dari Cik Prima Sulistya, Mas Yamadipati Seno, Mas Ahmad Khadafi, Mba Audian Laili, Mas Rizky Prasetya, Mba Intan Ekapratiwi, Mba Ajeng Rizka, dan Mba Nia Lavenia (orang yang mempopulerkan istilah Raja Cabe kali pertama, buat saya. Hehehe).

Dan yang paling bikin saya deg-degan adalah, saya di-follow Mas Puthut EA di Twitter! Kepala suku Mojok. Serius. Ketika di-follow Mas Puthut, saya langsung lapor Nazliah, “Sayang, aku di-follow Kepala Suku Mojok, Mas Puthut! Aduh, gimana ini?” iya, kala itu, saya seheboh itu—untuk tidak menggunakan istilah panik.

Setelah cukup rutin menulis selama kurang lebih dua tahun, energi saya untuk menulis rasanya mulai berkurang. Nggak hilang, hanya saja intensitasnya menurun. Masih menulis, tapi tidak sesering dulu. Paling tidak, itu yang saya rasakan saat ini. Namun, saya nggak bisa membohongi diri sendiri bahwa, saya mulai merasa senang menulis. Nggak peduli dibaca oleh orang lain atau tidak. Bagus atau jelek. Saya hanya pengin bercerita, mengeluarkan unek-unek, sekaligus menyampaikan pikiran yang mengendap.

Menulis, menjadi time out terbaik di kala saya merasa insecure, dengan karir yang saya geluti saat ini. Ya, saya insecure dengan segala hiruk pikuk yang sedang dihadapi di ruang lingkup pekerjaan. Ada beberapa hal yang terlalu riskan untuk diceritakan secara gamblang. Dalam hal ini, keresahan yang saya rasakan, beberapa di antaranya sudah saya tuliskan dan tayang di Terminal Mojok.

Saat ini, dalam konteks pekerjaan yang dilakoni, saya sangat rindu berada dalam fase: meski lelah bekerja, tapi tetap merasa bahagia. Dan barangkali, kita semua sepakat bahwa, sebaik-baiknya obat rindu, adalah bertemu.

Monday 6 May 2019

Catatan Seorang Perekrut - Bertemu Nazliah. #16

Selama outing gue pepet perempuan ini, gue liat terus, mumpung satu kelompok. Makin akrab sampai outing selesai. Di satu waktu, Heni masih beberapa kali ngechat via BBM selama outing, sekadar nanya kabar, tapi ya jadi terkesan posesif. Duh. Walaupun IPK gue dulu cuma 3.49, Gue bisa pikir kali,

"ini dia kenapa, sih, udah putus masih aja ngechat. Katanya ga bisa jalanin hubungan sama gue, tapi masih aja nanya kabar."

Biar ga berkepanjangan, akhirnya gue dan Heni sepakat ketemu, biar bisa segera kelir (baca: clear) masalahnya. Setelah ketemu, dia cerita panjang lebar, yang disampaikan:

"Kamu sekarang lebih cuek, ya"

Sambil nangis dia bilang,
"Aku ga bisa tanpa kamu~" uwuwuwu, kenapa ga bilang hal ini selama pacaran, BAMBANG.

Walaupun sama perempuan yang gue temui di outing belum sampai pacaran, tapi kami udah makin deket, dia merespon perhatian yang gue kasih, pun dengan dia. Setelah gue menimbang dan sepertinya Heni butuh jawaban gue segera, gue langsung jawab ke dia secara langsung saat ketemuan,

"maaf, aku ga bisa."

"kenapa? Udah ada cewe lain yang kamu suka, ya?" --yaiyalah, MAHMUDI, ke mana aja lo selama ini. Lagi pun, kalau gue suka sama perempuan lain ya ga salah, kan udah menjomblo--

Gue cuma jawab dengan senyuman. Pada momen ini gue berasa ganteng banget. Keputusan ini gue buat bukan karena mau balas dendam, lebih kepada, gue laki-laki, harus memilih dan punya sikap. Akhirnya, gue memilih perempuan yang menarik hati gue sewaktu outing dibanding Heni.

Nazliah Gusmuharti.

Setelah kejadian ini, gue ga langsung cerita ke Nazliah, bahwa mantan gue masih kontak dan sedikit memohon untuk kembali. Gue fokus ke hubungan gue dan Nazliah. Selama PDKT, tanpa disangka dan dingana, Nazliah yang bilang suka duluan ke gue. Dia bilang, gue kelamaan "nembak"., makanya dia gemas. Wqwqwq.

Kami PDKT selama 3 bulan, gue beranikan diri untuk menyatakan perasaan pada 07 Maret 2013. Saat itu sekitar jam 16.00, Nazliah yang selama kuliah juga jadi asisten lab, nunggu gue beres keluar dari lab, tanpa sepengetahuan dia, gue udah menyiapkan rencana "penembakan". Di dalam lab udah kumpul semua temen-temen, lalu tanpa disangka gue langsung bilang,

"Kamu mau ga, jadi pacar aku?"

Nazliah mengangguk dan senyum. Terus gue langsung bilang,

"Kalau mau, peluk aku, dong." kami pelukan.

Afirmasi gue terkabul perihal tipe perempuan yang gue mau, seperti yang gue sebutkan sebelumnya. Selama pacaran, Nazliah bantu proses skripsi gue, kasih dukungan moral juga. Persis seperti kriteria yang gue ingin.

Sewaktu kuliah, beberapa sahabat dekat gue yang tau gue baru diterima oleh seorang perempuan, langsung pada heboh dan berkomentar, macam kasih testimoni. Apalagi Nazliah ini tergolong cantik, pintar, dan senior di kampus pula. Mereka adalah Aji, Maizar (biasa dipanggil Bejoong -dia bilang "o"-nya harus dua), dan Usber.

