Monday 6 May 2019

Catatan Seorang Perekrut - Bertemu Nazliah. #16

Selama outing gue pepet perempuan ini, gue liat terus, mumpung satu kelompok. Makin akrab sampai outing selesai. Di satu waktu, Heni masih beberapa kali ngechat via BBM selama outing, sekadar nanya kabar, tapi ya jadi terkesan posesif. Duh. Walaupun IPK gue dulu cuma 3.49, Gue bisa pikir kali,

"ini dia kenapa, sih, udah putus masih aja ngechat. Katanya ga bisa jalanin hubungan sama gue, tapi masih aja nanya kabar."

Biar ga berkepanjangan, akhirnya gue dan Heni sepakat ketemu, biar bisa segera kelir (baca: clear) masalahnya. Setelah ketemu, dia cerita panjang lebar, yang disampaikan:

"Kamu sekarang lebih cuek, ya"

Sambil nangis dia bilang,
"Aku ga bisa tanpa kamu~" uwuwuwu, kenapa ga bilang hal ini selama pacaran, BAMBANG.

Walaupun sama perempuan yang gue temui di outing belum sampai pacaran, tapi kami udah makin deket, dia merespon perhatian yang gue kasih, pun dengan dia. Setelah gue menimbang dan sepertinya Heni butuh jawaban gue segera, gue langsung jawab ke dia secara langsung saat ketemuan,

"maaf, aku ga bisa."

"kenapa? Udah ada cewe lain yang kamu suka, ya?" --yaiyalah, MAHMUDI, ke mana aja lo selama ini. Lagi pun, kalau gue suka sama perempuan lain ya ga salah, kan udah menjomblo--

Gue cuma jawab dengan senyuman. Pada momen ini gue berasa ganteng banget. Keputusan ini gue buat bukan karena mau balas dendam, lebih kepada, gue laki-laki, harus memilih dan punya sikap. Akhirnya, gue memilih perempuan yang menarik hati gue sewaktu outing dibanding Heni.

Nazliah Gusmuharti.

Setelah kejadian ini, gue ga langsung cerita ke Nazliah, bahwa mantan gue masih kontak dan sedikit memohon untuk kembali. Gue fokus ke hubungan gue dan Nazliah. Selama PDKT, tanpa disangka dan dingana, Nazliah yang bilang suka duluan ke gue. Dia bilang, gue kelamaan "nembak"., makanya dia gemas. Wqwqwq.

Kami PDKT selama 3 bulan, gue beranikan diri untuk menyatakan perasaan pada 07 Maret 2013. Saat itu sekitar jam 16.00, Nazliah yang selama kuliah juga jadi asisten lab, nunggu gue beres keluar dari lab, tanpa sepengetahuan dia, gue udah menyiapkan rencana "penembakan". Di dalam lab udah kumpul semua temen-temen, lalu tanpa disangka gue langsung bilang,

"Kamu mau ga, jadi pacar aku?"

Nazliah mengangguk dan senyum. Terus gue langsung bilang,

"Kalau mau, peluk aku, dong." kami pelukan.

Afirmasi gue terkabul perihal tipe perempuan yang gue mau, seperti yang gue sebutkan sebelumnya. Selama pacaran, Nazliah bantu proses skripsi gue, kasih dukungan moral juga. Persis seperti kriteria yang gue ingin.

Sewaktu kuliah, beberapa sahabat dekat gue yang tau gue baru diterima oleh seorang perempuan, langsung pada heboh dan berkomentar, macam kasih testimoni. Apalagi Nazliah ini tergolong cantik, pintar, dan senior di kampus pula. Mereka adalah Aji, Maizar (biasa dipanggil Bejoong -dia bilang "o"-nya harus dua), dan Usber.

Komen dari Aji, sewaktu dia tau gue bikin jersey kembaran,

"Wah, lo udah bikin jersey samaan aja, entar kalau putus, repot lo, ga mau dipake lagi nanti."

Setelah Aji bilang gini, yang ada di pikiran gue adalah,

"yaudah, liat aja nanti, kami ga akan putus, kok."

Bejoong dan Usber engga mau kalah dalam kasih komentar,

"GILA SI SEMPAK TAU AJE YANG CAKEP. KOK BISA DITERIMA LU? HAH? HAH?" -Bejoong.

"GUA RASA SI NAZLIAH MASIH KETUTUP DAH MATA BATINNYA. SEMOGA NAZ ENGGA NYADAR, YA. KALAU DIA SADAR LU GA GANTENG, GUA RASA NYESEL DIA." -Usber.

Iya, mereka kalau "ngata-ngatain" gue memang suka serius dan bener.

Belum lagi si Yessica sama Alia, dua sahabat lain kelamin ini juga sama kasih komentar yang lumayan ga kalah pedaz,

Yessica: "gila, lu, To, Kak Naz kan cantik banget, kok bisa?" Hmm.

Alia: "gue pernah liat kalian berdua jalan, kayaknya bahagia banget gitu sambil ketawa-ketawa, padahal lagi jalan kaki di pinggir jalan."

BHAIQ.

Makin menjalani hari bareng Nazliah, gue makin sayang sama dia. Dia itu pintar dan cerdas, punya sikap, dan tegas. Gue suka semua hal yang ada pada dirinya, termasuk juga kalau ambil keputusan cepet banget, spontan. Berbanding terbalik sama gue yang tipe pemikir, kelamaan mikir dan banyak pertimbangan. Nyaman diajak diskusi, ngobrol, dan bercanda.

