Monday 28 January 2019

Catatan Seorang Perekrut - Perkenalan. #1

Bagian pertama, perkenalan.

Sebetulnya agak bingung mau mulai basa-basi dari mana, biar keliatan seperti perkenalan, gue akan berkenalan dari mulai nama dulu, ya. Hehe. Gue Seto Wicaksono, kelahiran 1991. Dari tahun kelahiran, sebetulnya gue ini termasuk ke dalam generasi millenial, ya, walaupun ga millenial-millenial banget. Gue ga merasa se-millenial seperti yang diperbincangkan banyak orang. Gue sudah menikah dengan wanita yang cantik dan pintar, dia senior gue di kampus, kami berasal dari jurusan yang sama, Nazliah Gusmuharti. Sudah diamanati satu orang anak, Tobio Gusto Abqary.

Pengalaman kerja pertama gue setelah lulus kuliah itu di perbankan selama 34 bulan. Gue kerja di perbankan karena sebagai lulusan baru ketika itu, gue ga mau milih-milih, yang penting punya pengalaman dan kesiapan mental sebelum gue bekerja di posisi dan bidang pekerjaan yang gue mau -gue sukai, lebih tepatnya-. Betul aja, di perbankan mental gue cukup terasah, dari banyaknya pekerjaan, berhadapan dengan nasabah, berdebat dengan nasabah, sampai dibilang "bajingan" sama nasabah pun pernah. Hehe. Resiko bekerja di ruang lingkup pelayanan pelanggan.

Setelah kerja di perbankan, gue sempat menganggur dua minggu, setelahnya gue diberi rezeki -kesempatan- bekerja di posisi yang gue mau, sebagai staff HRD/Rekruter. Di tulisan ini yang gue harapkan bisa ditulis secara berkelanjutan, akan gue ceritakan pengalaman selama menjadi Rekruter, awal mulanya, suka-duka, sampai cerita mengenai kandidat yang gue interview. Gue belum lama jadi seorang Rekruter memang, masih learning by doing, tapi ga ada salahnya kan berbagi cerita apa yang gue alami di posisi ini. Hehe.

Pada dasarnya, gue suka menulis -bikin suatu postingan-. Walaupun tulisan gue belum bagus, belum teratur, acak-acakan, tapi gue akan terus menulis. Awalnya gue bingung apa yang mau dtulis, hampir selalu bingung. Sekarang, paling tidak gue tau apa yang akan gue tulis, fokus dan arahannya ke mana. Gue berharap bisa lebih rajin dan konsisten menulis dari sini.

Oh, iya, belum lama ini gue menyukai kalimat "whatever it take, keep going, keep believing".

Terima kasih dan Bismillah.

Tuesday 15 January 2019

Pengalaman Paranormal, Mistis.

Di postingan kali ini, gue mau sedikit bercerita soal pengalaman mistis yang pernah gue alami. Ga banyak, memang, tapi beberapa kali gue mengalami hal ini. Respon gue dimulai dari merinding, ketakutan sambil liat sekeliling, sampai panas dingin. Ternyata emang respon naturalnya kayak gitu. Hal ini hampir semua gue alami sewaktu kuliah, lokasinya di rumah orang tua gue dulu. Gue mau langsung cerita aja.

1. Mimpi Seakan Nyata

Hal ini gue alami tahun lalu, lupa tepatnya kapan, pastinya gue lagi sakit, meriang. Awal ceritanya, siang hari ketika gue kerja gue meriang, karena di rumah pake AC, sampai di rumah pun masih meriang, jadi gue putuskan tidur di ruang tengah, di depan tv. Selagi tidur, biasanya semua lampu dimatikan, biar adem dan ga bikin silau mata. Akhirnya gue tertidur dengan susah payah dalam keadaan meriang. Bunga tidur hinggap di pemikiran gue. Singkat, padat dan bikin seram, merindingnya jadi dobel. Yang dimimpikan itu ada sesosok kuntilanak yang sedang memerhatikan gue yang sedang tertidur di posisi yang sama persis, di ruang tengah, di depan tv. Seakan nyata banget. Tau cerita "Dear, David"? Kurang lebih kayak gitu. Bedanya, gue ga sempat videoin atau taruh kamera di sekitar gue. Gue mau melek pun susah, setelah bisa melek pun, gue jadi parno sendiri, langsung merhatiin sekitar, jangan-jangan gue masih diperhatikan.