Komen dari Aji, sewaktu dia tau gue bikin jersey kembaran,

"Wah, lo udah bikin jersey samaan aja, entar kalau putus, repot lo, ga mau dipake lagi nanti."

Setelah Aji bilang gini, yang ada di pikiran gue adalah,

"yaudah, liat aja nanti, kami ga akan putus, kok."

Bejoong dan Usber engga mau kalah dalam kasih komentar,

"GILA SI SEMPAK TAU AJE YANG CAKEP. KOK BISA DITERIMA LU? HAH? HAH?" -Bejoong.

"GUA RASA SI NAZLIAH MASIH KETUTUP DAH MATA BATINNYA. SEMOGA NAZ ENGGA NYADAR, YA. KALAU DIA SADAR LU GA GANTENG, GUA RASA NYESEL DIA." -Usber.

Iya, mereka kalau "ngata-ngatain" gue memang suka serius dan bener.

Belum lagi si Yessica sama Alia, dua sahabat lain kelamin ini juga sama kasih komentar yang lumayan ga kalah pedaz,

Yessica: "gila, lu, To, Kak Naz kan cantik banget, kok bisa?" Hmm.

Alia: "gue pernah liat kalian berdua jalan, kayaknya bahagia banget gitu sambil ketawa-ketawa, padahal lagi jalan kaki di pinggir jalan."

BHAIQ.

Makin menjalani hari bareng Nazliah, gue makin sayang sama dia. Dia itu pintar dan cerdas, punya sikap, dan tegas. Gue suka semua hal yang ada pada dirinya, termasuk juga kalau ambil keputusan cepet banget, spontan. Berbanding terbalik sama gue yang tipe pemikir, kelamaan mikir dan banyak pertimbangan. Nyaman diajak diskusi, ngobrol, dan bercanda.

Nah, hal yang paling dia ga suka dari gue selama pacaran adalah posesifnya gue. Harus diakui, gue tergolong lelaki posesif dan cemburuan. Kalau kalian mau background check, mungkin kalian bisa tanya ke mantan gue. Wqwqwq. Udah sok ganteng, posesif pula. Seto oh Seto.

Selama pacaran, kami punya visi yang sama, engga mau sembarang putus apalagi putus-nyambung. Kalau putus, ya, putus. Kalau memang lagi marahan, sebesar apa pun marahnya, obrolin. Diskusikan. Walaupun gue kalau lagi marah, seringnya diem, sih. Wqwqwq. Akhirnya, visi kami itu bisa diwujudkan. Engga pernah ada yang namanya kata putus selama pacaran, karena kami sama-sama ingin hubungan ini bisa sampai menuju pelaminan.

Kami sepakat, maunya satu sama lain jadi tujuan, bukan hanya singgahan.
Pada akhirnya, kami menikah tepat pada tiga tahun kami pacaran. Resmi pacaran tanggal 7 Mei 2013, menikah tanggal 07 Mei 2016. Ya, antara menyangka sama engga akhirnya bisa betul-betul menikah dengan Nazliah. Dari mulai awal ketemu saat outing, modalnya cuma yakin dan pede aja deketin dia. Sempet ilang kontak, tapi, dengan giat gue cari tau akun media sosialnya dia, awalnya twitter.

Setelah kejadian mencari tau diri dia dari twitter, gue sempet banyak komunikasi, saling mention, nyampah di timeline. Saat itu, mungkin banyak yang menyangka, kami ini alay yang lagi kasmaran. Wqwqwq. Yang gue suka dari Nazliah adalah, dia selalu punya sudut pandang yang berbeda tiap kali diskusi, selain penyeimbang, dia memang pelengkap gue.

Dari kejadian ini, akhirnya gue bisa menjawab dengan pasti dan yakin, kalau ada orang yang nyinyir,

"MAIN MEDIA SOSIAL MULU, EMANG BISA DAPET JODOH DARI SITU?"

Bisa. Buktinya gue. Hehehe.

Saat ini, kami juga sudah diamanati satu orang sahabat, Tobio Gusto Abqary, yang lahir tepat pada tanggal 07 Maret 2017. Gue inget tanggal lahirnya Tobio soalnya barusan cek fitur memories di facebook.

Tulisan ini sengaja dibuat dalam rangka usia pernikahan kami yang ketiga tahun. Mungkin biasa aja, ga begitu spesial atau sweet, tapi berhubung gue lagi gemar menulis, jadi, apa salahnya sedikit memori tentang kami dirangkum secara betul-betul singkat di sini. Ini yang bisa gue kasih.

as I said before and always remember this.
 I love you, not for a while, 
I do love you for the rest of my life. 
-From your happy husband. 

Friday 3 May 2019

Catatan Seorang Perekrut - Cerita Mantan. #15

Spoiler: di luar konteks, tapi relate.

Cerita mantan yang dimaksudkan di sini, ga semua mantan diceritain, cuma beberapa orang pilihan aja, ada juga mantan yang baru disuka aja, baru gue deketin. Dibilang gebetan juga bukan, soalnya yang suka cuma gue doang, dia engga.

Pertama kali gue tertarik sama lawan jenis itu waktu kelas 2 SD. Iya, di usia yang masih polos gitu, gue udah belajar jadi budak cinta alias bucin. Ya cuma suka-sukaan gitu. Kelas 5 SD di sekolah gue dulu lagi masanya banyak temen-temen yang udah pacaran. Bahkan sempet ada gosip anak kelas 6 ciuman sama pacarnya yang juga sesama kelas 6. Lalu, yang dipikirkan gue sama teman-teman waktu itu,

"Ih, kalau si cewenya hamil gimana?"

