Monday 7 January 2019

Pengorbanan Seorang Istri

7 Mei 2016, tepat setelah tiga tahun gue pacaran dengan Nazliah Gusmuharti, kami menikah. Akhirnya harapan kami tercapai, bisa tinggal bersama, seumur hidup. Dengan segala kekurangan, gue mengucap ijab kabul di depan penghulu, para wali, juga saksi. Lebih dari itu, dengan gue mengucap ijab-kabul, tandanya gue juga sudah melakukan perjanjian dengan Tuhan, gue akan menafkahi, menemani, menjaga, membahagiakan dia seumur hidup. Nazliah itu pasangan hidup, partner, di dalam atau di luar rumah, kami tim. Laiknya tim pada umumnya, kami harus saling menopang satu sama lain, dalam cakupan yang luas. Teorinya seperti itu. Aplikasi, mari jalani bersama.

Sebelum menikah, kami bersepakat segera mengusahakan memiliki momongan. Ya, mengusahakan. Bulan Juni 2016, gue request ke Nazliah, untuk kado ulang tahun, gue pengen si jabang bayi sudah ada di perutnya. Harapan dan keinginan gue dikabulkan Tuhan, Nazliah hamil di bulan Juli, bulan kelahiran gue. Singkat cerita, Tobio Gusto Abqary -nama anak gue- lahir pada tanggal 7 Maret 2017. Ya, lagi-lagi ada hubungannya dengan angka 7. Kesepakatan lain terbentuk sebelum kami menikah, dengan mengusahakan kehadiran momongan di awal pernikahan, tandanya Nazliah harus mengorbankan karirnya, pekerjaannya, waktunya, kecerdasannya, kemampuannya dalam bekerja. Buat gue, itu salah satu bentuk pengorbanan Nazliah. Gimana engga, Nazliah yang gue kenal sebagai wanita yang cerdas, punya banyak kemampuan, tegas, dan nalar yang baik, amat sangat layak berkarir sesuai dengan jurusan perkuliahannya -Psikologi- (atau di bidang yang dia sukai). Namun, Nazliah sepakat untuk di rumah, mengurus rumah tangga, termasuk menjaga anak. Hal itu ga terlepas dari permintaan gue, agar anak dijaga oleh Mamanya langsung. Terlepas dari kami ga mungkin menitipkan anak ke orang tua kami (orang tua gue masih bekerja, mertua sudah tidak mungkin menjaga cucu, kami pun ga tega kalau orang tuaa harus bersusah payah merawat cucu fulltime), gue memang punya keinginan Tobio dijaga dan dirawat oleh Mamanya.

Merawat dan menjaga anak itu ga semudah dan semenyenangkan yang dibayangkan, bukan berarti selalu menyebalkan. Sebaliknya, justru membahagiakan. Yang gue pelajari, hal itu termasuk ke dalam stress yang positif, maksudnya, walaupun bikin stress, tapi bikin bahagia, apalagi kalau anak tumbuh dan berkembang dengan baik. Ketika gue libur panjang, gue pernah jaga Tobio, ga fulltime, tapi bikin capek banget, menguras tenaga, emosi dan pikiran. Bikin penat, jenuh. Bahkan secara jujur gue bilang ke Nazliah, mending capek kerja di kantor kayaknya dibanding di rumah -dengan nada bercanda tentunya-, lalu Nazliah menimpali, "tuh, kan, makanya rasain ada di rumah sehari penuh aja, ngurusin Tobio". Kami ketawa. Gue langsung paham gimana pengorbanannya dia selama ini. Jelas, itu bukan gambaran penyesalan kami dalam merawat anak, itu salah satu bentuk candaan kami di rumah. Kami bahagia memiliki Tobio, kami sayang buah hati kami, dan kami sadar betul tanggung jawab yang diemban dalam merawat dan mendidik anak.

Ada kadalanya gue berpikir, kalau Nazliah bekerja di posisi gue sekarang, kayaknya kinerjanya akan lebih baik dibanding gue, ga perlu banyak penjelasan, soal cerdas dan nalar harus gue akui, Nazliah lebih baik dibanding gue. Nazliah selalu dipersilakan untuk bekerja, entah freelance atau kantoran, namun saat ini, waktunya belum tepat karena Tobio masih butuh ada di dekat dan dalam asuhan Nazliah. Gue memahami ini sebagai salah satu pengorbanannya Nazliah sebagai wanita yang menjadi pasangan hidup sekaligus ibu dari anak-anak kami. Ada di rumah seharian itu tantangannya berat, sulit, dan gampang jenuh. Bukan cuma seharian, bahkan berminggu-minggu, bulan, tahunan. Jika diakumulasi, akan banyak waktunya yang dihabiskan di rumah, mengurus rumah tangga, merawat anak. Oleh karena itu, setiap temen-temen gue ngajak kumpul di weekend, bisa dikatakan gue ga bisa gabung, alasannya itu tadi, menemani Nazliah dan Tobio di rumah atau gue gantian jagain, ngajak main Tobio. Bukannya gue ga mau kumpul, tapi untuk saat ini, cuma itu reward yang bisa gue kasih ke Nazliah. Sekaligus tanggung jawab, jangan mau enaknya aja. Hehe. Seringkali belum maksimal karena di rumah masih suka ngeluh capek atau ngantuk.

Itu pengorbanan Nazliah dari sudut pandang gue sebagai suami. Gue berharap bisa memenuhi rasa nyaman dan bahagianya Nazliah seumur hidup, dengan segala tindakan baik dan kemampuan afirmasi yang gue miliki.

No comments:

Post a Comment

Catatan Seorang Perekrut #17 Recruiter yang Insecure dengan Perjalanan Karirnya

Jumat, 14 Juli 2017. Hari yang nggak akan pernah saya lupakan dalam perjalanan karir yang, usianya masih seumur jagung ini. Hari di mana akh...