2. Roti Dihisap Motor?

Cerita ini mungkin akan terkesan konyol, awalnya gue pikir kejadian ini cuma mimpi, sampe akhirnya gue cubit kulit gue, ternyata sakit. Gue tampar pipi gue, perih. Kejadiannya lagi-lagi di rumah orang tua gue, gue pun masih kuliah ketika itu. Sewaktu kuliah, gue sering banget tidur di sofa depan tv, biasanya gue akan nonton sampai ketiduran, tv-nya diatur mati otomatis. Sekitar jam 2 dini hari gue kebangun, lalu ada suara agak berisik di ruang tamu, ruang tv dan ruang tamu di rumah orang tua gue hanya berjarak satu petak, bersebelahan lebih tepatnya, pemisahnya hanya dinding. Awalnya gue pikir suara tikus, tapi makin lama suaranya kayak orang yang lagi menyedot sesuatu, kayak lo lagi minum es dalam plastik/wadah yang hampir habis atau ketika lo lagi makan mie sambil diseruput. Sudah kebayang? Lalu gue memberanikan diri ke ruang tamu, ngecek, karena suaranya makin ganggu dan besar. Biasanya gue parkir motor di dalam rumah, ruang tamu tepatnya. Nah, di bawah motor bagian mesin, ada roti yang Mama gue beli sewaktu sore. Roti bungkusan gitu, yang harganya kisaran 1000 rupiah dan dibungkus plastik. Gue sempet lega, karena pikir gue, betul tadi itu cuma suara tikus aja, yang bawa roti itu sampai ke bawa motor. Pas gue mau ambil lagi rotinya, posisi gue jongkok, roti itu naik dengan sendirinya lalu jatuh tehempas ke bawah lagi, seakan terhisap oleh motor. Gue kucek mata, cubit kulit dan tampar pipi, sakit. Ini nyata! Pikir gue. Gue perhatiin lagi roti yang terdampar di bawah motor itu, rotinya terhisap lagi! "sluuurp! sluuurp!" kurang lebih bunyinya begitu, hisapan itu terus berulang sampai rotinya benar-benar terhisap ke dalam motor. Gue merinding, ketika ngetik cerita ini pun gue merinding. Saat itu apalagi. Gue cuma bisa melongo, gak percaya. Motornya sampe gue tendang berkali-kali, mungkin tikusnya ada di motor, gue masih mikir positif. Sampe akhirnya gue nyerah, panas-dingin saat itu juga. Sampe akhirnya gue balik lagi ke depan tv dan ketakutan. Gue takut "sesuatu" tiba-tiba muncul di depan gue. Paginya gue kebangun, tapi ga berani cerita ke orang tua. Gue pendam cerita itu sampe akhirnya beberapa bulan lalu gue memberanikan diri untuk cerita. Motornya? Gak lama dari kejadian itu, gue minta Mama untuk jual motornya.

3. Tangisan

Perlu diketahui, lagi-lagi cerita ini terjadi di rumah orang tua gue. Rumah orang tua gue dibilang besar juga engga, dibilang kecil juga engga, ada dua lantai. Dengan ruangan yang cukup banyak dan jarang ditempati, memang beberapa ruangan terkesan hening ketika disinggahi untuk bersantai atau sekadar solat. Di lantai atas ada dua kamar dan ruang tv yang terbilang cukup luas. Selama gue kuliah, kami sekeluarga tiap minggu memang ada pengajian, tiap rabu tepatnya, kami memanggil guru ngaji, dan itu rutin selama beberapa waktu. Kejadian horor, gaib, menyeramkan ini gue alami ketika kami sekeluarga mengaji. Kami biasa mengaji bergantian, biasanya yang pertama gue, kali ini Bapak meminta lebih dulu untuk mengaji. Selagi nunggu Bapak, biasanya gue main handphone di ruangan yang sama. Oh iya, kami mengaji setelah maghrib sampai dengan isya. Selama Bapak mengaji, gue mendengar suara tangisan yang tersedu-sedu di salah satu ruangan, tepatnya di kamar Kakak gue. Gue pikir awalnya Kakak gue yang nangis, karena selama berantem sama pacarnya dia seringkali sampai nangis tersedu-sedu gitu, gue bilang dalam hati, "alay banget ini orang, lagi ngaji, ada Pak Ustad, malah nangis, kencengm tersedu-sedu pula, malu-maluin". Sampai akhirnya Kakak gue naik ke atas, lalu gue langsung bilang dengan nada kaget, "Eh?! lu bukannya di kamar?!", dia jawab, "apaan, daritadi gue di bawah kali nonton tv", gue langsung menimpali, "ah, serius lu?!". Gue langsung tarik lengan dia sambil ketakutan dan bilang, "anjrit, tadi gue denger suara orang nangis di kamar lu, nangisnya kayak orang yang sedih banget, tersedu-sedu!" Dia langsung ikut ketakutan. Setelah Bapak beres ngaji, gue langsung lapor ke Bapak soal kejadian yang gue alami, awalnya Bapak bilang, "ah, mana ada yang kayak gitu? Suara orang nyanyi palingan, atau Seto salah dengar. Bapak selama ngaji ga denger apapun, kok. Kita lagi ngaji, masa ada yang kayak gitu?" sampe akhirnya giliran gue ngaji, Bapak gue nunggu pengajian beres, dan selama gue ngaji giliran Bapak yang denger, akhirnya beliau bilang, "Set, tadi Bapak juga dengar ada suara orang nangis, ternyata benar ada". Kami keheranan, gue masih takut. Lalu, siapa yang menangis dikala kami sekeluarga sedang mengaji?