Iya, namanya juga anak kelas 5 SD, masih sepolos itu mikirnya. Sampai akhirnya di kelas 6 SD, malah gue yang ikutan pacaran, akhirnya gue jadian sama cewe yang gue suka, walaupun cuma dua minggu. Diputusinnya pun pas gue main kelereng, gue dipanggil sama dia.

"Seto, aku mau ngomong. Ke sini dulu, dong."

"Iya, apa?"

"Aku mau kita putus. Aku udah ga sayang lagi sama kamu."

Jailah, baru jadian beberapa hari aja bilangnya udah ga sayangnya, sayangnya aja ga tau kapan.

"Oh. Yaudah. Itu aja?" Lalu gue lanjut main kelereng, dan dia langsung ditembak sama temen gue. Mereka langsung pacaran. Dasar bucin. 

--cerita cinta SMP dan SMA skip, siapa tau kelak gue bikin buku, baru akan diceritain detilnya-- ada Aamiin?

Gue lulus SMA dalam keadaan single, iya jomblo. Rasanya aneh karena biasanya gue ga bisa kalau ga punya pacar, dasar emang mental bucin. Itu kenapa, kuliah gue bertekad dari semester awal harus punya pacar. Biar kurang tampannya gue ini tersamarkan.

Tekad ini berhasil mempertemukan gue dengan Annisa Widya (ig: cha_nissa), perempuan yang manis, good looking. Gue ngerasa deg-degan sewaktu liat dia di kelas, tapi gue nyali gue ciut pas gue bercermin. Apa dia mau sama gue yang rambutnya botak karena efek ospek? Ya, semuanya juga botak, sih, pas awal masuk.

Di semester 3, akhirnya gue memberanikan diri menyatakan perasaan gue ke dia. Terpaksa, karena temen nongkrong gue ngirim sms (waktu itu BBM dan WhatsApp belum begitu tenar) ke Annisa ini, sewaktu handphone gue dipinjem sama dia. Kurang lebih isi smsnya gini:

"Ca, sebenernya gue udah lama suka sama lo." Fak, emang.

Hasil dari penembakan gue, jelas. Ditolak. Setelah itu, gue malah keterusan masih ngejar-ngejar si Annisa ini padahal ya udah ditolak,  pikir gue waktu itu, ya usaha dulu, masa udah nyerah?

Karena gue terlalu jumawa ga pernah ditolak selama PDKT sama seseorang. Gue terlalu pede, sampai gue lupa, kalau udah mengusahakan yang terbaik, segala cara gue lakuin walaupun ga semuanya maksimal, dan gue belum mendapatkan hasil, saatnya gue ubah haluan.

Perjuangan terakhir gue deketin Anissa ini, buatin video sewaktu dia ulang tahun, sampai pada akhirnya gue nyerah di semester 6. Gue memutuskan untuk menghentikan rasa penasaran dan hasrat dapetin hatinya Annisa. Ya, udah tiga tahun, rasanya cukup dan sadar diri. Hehe. -biar terkesan patriotik, gue memakai kata perjuangan-

Gue sadar, falling in love with the people we can not have itu sakit. Sebab, gue berpedoman, dalam hubungan timbal balik, cinta itu saling memiliki. Setelahnya, gue tetap berteman baik.

Semester 6 semasa kuliah, gue jadi asisten lab psikologi di kampus untuk meningkatkan ketamvanan di mata para adik kelas. Mindset ini ada hasilnya. Ada satu adik kelas yang memukau mata gue, pas banget dia adik kelas sewaktu SMA. Heni, namanya. Saat itu yang gue pikirkan adalah,

"Yak! Ada bahan obrolan!"

Gue ajak dia ngobrol, basa-basa soal SMA. Akhirnya minta pin BBM-nya. Iya, biar bisa liat mukanya terus. Setelah di-add, ada inisial nama di status BBM-nya, yang gue tau, itu nama cowo. Pasti pacarnya, dong? Ga mungkin nama abang yang jualan kentang-cimol di kampus dia save inisialnya sampai dijadikan status BBM. Cowonya kuliah di luar kota.

Sedih. Alamat bertahan jomblo. Entah kenapa gue sempet mau ngejauh gitu, tapi berasa ditahan sama obrolan yang seru dan "bersambut". Padahal, ya dia udah punya pacar. Makin lama kenal dan bosan memendam, akhirnya gue beranikan diri bilang via BBM,

"Aku itu suka sama kamu, tapi aku ga bisa ngelakuin apa-apa, kamu tau kenapa."

"Iya, maaf, ya. Saat ini aku ga bisa." Respon dia.

Komunikasi terus berlanjut. Bahkan makin deket. Macem HTS-an, mungkin? Akhirnya, gue nyatain perasaan secara langsung, waktu itu ga pernah ngobrolin banyak soal cowonya, yang gue tau dia nerima gue jadi pacarnya. Pernah satu waktu setelah kami pacaran dia bilang,

"dia (cowonya) pulang. Aku main sama dia dulu, boleh? Maaf, ya."

Jadi yang kedua itu ga enak, bgst. Wqwqwq.

Setelah itu, dia janji mau mutusin cowonya dan lebih milih gue. Di sini, momen di mana gue merasa makin ganteng dengan tampang yang minimalis. Akhirnya mereka putus. Gue naik peringkat jadi pilihan utama.

Marahan sama dia yang paling gue inget adalah sewaktu dia bete, gue coba menghibur, dia malah bilang,

"GA USAH NGELUCU, DEH. KAMU BUKAN PELAWAK." Sakit hatiku menahan pilu, gaes. Wqwqwq.

Eh, setelah itu, pacarannya malah ga bertahan lama. Terhitung, sekitar enam minggu. Putusnya pun di kereta, kurang lebih dia bilang gini,

"Maaf, kayaknya kita ga bisa lanjut. Kamu terlalu baik buat aku. Aku ga bisa jalanin hubungan yang begini."

Dengan sok tegar, gue cuma bisa jawab,

"Oh, yaudah. Tenang aja, aku ga apa-apa, kok." -hati teriris bagai bawa dibelah pisau, adinda. Kau tau itu- SELAIN DI KERETA TIDAK MUNGKIN DONG GUE TIBA-TIBA NANGIS MERAUNG-RAUNG KARENA BAU DIPUTUSIN.

Seperti biasa, gue langsung anter dia ke luar stasiun. Lalu gue bilang ke dia,

"kamu hati-hati, ya."

Percakapan baik sebelum betul-betul mengakhiri suatu hubungan. Sampai di rumah, gue langsung laporan ke Mama, gue putus sama si Heni ini. Mama cuma nanya,

"Perasaan kemaren baik-baik aja, ada apa?"

Gue  jawab, "ga tau, tuh, aneh."

Lalu Mama balas menghibur,

"Yaudah, nanti juga balik lagi kalau emang masih butuh. Seto ga usah ngejar-ngejar."

Gue cuma jawab, "iya."

Baru aja Mama ngasih wejangan, eh, ini anak langsung BBM, tuh,

"Kamu di mana? Udah di rumah? Kok ga ngabarin aku?"

Hasgagajsjsuqiqjrowpqnsbdgwyqiwpandbgwoam. GIMANA SIH, KAN UDAH PUTUS. KALAU MAU DIKABARIN TERUS, NGAPAIN MINTA PUTUS?!1!1!1!!

Ya, mungkin kami emang harus pisah, karena beda kenyamanan, beda visi. Walaupun masih semester tujuh, waktu itu gue pikir ketika nemu pacar, harapannya ya bisa lama, syukur kalau memang sampai pernikahan, berjodoh. Capek kali putus-nyambung, kayak anak labil. Apa mau dikata, takdir berkata lain keputusan sudah dibuat.

Selama kami pacaran, foto kami berdua pun cuma pernah dipasang sekali aja, itu pun cuma beberapa detik. Awalnya gue bingung, kok kayanya enggan banget pasang foto berdua sama gue, selain memang gue kurang ganteng, buat dia yang lumayan cantik. Setelah dipikir, itu bukan alasan yang bisa masuk dalam perasaan karena cinta ini kadang tak ada logika, ternyata lebih kepada,
Ada perasaan orang lain yang dijaga.
Setelah putus dengan Heni, gue kembali menjomblo. Memang dasar ga betah sendiri, gue berniat mencari dan segera menemukan kembali seorang pacar yang hilang dan belum ditemukan untuk menemani kegiatan sehari-hari.


Setelah diputusin ini, karena gue udah mendekati pengerjaan skripsi, gue bertekad untuk segera dapet pacar lagi, biar jadi mtoivasi segera lulus kuliah. Perempuan yang mau gue miliki selanjutnya, kriterianya cantik, cerdas, bisa main musik, pakai softlens atau kacamata, keren dan modis.

Targetnya berat banget, ya? Lebih berat dari target waktu lulus.

Inget banget, 28 Februari 2013 gue ada acara outing lab jurusan. Semua asisten lab ikut. Di sini gue ketemu sama satu senior, satu angkatan di atas gue yang menarik perhatian dan pandangan, Cantik. Ya, ga bohong, dong, pertama kali liat orang, penilaiannya secara fisik terlebih dulu. Dia satu kelompok sama gue pula selama outing. Ga karuan perasaan gue, tapi, seakan feeling gue bilang,

"orangnya ini, deketin aja, percaya sama gue."

*** Bersambung di bagian selanjutnya ***

Monday 29 April 2019

Catatan Seorang Perekrut - Selingkuh di Tempat Kerja. #14

Halo, saat ini catatan seorang perekrut masuk ke bagian 14. Dukung terus, ya, dan terima kasih untuk para silent reader yang selalu membaca tulisan di blog ini tiap senin. Subscribe, ya! -jelas, ini salah platform-

Ada orang yang bilang, setia itu sulit. Seseorang bilang, setia itu mahal, itu kenapa sulit dilakukan oleh orang yang "murahan". Kalau menurut gue, setia itu setiap tikungan ada. Ga jelas banget candaan gue, kayak candaan bapak-bapak generasi baby boomers.

Satoshi Kanazawa, Psikolog London School of Economics and Political Science pernah mengungkapan soal hasil penelitiannya bahwa, "semakin cerdas pria, semakin dia menghargai nilai-nilai manogami dan eksklusivitas seksual dibanding pria yang kurang cerdas." Jadi, menurut gue pribadi, di zaman yang modern ini, setia itu pilihan, bagi pria khususnya. Pilihan untuk menjadi sosok yang cerdas atau sebaliknya.

Nazliah pernah bilang ke gue, "kalau kamu selingkuh, yang rugi kamu, lah. Berarti kamu ga worth it buat aku.". Ini yang bikin gue cinta sama Nazliah. Punya sikap, betul-betul punya nilai yang tinggi akan dirinya sendiri. Dia merasa diri dia berharga, jadi kalau pun gue selingkuh, ya kenapa dia harus repot? Tinggalin aja. Kurang lebih begitu.