Itu beberapa kejadian seram yang gue alami langsung. Ada cerita gaib lain yang gue alami di rumah orang tua gue sewaktu kuliah, lebih banyaknya gue dengar suara ketawa anak kecil yang menyeramkan dan tangisan aja. Sampai sekarang akalu gue ceritakan kejadian ini semua, masih suka merinding.

Tuesday 8 January 2019

Intermezzo, Afirmasi.

Unek-unek awal di 2019.

Afirmasi. Makin ke sini gue ngerasa afirmasi ini aset yang cukup besar buat diri gue. Beberapa kali dalam hidup, hal-hal yang gue ingin (atau dibutuhkan) tercapai dengan afirmasi. Kenapa ingin gue taruh di awal? Karena harus diakui, gue ini banyak inginnya. Ditambah, gue meyakini, Allah itu mengabulkan semua doa, termasuk yang kita ingin (selama itu baik) dan yang dibutuhkan pun tetap masuk dalam doa. -Allah Maha Kaya, Maha Memberi-

Afirmasi gue ini yang gue sadari bisa datang dari "dua arah", entah dari sugesti dalam diri (dipikirkan terus) atau dari mulut (diucapkan). Pada dasarnya tetap harus yakin, betul-betul yakin sama apa yang dipikirkan atau diucap.

Apakah afirmasi gue pernah meleset? Ya. Ketika gue menjadi ragu. Atau yang tadinya -diawal- gue udah memastikan diri "bisa" lalu tiba-tiba karena faktor eksternal langsung down/mental block dan bilang, "aduh, bisa gak, ya?". Dari situ gue belajar, ketika sedang melakukan afirmasi dan gue down, gue langsung switch untuk memikirkan hal yang lain dulu atau menangkan diri. Ketika kembali optimis, yak, afirmasi mulai diaktifkan kembali.

Kalian mungkin pernah denger quotenya Dedy Corbuzier, "hati-hati dengan pikiran Anda". Ya itu emang sejalan dengan afirmasi. Apa yang dipikirkan, itu yang didapat. Mau hasil sesuai keinginan? Ya tergantung apa yang dipikirkan. "Kok yang diomongin pikiran atau afirmasi terus? Inget, yang mengabulkan itu Allah". | Betul, yang mengabulkan Allah, tapi, yang berdoa, kan, kita? Ada banyak pengertian ttg afirmasi, tapi, sederhananya (menurut gue), afirmasi itu berdoa dengan yakin (doa kita akan, pasti dikabulkan). "Prosesnya gimana? Emang langsung dikabulkan?" | Ya pasti kita melewati proses, urusan itu, biar Allah yang menggerakan kita menuju hasilnya.

Setelah gue sadari, ternyata gue udah "bermain" afirmasi dari SMP. Waktu kelas 1 SMP, entah kenapa terlintas di pikiran gue, "SMA 6, ya, gue harus masuk SMA 6". Itu gue masih kelas 1 SMP, ngapain mikirin masuk SMA mana 😐 ditambah waktu itu gue belum tau profil SMA 6 dan kenapa mau masuk SMA 6. Selanjutnya, ketika ada yang nanya nanti mau masuk SMA mana, gue selalu jawab SMA 6. Alhasil, gue masuk SMAN 6 Bogor. -gue baru sadar itu afirmasi pertama gue yang terwujud, sewaktu kuliah-

Sharing soal afirmasi ini tanpa maksud pamer atau sombong, gue posting ini lebih kepada ingin berbagi, menyampaikan, gunakan energi yang dimiliki, ubah itu untuk doa/keinginan yang baik. Terlebih, gue masih belajar banget soal menggunakan afirmasi ini. Kalau ada di tulisan ini yang salah atau kurang tepat, boleh dikoreksi.

Terima kasih sudah membaca sampai akhir. Mari "bermain" dengan afirmasi.