Tentu, gue lebih memilih setia, bukan karena biar dibilang cerdas atau punya IQ tinggi gue menikah dengan Nazliah karena memang dia sosok yang gue cari. Kalau gue cari lagi yang lain, berarti gue udah mengingkari pernyataan gue sendiri.

Cerita ini bukan soal tentang gue dan Nazliah. Ini soal perselingkuhan yang memang nyata terjadi di tempat kerja. Yang kebetulan punya selingkuhan di kantor, kalau tersinggung dipersilahkan.

Dengan segala alasannya, gue ga ngerti alasan kenapa orang yang sudah menikah bisa berselingkuh, khususnya di tempat kerja. Walaupun berdasarkan penelitian yang ada, perselingkuhan memang rentan terjadi di perkantoran (gue lupa penelitiannya siapa, kayaknya kalau cek di google akan mucul sugestinya, deh). Pemikiran sederhana gue adalah, dia ga mikirin pasangannya gitu? Para pria khususnya. Mereka ga mikirin perasaaan istrinya yang udah mau repot-repot ngurus anak di rumah gitu? Yang standby jaga anaknya 24 jam 7 hari dalam seminggu. Alasannya apa?

Entah ini bisa dipercaya atau engga, seorang teman yang sudah menikah dekat sama perempuan lain karena istrinya kurang cantik. LAH?! Kalau memang menurutnya demikian, kenapa dulu bisa sampai menikah dan punya anak? Apa pun alasannya, di gue ga masuk logika kenapa bisa dia dekat dengan perempuan lain. Kurang cantik? Kasih biaya ke salon lah biar bisa dandan dan tampil cantik. Ga ada duit? Jangan banyak tingkah makanya.

Bahkan gue pernah liat dengan mata kepala gue sendiri, lelaki yang gue ketahui udah menikah ini suap-suapan di jam istirahat dengan perempuan yg bukan istrinya. Bukannya sweet, malah geli liatnya. Memang, suap-suapan ini ga bisa dijadiin bukti yang kuat seseorang selingkuh, tapi kenapa ya harus suap-suapan di jam istirahat dan di depan orang-orang?

Mengerti, tempat kerja rentan banget terjadi peselingkuhan, apalagi intensitas ketemu satu sama lain lebih sering terjadi. Belum lagi kalau memang satu divisi/bagian. Paling engga lima hari dalam seminggu dengan waktu yang relatif lebih lama dibanding waktu dengan pasangan. Cuma ya memang ga mikir gitu, pasangan di rumah udah mengasuh anak, bahkan sebelumnya mengandung lebih kurangnya 9 bulan dengan segala keresahannya, belum lagi mual, sakit badan, dan lain sebagainya.

Terus, ditinggal selingkuh gitu aja? Apalagi dengan alasan kurang cantik atau ga cantik lagi. Sok ganteng, memang.

Gue beberapa kali wawancara kandidat yang masih muda, seumuran gue, ada yang udah diamanati momongan, ada yang belum, mereka udah jadi single karena pasangan meninggal. Sedih dengernya, kalau disandingkan dengan pemandangan lelaki yang selingkuh di tempat kerja. Kontras.

"Udah ga ada duit, selingkuh pula. Ga tau diri." -quote dari Nazliah buat para lelaki yang selingkuh padahal ga ada duit- Bukan berarti membenarkan selingkuh untuk orang yang berduit, ya.

Sekarang, coba flashback. Gimana awal mula kalian ketemu dengan pacar atau pasangan hidup. Dari mulai ngelirik, memerhatikan, minta nomor handphone, kenalan, ngobrol sampe malem, ketika dapet chatnya seneng kebangetan kayak jobseeker yang akhirnya dapet peluang bekerja, kencan, pacaran, dan akhirnya duduk bersama di pelaminan.

Udah senyum-senyum sendiri inget kenangan itu?

You're welcome. My pleasure, pal.

Monday 22 April 2019

Catatan Seorang Perekrut - Kepeleset Lidah. #13

Di bagian sebelumnya, gue sedikit bercerita tentang kandidat Reporting Analyst, Inuar Zahrawati. Perkenalannya bisa cek di link ini Ekspresi dan Respon Kandidat. Gue akan melanjutkan cerita tentang Inuar sekaligus kelanjutan ekspresi dan respon para kandidat, khususnya ketika kandidat ini slip tongue, kepeleset lidah, atau bahasa seharinya-harinya salah ngomong. Entah sadar atau engga.

Tanpa menyepelekan atau menganggap mudah pekerjaan sendiri, sampai dengan saat ini, masih ada beberapa posisi yang buat gue pribadi susah banget buat dapetin kandidatnya, khususnya dari kemampuan yang memang sesuai dengan kualifikasi. Bisa dikatakan memang ga semua orang punya kemampuan ini, hanya orang terpilih. Salah satunya posisi Reporting Analyst. Gimana engga, posisi ini harus punya daya analisa di atas rata-rata, ditambah skill dalam Ms. Office, Ms. Excel khususnya.

Dalam mencari kandidat, gue biasa cari melalui portal pencari kerja, job fair, atau mengandalkan informasi dari teman. Setelah gue cek, awalnya memang terlihat banyak yang memenuhi kualifikasi, khususnya dari kemampuan Ms. Excel, paling engga itu dulu yang gue lihat. Setelah gue undang wawancara, banyak dari kandidat mengaku "BISA" sewaktu ditanya kemampuan excel-nya. Ya, bilang bisa aja dulu, pas diminta coba kerjain beberapa soal excel, ga bisa sama sekali. Deadline makin dekat.

For your information, bagian rekrutmen juga jelas punya deadline atau target, ya. Kerja tanpa target? Rasanya engga ada. Hehe.

Kendalanya bukan cuma di excel, karena ada juga kandidat yang niatnya cuma coba-coba, diterima syukur, engga juga yaudah lah, seengganya udah nyoba. Ada juga yang gerogi saat wawancara, sampai mengalami slip tongue.

Gue mulai bertanya,

"Oh, Mba terbiasa menggunakan microsoft office. Biasanya apa aja yang digunakan?"

"Saya biasa menggunakan mikroskop eksel, Pak." -- ((MIKROSKOP))-- jawab dia.

Gue lanjut bertanya sambil nahan ketawa,

"Oh, rumusan apa aja yang biasa digunakan sewaktu pakai excel, Mba?"

"avenger, sum, min, max.." --(AVENGER)-- jawab dia tetap tidak sadar dengan slip tongue-nya, sedangkan gue langsung menunduk nahan tawa.

Mencoba profesional, gue tetap lanjut bertanya,

"selain itu, apa yang bisa ditawarkan untuk perusahaan mengenai kemampuan Mba?"

"Saya punya kemampuan kontraksi yang baik, Pak, karena saya biasa kontraksi dengan orang lain."
((KONTRAKSI)), guys! KONTRAKSI.

PECAH PARAH, PECAH! INI KALAU GUE IKUT DI BENTENG TAKESHI, UDAH DITERIAKIN SAMA YANG NONTON,

"AH, PAYAH, PAYAH! BEGITU SAJA TIDAK BISA!" Karena gue susah nahan tawa.

*******

Sampai akhirnya di portal pencari kerja, gue nemuin satu kandidat, punya pengalaman sesuai dengan posisi yang dibutuhkan. Sempat hopeless, karena dia masih aktif kerja, kurang lebih sudah dua tahun bekerja di tempat kerjanya. Sebagaimana diketahui, kalau masih aktif kerja, biasanya perlu notice satu bulan untuk pengajuan resign kalau memang cocok alias diterima.

Inuar Zahrawati, namanya. Akun instagramnya @inuarzahra (boleh dicek, khususnya untuk kalian para individu dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Gue udah minta izin sama Inuar buat share akun instagramnya juga di blog. Hehe).

Pertama kali ketemu, kesan pertama yang didapat itu anaknya sopan, murah senyum, walaupun sewaktu wawancara kurang antusias keliatannya, cuma ya udah keliatan dia ini pinter dari cara menjawab pertanyaan. Ditanya soal deskripsi kerja, memang cocok banget, sesuai kebutuhan. Akhirnya Inuar tes excel dan hasilnya memang bagus banget, sih, diantara kandidat yang lain.

Proses lanjutannya tentu ada psikotes dan wawancara dengan User, dalam hal ini calon managernya Inuar. Singkat cerita, selesai wawancara, gue coba komunikasi dengan User tentang prosesnya Inuar. Beliau menyampaikan,

"Mas Seto, please keep Inuar for us. She is smart, I like her."

Lalu gue jawab,

"but, is it ok if Inuar join next month? Cause she should notice one month."

"It's ok, Mas Seto. We will waiting for her."

Duh, mohon maaf kalau bahasa inggris gue di bawah rata-rata. Kurang lebih seperti itu. Bisanya begitu. Iya, User berbicara dengan bahasa inggris, karena memang itu bahasa sehari-harinya dan beliau bukan orang Indonesia.

Sampai di sini udah kebayang gimana spesialnya Inuar?

Lalu, karena kemampuan Inuar ini di atas rata-rata, jadilah dia training sebagai WFM (Work Force Management).

Sampai pada akhirnya, Inuar join.

Monday 15 April 2019

Catatan Seorang Perekrut - Ekspresi dan Respon Kandidat. #12

Sebagai rekruter, sudah sewajarnya selalu berkomunikasi secara langsung atau tidak langsung dengan para kandidat, pencari kerja. Banyak orang di sekitar gue -khususnya kandidat- yang bilang, komunikasi itu lebih enak secara langsung, karena bisa liat emosi orang yang berbicara, jadi tau mana yang lagi marah atau engga, bisa menyesuaikan. Ada betulnya. Bukan berarti bicara secara ga langsung (via telfon, chat, dan lain sebagainya) itu ga enak, tergantung kita mulai percakapannya gimana, nada suaranya gimana. Cukup banyak kandidat yang berpengalaman di Call Center yang gue wawancara, mereka menyampaikan, salah satu kebahagiaan mereka adalah ketika bisa meredam amarah pelanggan yang dari awal nelfon udah bernada tinggi.

Gue pun punya tugas yang sama, menyampaikan informasi ke kandidat, mulai dari mengundang untuk proses wawancara via telfon, via email, atau sms dan chat kalau memang diperlukan. Kesulitannya adalah ketika ga ada respon dari mereka, ya mau gimana, paling engga gue udah coba komunikasikan dengan menggunakan beberapa media.

Ekspresi dan respon mereka pun beragam dalam menanggapi info dari perusahaan, apa pun prosesnya, wawancara tahap awal, psikotes dan/atau wawancara lanjutan dengan User, sampai info perihal lolos semua tahapan atau tidaknya.

Ada kandidat yang sudah apply posisi untuk lowongan Call Center di salah satu akun portal pencari kerja, ketika gue telfon dan gue undang wawancara, responnya,

"maaf, Mas, saya ga minat dan ga tertarik sama posisinya." Kesel, loh, YANG APPLY KAN ELU, MAMAT! KALAU GA MINAT YA KENAPA APPLY.

Melanjutkan cerita ini, gue pun pernah nelfon kandidat yang apply dari salah satu job fair, pas ditelfon, masa kandidatnya bilang sambil ngegas,

"OH DAPET DATA SAYA DARI JOB FAIR, YA? SAYA GA PERCAYA LAGI SAMA ACARA JOB FAIR, PENIPU!"