Monday 7 January 2019

Pengorbanan Seorang Istri

7 Mei 2016, tepat setelah tiga tahun gue pacaran dengan Nazliah Gusmuharti, kami menikah. Akhirnya harapan kami tercapai, bisa tinggal bersama, seumur hidup. Dengan segala kekurangan, gue mengucap ijab kabul di depan penghulu, para wali, juga saksi. Lebih dari itu, dengan gue mengucap ijab-kabul, tandanya gue juga sudah melakukan perjanjian dengan Tuhan, gue akan menafkahi, menemani, menjaga, membahagiakan dia seumur hidup. Nazliah itu pasangan hidup, partner, di dalam atau di luar rumah, kami tim. Laiknya tim pada umumnya, kami harus saling menopang satu sama lain, dalam cakupan yang luas. Teorinya seperti itu. Aplikasi, mari jalani bersama.

Sebelum menikah, kami bersepakat segera mengusahakan memiliki momongan. Ya, mengusahakan. Bulan Juni 2016, gue request ke Nazliah, untuk kado ulang tahun, gue pengen si jabang bayi sudah ada di perutnya. Harapan dan keinginan gue dikabulkan Tuhan, Nazliah hamil di bulan Juli, bulan kelahiran gue. Singkat cerita, Tobio Gusto Abqary -nama anak gue- lahir pada tanggal 7 Maret 2017. Ya, lagi-lagi ada hubungannya dengan angka 7. Kesepakatan lain terbentuk sebelum kami menikah, dengan mengusahakan kehadiran momongan di awal pernikahan, tandanya Nazliah harus mengorbankan karirnya, pekerjaannya, waktunya, kecerdasannya, kemampuannya dalam bekerja. Buat gue, itu salah satu bentuk pengorbanan Nazliah. Gimana engga, Nazliah yang gue kenal sebagai wanita yang cerdas, punya banyak kemampuan, tegas, dan nalar yang baik, amat sangat layak berkarir sesuai dengan jurusan perkuliahannya -Psikologi- (atau di bidang yang dia sukai). Namun, Nazliah sepakat untuk di rumah, mengurus rumah tangga, termasuk menjaga anak. Hal itu ga terlepas dari permintaan gue, agar anak dijaga oleh Mamanya langsung. Terlepas dari kami ga mungkin menitipkan anak ke orang tua kami (orang tua gue masih bekerja, mertua sudah tidak mungkin menjaga cucu, kami pun ga tega kalau orang tuaa harus bersusah payah merawat cucu fulltime), gue memang punya keinginan Tobio dijaga dan dirawat oleh Mamanya.

Merawat dan menjaga anak itu ga semudah dan semenyenangkan yang dibayangkan, bukan berarti selalu menyebalkan. Sebaliknya, justru membahagiakan. Yang gue pelajari, hal itu termasuk ke dalam stress yang positif, maksudnya, walaupun bikin stress, tapi bikin bahagia, apalagi kalau anak tumbuh dan berkembang dengan baik. Ketika gue libur panjang, gue pernah jaga Tobio, ga fulltime, tapi bikin capek banget, menguras tenaga, emosi dan pikiran. Bikin penat, jenuh. Bahkan secara jujur gue bilang ke Nazliah, mending capek kerja di kantor kayaknya dibanding di rumah -dengan nada bercanda tentunya-, lalu Nazliah menimpali, "tuh, kan, makanya rasain ada di rumah sehari penuh aja, ngurusin Tobio". Kami ketawa. Gue langsung paham gimana pengorbanannya dia selama ini. Jelas, itu bukan gambaran penyesalan kami dalam merawat anak, itu salah satu bentuk candaan kami di rumah. Kami bahagia memiliki Tobio, kami sayang buah hati kami, dan kami sadar betul tanggung jawab yang diemban dalam merawat dan mendidik anak.

Ada kadalanya gue berpikir, kalau Nazliah bekerja di posisi gue sekarang, kayaknya kinerjanya akan lebih baik dibanding gue, ga perlu banyak penjelasan, soal cerdas dan nalar harus gue akui, Nazliah lebih baik dibanding gue. Nazliah selalu dipersilakan untuk bekerja, entah freelance atau kantoran, namun saat ini, waktunya belum tepat karena Tobio masih butuh ada di dekat dan dalam asuhan Nazliah. Gue memahami ini sebagai salah satu pengorbanannya Nazliah sebagai wanita yang menjadi pasangan hidup sekaligus ibu dari anak-anak kami. Ada di rumah seharian itu tantangannya berat, sulit, dan gampang jenuh. Bukan cuma seharian, bahkan berminggu-minggu, bulan, tahunan. Jika diakumulasi, akan banyak waktunya yang dihabiskan di rumah, mengurus rumah tangga, merawat anak. Oleh karena itu, setiap temen-temen gue ngajak kumpul di weekend, bisa dikatakan gue ga bisa gabung, alasannya itu tadi, menemani Nazliah dan Tobio di rumah atau gue gantian jagain, ngajak main Tobio. Bukannya gue ga mau kumpul, tapi untuk saat ini, cuma itu reward yang bisa gue kasih ke Nazliah. Sekaligus tanggung jawab, jangan mau enaknya aja. Hehe. Seringkali belum maksimal karena di rumah masih suka ngeluh capek atau ngantuk.

Itu pengorbanan Nazliah dari sudut pandang gue sebagai suami. Gue berharap bisa memenuhi rasa nyaman dan bahagianya Nazliah seumur hidup, dengan segala tindakan baik dan kemampuan afirmasi yang gue miliki.

Friday 4 January 2019

Motivasi Kerja Para Calon Pekerja

Saat ini gue bekerja di salah satu perusahaan swasta yang menjadi vendor call center, lebih tepatnya perusahaan yang bergerak di bidang jasa penyedia contact center. Posisi gue saat ini adalah rekrutmen. Ada beberapa kejadian yang entah unik, sedih, atau lucu, khususnya bagaimana para kandidat menjawab pertanyaan yang gue ajukan. Kebanyakan salah ucap atau ada jawaban yang di luar dugaan.

Oke, dimulai dari yang sedih dulu. Motivasi kerja para kandidat tentu berbeda, paling berkesan dan gue inget sampai sekarang adalah ketika ada kandidat yang bilang motivasi kerjanya adalah orang tua yang bekerja sebagai petani di kampung, lanjutnya, dia ga mau menyia-nyiakan perjuangan orang tua yang sudah membiayai sampai dengan kuliah, singkatnya, dia mau bikin bangga orang tua. Alasan sederhana dan biasa sebetulnya, tapi gue tersentuh, karena relate sama orang tua gue, nenek gue (Simbok) tepatnya. Almarhumah dulu bekerja sebagai tukang kebun di ladang sendiri, menjual hasil kebun berupa beras atau kayu untuk membiayai Bapak gue sewaktu kecil sampai dengan Sekolah Menengah Atas. Ya, walaupun ga kuliah, tapi perjuangan Mbok gue luar biasa hingga Bapak gue bisa seperti sekarang.

Untuk hal yang lucu, lebih kepada ketika kandidat salah ucap. Pernah gue menanyakan, kemampuan apa yang mereka miliki, mereka jawab MIKROSKOP EXCEL. Oke, MIKROSKOP. Gue lanjut, biasanya rumusan apa yang mereka sering gunakan atau kuasai, dijawabnya, sum, max, min, AVENGER. AVENGER, guys. Gue baru tahu kalau AVENGER adalah salah satu rumus, bukan super hero. Selama proses wawancara dengan kandidat ini, gue nahan ketawa. Kandidatnya enak lempeng-lempeng aja jawabnya.

Masih berkaitan soal motivasi kerja, selama tahun 2018, ini motivasi kerja palin epic, satu-satunya, dan yang bikin gue terkesan. Ga ada duanya. Motivasi kandidat bekerja adalah BIAR TETANGGANYA GA NGOMONGIN DIA. Pas gue tanya kenapa, ternyata tetangganya dia ini suka ngomongin dia selama dia belum bekerja, ditambah kandidat ini sarjana, jadilah bahan omong tetangga. "Masa udah sarjana di rumah aja dan belum kerja, sih?", Begitu kurang lebih apa yang dibilang tetangganya, menurut si kandidat. Ini tetangga tipikal julid maksimal, ngebantu cariin kerjaan engga, support engga, malah julid. Tidak membantu wahai tetangga!.

Terakhir, tapi bukan yang paling akhir, ada satu kandidat yang bikin gue canggung dan bingung, bagaimana cara menutup wawancara yang baik ketika ngobrol sama kandidat satu ini. Biasanya gue menutup sesi wawancara dengan kalimat, "terima kasih sudah datang dan mengikuti interview dengan baik, (nama kandidat)". Nah, nama kandidatnya ini CINTA. Ya, ga ada nama belakangnya, cuma CINTA. Kebayang, ga, gimana kikuknya gue menutup sesi wawancara dengan gaya gue seperti biasanya?

"Terima kasih sudah datang dan mengikuti interview dengan baik, cinta".

Dan akhirnya gue melakukan hal itu, kandidatnya malah tersipu malu, seakan dia lupa, itu nama dia.