Lah, Malih, kalau job fair penipuan, kegiatan ini udah dianggap ilegal dan akan diberentikan sama pemerintah. Lagian kan kandidat ini yang nulis data diri dan kumpulin CV, kalau memang ga percaya, ngapain lakuin itu? Datang ke job fair dan tulis data diri. Cuma biar dapet duit jajan ke orang tua, ya? Iya? Lagian perusahaan yang ikut job fair biasanya akan dipantau kredibilitasnya, ga sembarang kalau memang yang mengadakan job fair orang atau instansi yang berkompeten. Kalau lo bilang job fair penipuan, sama aja kayak lo bilang, "semua cowo sama aja." Menyama-ratakan adalah suatu kesalahan. Kenapa jadi serius gue. Wqwqwq.

Itu kenapa, pesan gue, dan dari pengalaman pribadi, apply posisi yang memang diminati atau yang kira-kira kita akan tetap jalani walaupun dirasa berat, sederhananya disanggupi. Coba posisi lain yang bikin penasaran boleh, tapi coba diliat atau dicari tau dulu, deskripsi kerjanya apa aja, tanggung jawabnya apa aja. Jadi, ga ada alasan ketika menjalani kerjaannya, "saya ga kuat, Mas." Udah tau ga akan kuat, malah dicobain. Bukan apa, sayang banget sama waktu dan karirnya. Prinsip gue, apply posisi yang memang sekiranya diminati atau sanggup jalaninnya. Jadi, minimal satu tahun ada di posisi itu, dapat paklaring/surat referensi kerja, biar ada bukti bahwa kita udah berpengalaman atau bekerja sebelumnya.

Soal ekspresi dan respon kandidat ketika diinfokan bahwa dia lolos semua tahapan pun berbeda-beda, ada yang flat, ada yang antusias, yang nangis terharu di depan gue pun ada,

"Makasi infonya ya, Mas."

Dengan nada yang datar dan percaya diri, setidaknya penilaian sok tau gue sih gitu, salah satu tipe yang kayak gini, itu si Inuar Zahrawati, kandidat yang pertama di posisikan buat Reporting Analyst, tapi karena kemampuan dan analisanya di atas rata-rata, dipindah jadi WFM (Work Force Management). -cerita soal Inuar akan berlanjut di bagian selanjutnya-

Ada juga kandidat yang ekspresif,

"Hah?! Serius, Mas?" Lalu dia nangis terharu di depan gue, ketika gue tanya kenapa nangis, dia terharu dan seneng, dia langsung ngabarin orang tuanya, dia diterima.

Ada kandidat yang engga fokus ketika wawancara. Sewaktu gue persilakan untuk perkenalan diri, DIA MALAH KELUAR RUANGAN. Gue kaget dan langsung nanya,

Gue: "Loh? Mba mau ke mana?"

Kandidat: "Saya diminta tunggu di luar, kan, Mas?"

Gue: "Perkenalkan diri, Mba, bukan keluar. Hehe."

Kandidat: "Oh, hehe. Maaf, Mas. Hehe"

Gue: "Hehe.."

Kandidat: "Heuu."

Ingin rasanya ku keluar dari ruangan wawancara dan cari alfamerit, terus emut kuping tukang parkir yang ketika kita datang ga ada, begitu kita selesai belanja, dia muncul sembari menagih uang parkir. 

--cerita ini bersambung di chapter berikutnya, ya--

Monday 8 April 2019

Catatan Seorang Perekrut - Adaptasi dan perpisahan. #11

Pada akhirnya, Citra memutuskan untuk tidak melanjutkan kontrak magangnya, mau bagaimana pun, itu pilihan. Berat mungkin, tapi harus menentukan. Dalam lamunan, gue teringat awal mula gue harus menentukan untuk masa depan sendiri, tepatnya sewaktu lulus SMA. Gue harus menentukan, memilih balikan sama mantan dengan segala kenangan yg sudah dijalani atau cari pacar baru dengan segala benefitnya kuliah di salah satu kampus yang memiliki basic pertanian di Bogor atau memilih psikologi yang memang sudah gue minati dari awal. Di kampus pertanian tersebut, gue sudah jelas diterima, orang tua gue meminta masuk dan memilih jurusan manajemen agribisnis di kampus itu, setelah gue sadari, kampus tersebut memang memiliki kebanggaan tersendiri untuk sebagian orang, tapi kebanggan gue justru terletak di psikologi, sampai akhirnya gue lebih memilih kuliah di Universitas Swasta (karena ga diterima di beberapa kampus negeri dengan jurusan psikologi, haha) yang penting jurusannya psikologi. Logika terbalik.

Balik lagi ke topik awal, Citra akhirnya pamitan. Citra menangis, gue menenangkan. Walaupun baru saling kenal tiga bulan, kami terbilang cukup akrab. Kepergian Eva dan Citra menjadi kehilangan yang cukup berarti, karena gue kehilangan sekaligus dua anak magang yang pintar. Ya, Eva lebih banyak somplaknya, sih, dibanding nunjukin kepintarannya. Gue ga betul-betul kehilangan Eva, karena dia masih berhubungan dengan tim rekrutmen di kantor. Bersamaan dengan itu, muncul kembali empat anak magang yang gue ceritakan di bagian sebelumnya, bisa dibaca pada tautan ini Rupa Kandidat kontrak mereka lima bulan. Gue ingatkan kembali sedikit, Jejen, Fajar, Siti, dan Ria. Awalnya gue liat mereka berempat ini laiknya remaja yang belum siap bekerja, candaan mereka ya anak sekolahan banget. Ada yang gampang marah, ada yang bisanya cuma cengin doang, ada yang tugasnya kompor (sengaja memanas-manasi situasi). Gue curiga mereka ini grup lawak.