Thursday 3 January 2019

Alasan Memilih Psikologi

Di tahun 2012, gue pernah bikin tulisan, kenapa gue pilih jurusan Psikologi untuk proses belajar lebih lanjut di perguruan tinggi. Pada tulisan itu, alasan kenapa gue pilih Psikologi memang belum spesifik, masih umum aja gitu. Di tulisan kali ini, gue akan cerita lebih rinci alasan gue minat belajar Psikologi.

Alasan gue yg paling utama adalah minat. Sederhana banget, kan? Karena menurut gue pribadi, proses belajar yang baik adalah diawali dengan minat, kalau sudah minat, proses belajarnya pun akan lebih menyenangkan. Bawaanya senang aja gitu, capek iya, pusing sama tugas iya, tapi menyenangkan. Capeknya aktivitas selama kuliah pun terasa menyenangkan kalau didasari dengan minat. Mau berangkat pagi, pulang malem, tetep akan menyenangkan dan terasa seperti jalan-jalan. Ketika gue kuliah, bahkan gue ga kenal capek, mama gue pun sampai mengingatkan gue untuk tetap istirahat yang cukup.

Ketika memang minat menjadi alasan, lo ga akan ragu untuk menentukan target pencapaian selama kuliah, baik dari prestasi akademik atau pun hal lain. Gue misalnya, di Gunadarma itu tiap fakultas punya laboratorium masing-masing dan pasti ada asisten lab, untuk bisa jadi asisten lab, minimal sudah menjadi mahasisws semester 6. Gue dari semester 1, langsung punya target di semester 6 harus jadi asisten lab. Pasti menyenangkan, pikir gue. Hal ini juga hue ceritakan ke Mama, gue minta support dan doa dari beliau, sampai akhirnya gue diterima jadi asisten lab, lalu setelahnya Mama bilang, "karena Mama tau Seto pengen banget jadi asisten lab, jadi Mama bantu lewat doa, ternyata Seto bisa juga jadi asisten lab". Terharu gue, bisa dapetin apa yang dimau berkat doa orang tua yg dibarengi usaha.

Untuk target lain, gue sudah memasang target, bahwa tiap semester IPK gue harus naik, ada peningkatan. Betul aja, tiap semester IPK gue naik, di semester 1 IPK gue cuma 3.12, dalam prosesnya, selalu naik sampai akhirnya IPK gue 3.49, target kedua tercapai. Lalu dilanjutkan dengan target kelulusan, gue punya target lulus 4.5 tahun dan ternyata jadi nyata. Target dikabulkan oleh semesta. Jujur aja, selama SMA, kalau ulangan kadang gue menyontek. Yaa, bandelnya anak SMA, hehe. Selama kuliah, dari awal-akhir, ketika, kuis, ujian semester dan semacamnya, gue ga pernah mencontek. Semuanya gue kerjakan sendiri (kecuali tugas kelompok, itu lain, dong). Kenapa gue ga mau mencontek? Bukan belagu atau sok tau, tapi gue merasa bertanggung jawab sama apa yang gue minati, biar bisa mengukur kemampuan diri.

Sebagai tambahan, jika kita kuliah di jurusan yang memang betul sudah diminati, secara otomatis kita akan membentuk semesta yang positif, entah dari pembawaan diri, pertemanan, bahkan pencapaian. Ini gue alami sendiri. Dalam keadaan terdesak sekalipun, gue masih bisa, bahkan bisa dibilang optimis jika memang hal itu berkaitan sama perkuliahan. Gue menemukan sahabat yang bisa gue percaya sebagai teman sharing, beberapa diantaranya meneruskan S2, bahkan ada yang S3, ada juga yang menjadi dosen. Gue? Masih S1, hehe. Paling sesekali baca atau mencari jurnal penelitian terupdate. Gue bangga sama mereka, mereka bisa fokus dan terus belajar mendalami Psikologi.
Di tulisan gue sebelumnya yang berjudul "kenapa memilih dan masuk jurusan Psikologi", di kolom komentar ada yang bertanya (dan belum sempat gue jawab, mohon maaf sebelumnya, jadi sekalian gue jawab di sini aja, ya), inti pertanyaannya, "kalau udah lulus dari Psikologi, kerjanya apa? Apa ada pekerjaan yang menjamin kita sukses?". Hmm, begini, Psikologi itu cakupannya luas banget di dunia kerja, lo bisa kerja di bidang mana pun, kembali lagi, sesuai minat, atau cari lowongan/posisi yang memang untuk semua jurusan (sekadar informasi aja, pengalaman kerja gue yang pertama itu di perbankan). Kalau mau bekerja sesuai dengan jurusan (Psikologi), lo bisa kerja sebagai HRD, rekrutmen, head hunter, atau yang sejenis. Semua bidang pekerjaan punya peluang bikin kita sukses, masalahnya, kita mau ga menjalani proses menuju kesuksesan? Karena menurut gue pribadi, sukses itu pilihan dan diliat dari sudut pandang apa? (Gaji yang didapat? Jabatan ketika bekerja? Bisa hidup mandiri tanpa minta uang orang tua? Dan lain sebagainya) Mau atau engga. Kalau mau ya jalani prosesnya, kalau engga, ya itu kan pilihan(mu?).

Sampai dengan saat ini, gue belum menemukan alasan lain kenapa gue memilih dan belajar Psikologi, selain minat yang cukup besar. Ketika belajar Psikologi juga, gue menemukan pasangan hidup gue, dia senior gue di kampus. Cukup banyak kenangan yang bisa gue ingat selama kuliah. Banyak orang yang bilang, masa-masa paling indah itu ketika SMA, buat gue, masa-masa paling indah itu ya ketika kuliah dan belajar di bidang yang memang menjadi minat gue, Psikologi. Itu alasan gue.

Catatan tambahan:
Ketika lulus SMA, sebetulnya gue sudah diterima di IPB lewat jalur PMDK (tanpa tes, melalui nilai raport kalau ga salah), dalam prosesnya, gue pernah berdebat sama Bapak, karena gue ga mau masuk IPB (padahal gue sudah diterima, tinggal urus administrasi aja), sedangkan Bapak mau liat anaknya kuliah di IPB. Akhirnya gue jujur ke Bapak, gue minat banget kuliah di Psikologi dan menjelaskan, nantinya yang menjalani itu gue, bukan Bapak, dan khawatir ketika kuliah di jurusan yang ga gue minati sama sekali, hasilnya malah ga bagus karena males-malesan. Ketika gue kuliah pun, Bapak sempat ga peduli sama nilai gue yang terus naik, sampai akhirnya gue jadi asisten lab dan lulus dengan gelar cumlaude bersama dengan beberapa sahabat yang lain di kampus, salah satu lulusan terbaik, lah. Akhirnya Bapak bangga dengan pencapaian gue itu.

Sadar (Kekurangan dan Kemampuan) Diri

Awalnya gue mau bikin judul tulisan ini "Berdamai dengan Diri Sendiri", tapi ternyata udah banyak banget artikel yang bahas mengenai judul itu. Bahkan sudah ada buku dengan judul yang sama, setelah gue cari tahu di internet, diantaranya ada karya Muthia Sayekti dan Juni Soekendar, mungkin ada yang lain lagi. Jadi, gue putuskan untuk menggunakan judul Sadar Diri.

Ga ada yang spesial dari tulisan ini, tujuannya tetap untuk berdamai dengan diri sendiri, karena menurut gue, salah dua caranya adalah sadri diri dan menertawakan diri sendiri. Entah dari kesalahan yang pernah dibuat, yang pernah dilalui dalam hidup, menerima kekurangan diri, atau bahkan santai dan malah ketawa ketika kita dicela, dicemooh (bahasa anak sekarang mungkin dijulid-in, dicengin, diledek).

Dimulai dari menerima kekurangan diri. Gue sadar betul, diri gue ini gak sempurna dan belum baik, tapi dari situ justru gue jadi mengenali siapa diri gue dari sisi kekurangan yang dimiliki. Gue itu orang yang lama dalam mengambil keputusan -kebanyakan mikir-, sesekali ragu-ragu, cepet panik. Itu tiga kelemahan terbesar yang harus gue sorot dan perbaiki. Di sisi lain, tentu gue punya kelebihan. Sebab kekurangan itu, gue jadi lebih hati-hati dalam mengambil keputusan, bahkan karena terbiasa dengan kekurangan yang gue miliki, kadang gue jadi orang yang "bodo amat" dan "selengean". Gue termasuk orang yang optimis, bisa memotivasi diri sendiri (khususnya ketika lagi down) dan selalu belajar bikin target dalam hidup. Pantang nyerah, lebih ke ulet, sih. Sesekali gue menyerah, tapi tetep gue akan bangkit lagi. Kalau lagi nyerah, biasanya gue diem dulu atau merenung untuk ngumpulin energi positif. Diemnya ini bisa dengerin lagu, nonton film yang bikin gue semangat lagi -entah anime atau lainnya-.