Mereka berempat ini awalnya susah banget diajarin, ngeyel, grogi, dan penakut semua. Pada akhirnya gue paksa mereka untuk belajar merapikan CV, input data, menelfon kandidat, wawancara (bareng gue), dan psikotes sampai akhirnya mereka berani. Beberapa bulan akhirnya terlewati, posisi Eva dan Citra sudah digantikan dengan keributan mereka berempat.

Kejadian lucu selalu didapat entah kenapa. Dari Siti, tipikal yang amat sangat gerogian, ketika berhadapan dengan orang baru, omongan dia ga beraturan, penyampaian kacau. Sakingnya geroginya Siti ketika nelfon kandidat dan mendadak jadi gagap, dia pernah dapat respon, "Mba, yang bener dong kalau nelfon! Ini penipuan, ya?!" Setelah itu dia langsung tutup telfonnya dan ga mau nelfon lagi. Pernah ketika Siti membawakan administrasi psikotes berupa perhitungan dengan instruksi "pindah", karena Siti mengucap terlalu keras ada kandidat yang sampai kaget dan latah, "eh, ayam ayam" sembari mengangkat kedua tangannya, dan kandidat itu cowo. Terima kasih sudah membuat saya menahan tawa selama psikotes. Kelebihan Siti adalah dia cukup sigap ketika diminta bantuan.

Selama bareng Fajar, jelas sekali dia ini anak yang keras kepala. Seringkali Fajar membantah apa yang gue sampaikan, dengan nada suaranya yang tinggi -cempreng tepatnya- membuat dia seakan Chipmunk yang menyamar. Mau gimana pun, Fajar ini jadi penyelamat gue ketika ada kerjaan yang belum selesai di kantor, dia selalu nunggu karena gue selalu numpang motornya Fajar sewaktu pulang kerja ke arah stasiun Tanjung Barat. Thank you, Fajar! Kelebihan Fajar itu dia termasuk anak yang cepat belajar dan ada pada design grafis. Sama seperti gue, dia hobi merakit gunpla (gundam plastic).

Jejen yang terbilang cukup gemuk ini awalnya diem-diem aja, entah memang pemalu atau memang dia bingung gimana caranya pinjem uang ke teman yang baru dia kenal. Keliatannya dia berpikir keras soal itu. Makannya banyak banget anak ini. Orang tuanya memiliki pabrik penghasil kerupuk terbesar di kawasan Bekasi. Meski begitu, Jejen anak yang sederhana. Kekurangan terbesarnya dia hanya kentutnya yang amat sangat bau dan menggetarkan jiwa. Gue mengakui diri ini aneh karena suka menghirup kentut beberapa orang (eh, kalian harus tau, menghirup aroma kentut itu menurut penelitian justru sehat dan mengurangi resiko penyakit jantung dan mencegah kanker, loh! Ya kalau gue salah, mohon maaf), terkecuali kentutnya Jejen. Kelebihan Jejen, dia cepat belajar dan dia yang paling berani untuk belajar banyak hal sekaligus ketika magang.

Untuk Ria mohon maaf ini, gue ga deket sama anak ini, dia kebanyakan pacaran. Jadi, ga bisa banyak cerita. Hehe. 

Mereka berempat, dengan segala keunikannya akhirnya bisa beradaptasi, belajar. Sampai akhirnya, kami dipisahkan oleh kontrak. Ya, dengan kontrak mereka yang hanya lima bulan, kebersamaan kami cepat berlalu. Sesak juga rasanya ketika sudah mulai akrab justru kami harus berpisah. Dalam ucapan perpisahan Siti menangis, Fajar terlihat seperti menahan ludah menahan kesedihannya, Jejen keliatan ga ada beban. Entah kenapa juga dia santai banget. Ya, tapi mau gimana lagi, kantor itu tempat mencari sekaligus mendapatkan pengalaman, bukan tempat yang tepat untuk menimbun banyak kenangan. Paling tidak, gue sudah memberi bekal soal bagaimana baiknya berkomunikasi, cerita soal pengalaman di kantor, bekerja, dan lain sebagainya. Bukan cuma sekadar bantuin fotokopi berkas, ya. Entah kenapa gue kurang suka kalau ada anak magang yang cuma diminta tolong buat fotokopi tanpa diberi pembekalan yang lain, sih.

Beberapa dari mereka sebenarnya ditawarkan untuk kembali ikut program magang, tapi diantaranya menolak karena mereka ingin bekerja, bukan hanya sekadar magang. Jejen yang menyanggupi untuk kembali mengabdi dengan status magang. Cerita soal Jejen pun masih berlanjut.

Pada akhir cerita di tulisan ini, gue hanya ingin menyampaikan unek-unek, ada kandidat yang dijadwalkan untuk tanda - tangan kontrak, kalian semua tahu dia jawab apa ketika gue konfirmasi;

Gue: "Mba, dari semua proses, Mba dinyatakan lolos dan akan kami jadwalkan untuk tanda - tangan kotrak besok, ya. Ada yang mau ditanyakan?"

Kandidat: "Mas, boleh minta reschedule, ga? Soalnya besok saya ada jadwal nonton bareng temen."

Catatan Seorang Perekrut #17 Recruiter yang Insecure dengan Perjalanan Karirnya

Jumat, 14 Juli 2017. Hari yang nggak akan pernah saya lupakan dalam perjalanan karir yang, usianya masih seumur jagung ini. Hari di mana akh...