Menertawakan diri sendiri ketika sedang menghadapi suatu masalah itu menyenangkan, diomongin orang di belakang, atau diledekin. Jujur aja, sampai dengan SMA, bisa dibilang gue orang yang sensian (bisa dibilang baper mungkin? Ya, gue mengakui hal ini). Ketika kuliah, gue ketemu orang-orang yang sukanya bercanda, dari yang biasa sampai yang parah, ngata-ngatain, gue jadi terbiasa sama hal itu. Teman bercanda sekaligus sahabat gue di kampus diantaranya ada Usber dan Bejoong (Maizar). Mereka ini kalau bercanda emang suka serius, ngatainnya juga serius, dari mulai, "udah jelek suombong lu, To", "lu kalau udah jelek sadar diri, dong", "lu serius mau deketin dia? Kok lu ga sadar diri?". Itu beberapa diantaranya yang gue inget. Mereka ini lucu, apalagi ketika ngatain gue dengan nada kesal. Dari situ gue belajar dan akhirnya rasa sensian gue terkikis, lalu memudar ketika ketemu Nazliah, istri gue. Dulu waktu awal pacaran, karena sensian gue ini masih dalam tahap memudar, kadang gue masih suka baper, ngambek (lah, jadi cowo baperan). Ya, itu kan dulu. Udah jadi bahan candaan gue dan istri kalau bahas soal gue yang dulu itu sensian, baperan. Kami suka ketawa bareng kalau ingat masa itu.

Sekarang, gue lebih nyaman menertawakan diri sendiri. Satu tahun terakhir, keluarga gue (khususnya orang tua) menghadapi masalah yang cukup pelik. Sebagian harta mereka dikuras, terkuras. Nominal kerugian bisa dikatakan besar, tapi, gue ga mau bahas itu di tulisan ini. Orang tua gue marah, kesal, mungkin gejala stres, tentu. Wajar menurut gue. Sempat dalam beberapa kurun waktu, yang dibahas persoalan itu aja, gue jadi kebawa suasana negatif. Gue coba menghibur mereka sebisanya, mengajak mereka ketawa karena kehilangan materi ini. Perlahan, mereka mulai menerima (kerugian/kehilangan ini tetap diproses, karena ga hilang gitu aja, ada faktor lain).

Saat ini, buat gue gak pengaruh sama sekali ketika gue dibilang bego, bodoh, tolol sekalipun, dulu gue sempat marah kalau dibilang kayak gitu. Lebih ke santai aja, bahkan respon gue lebih ke "apaan, sih -___-". Termasuk dibilang "fck u" dan kata kotor lainnya. Bahkan gue pernah dibilang sama temen gue waktu kecil, "hey, Seto! Setan Tolol! Hahahaha", mereka ketawa, lalu pikir gue, "apa yang lucu anjir, garing -gak lucu- juga ini orang". Gue ngerasa udah ga relate sama kehidupan aktual saat ini. Bahkan gue sempet nanya ke Nazliah, "kira-kira, kalau secara personal aku 'diserang', aku akan marah kalau ketemu situasi/dalam hal apa, ya?", Ini bukan pertanyaan nantangin, lebih ke jadi bahan renungan buat gue, biar gue bisa mempersiapkan diri gue dengan baik secara personal, mental, juga emosional. Tujuannya biar bisa mengontrol diri karena gue sadar diri, cukup sadar akan kekurangan dan kemampuan diri sendiri dan harus terus diperbaiki.

Wednesday 2 January 2019

Gue Kembali! | I'm back!

Yak. Seperti judul pada tulisan ini, gue akan coba kembali aktif menulis di blog lagi. Sebelumnya gue cukup sering menulis di akun Facebook gue alias update status, tapi karena beberapa hal dan ada masukan juga dari istri gue, Nazliah, gue kembali pindah ke blog pribadi. Alasan Nazliah sederhana, menurutnya, di blog gue bisa bebas nulis apapun, tanpa ada yang intervensi alias komen sembarang. Di blog tetep bisa komen, tapi setidaknya ga segamblang atau ga semudah di sosial media. Mungkin maksud yang mau disampaikan Nazliah adalah ga semua orang mau baca blog, oleh karena itu, ga semua orang seniat itu nimbrung di kolom komentar yang tersedia di blog. Hehe.

Gue akan tetap menulis berdasarkan apa yang gue pikirkan, entah curhatan, fenomena sosial, dan lain sebagainya. Gue memutuskan untuk kembali update tulisan di blog, karena gue merasa menulis menjadi salah satu hal yang menyenangkan. Kualitas atau bobot tulisan gue mungkin masih jauh dari kata bagus, tapi setidaknya gue senang sama hal ini.

Menutup tulisan ini, gue mau mengutip salah satu quote favorit gue, "I can do all things" -Steph Curry, Golden State Warriors's Guard-

Catatan Seorang Perekrut #17 Recruiter yang Insecure dengan Perjalanan Karirnya

Jumat, 14 Juli 2017. Hari yang nggak akan pernah saya lupakan dalam perjalanan karir yang, usianya masih seumur jagung ini. Hari di mana akh...