Nah, hal yang paling dia ga suka dari gue selama pacaran adalah posesifnya gue. Harus diakui, gue tergolong lelaki posesif dan cemburuan. Kalau kalian mau background check, mungkin kalian bisa tanya ke mantan gue. Wqwqwq. Udah sok ganteng, posesif pula. Seto oh Seto.

Selama pacaran, kami punya visi yang sama, engga mau sembarang putus apalagi putus-nyambung. Kalau putus, ya, putus. Kalau memang lagi marahan, sebesar apa pun marahnya, obrolin. Diskusikan. Walaupun gue kalau lagi marah, seringnya diem, sih. Wqwqwq. Akhirnya, visi kami itu bisa diwujudkan. Engga pernah ada yang namanya kata putus selama pacaran, karena kami sama-sama ingin hubungan ini bisa sampai menuju pelaminan.

Kami sepakat, maunya satu sama lain jadi tujuan, bukan hanya singgahan.
Pada akhirnya, kami menikah tepat pada tiga tahun kami pacaran. Resmi pacaran tanggal 7 Mei 2013, menikah tanggal 07 Mei 2016. Ya, antara menyangka sama engga akhirnya bisa betul-betul menikah dengan Nazliah. Dari mulai awal ketemu saat outing, modalnya cuma yakin dan pede aja deketin dia. Sempet ilang kontak, tapi, dengan giat gue cari tau akun media sosialnya dia, awalnya twitter.

Setelah kejadian mencari tau diri dia dari twitter, gue sempet banyak komunikasi, saling mention, nyampah di timeline. Saat itu, mungkin banyak yang menyangka, kami ini alay yang lagi kasmaran. Wqwqwq. Yang gue suka dari Nazliah adalah, dia selalu punya sudut pandang yang berbeda tiap kali diskusi, selain penyeimbang, dia memang pelengkap gue.

Dari kejadian ini, akhirnya gue bisa menjawab dengan pasti dan yakin, kalau ada orang yang nyinyir,

"MAIN MEDIA SOSIAL MULU, EMANG BISA DAPET JODOH DARI SITU?"

Bisa. Buktinya gue. Hehehe.

Saat ini, kami juga sudah diamanati satu orang sahabat, Tobio Gusto Abqary, yang lahir tepat pada tanggal 07 Maret 2017. Gue inget tanggal lahirnya Tobio soalnya barusan cek fitur memories di facebook.

Tulisan ini sengaja dibuat dalam rangka usia pernikahan kami yang ketiga tahun. Mungkin biasa aja, ga begitu spesial atau sweet, tapi berhubung gue lagi gemar menulis, jadi, apa salahnya sedikit memori tentang kami dirangkum secara betul-betul singkat di sini. Ini yang bisa gue kasih.

as I said before and always remember this.
 I love you, not for a while, 
I do love you for the rest of my life. 
-From your happy husband. 

Friday 3 May 2019

Catatan Seorang Perekrut - Cerita Mantan. #15

Spoiler: di luar konteks, tapi relate.

Cerita mantan yang dimaksudkan di sini, ga semua mantan diceritain, cuma beberapa orang pilihan aja, ada juga mantan yang baru disuka aja, baru gue deketin. Dibilang gebetan juga bukan, soalnya yang suka cuma gue doang, dia engga.

Pertama kali gue tertarik sama lawan jenis itu waktu kelas 2 SD. Iya, di usia yang masih polos gitu, gue udah belajar jadi budak cinta alias bucin. Ya cuma suka-sukaan gitu. Kelas 5 SD di sekolah gue dulu lagi masanya banyak temen-temen yang udah pacaran. Bahkan sempet ada gosip anak kelas 6 ciuman sama pacarnya yang juga sesama kelas 6. Lalu, yang dipikirkan gue sama teman-teman waktu itu,

"Ih, kalau si cewenya hamil gimana?"

Iya, namanya juga anak kelas 5 SD, masih sepolos itu mikirnya. Sampai akhirnya di kelas 6 SD, malah gue yang ikutan pacaran, akhirnya gue jadian sama cewe yang gue suka, walaupun cuma dua minggu. Diputusinnya pun pas gue main kelereng, gue dipanggil sama dia.

"Seto, aku mau ngomong. Ke sini dulu, dong."

"Iya, apa?"

"Aku mau kita putus. Aku udah ga sayang lagi sama kamu."

Jailah, baru jadian beberapa hari aja bilangnya udah ga sayangnya, sayangnya aja ga tau kapan.

"Oh. Yaudah. Itu aja?" Lalu gue lanjut main kelereng, dan dia langsung ditembak sama temen gue. Mereka langsung pacaran. Dasar bucin. 

--cerita cinta SMP dan SMA skip, siapa tau kelak gue bikin buku, baru akan diceritain detilnya-- ada Aamiin?

Gue lulus SMA dalam keadaan single, iya jomblo. Rasanya aneh karena biasanya gue ga bisa kalau ga punya pacar, dasar emang mental bucin. Itu kenapa, kuliah gue bertekad dari semester awal harus punya pacar. Biar kurang tampannya gue ini tersamarkan.

Tekad ini berhasil mempertemukan gue dengan Annisa Widya (ig: cha_nissa), perempuan yang manis, good looking. Gue ngerasa deg-degan sewaktu liat dia di kelas, tapi gue nyali gue ciut pas gue bercermin. Apa dia mau sama gue yang rambutnya botak karena efek ospek? Ya, semuanya juga botak, sih, pas awal masuk.

Di semester 3, akhirnya gue memberanikan diri menyatakan perasaan gue ke dia. Terpaksa, karena temen nongkrong gue ngirim sms (waktu itu BBM dan WhatsApp belum begitu tenar) ke Annisa ini, sewaktu handphone gue dipinjem sama dia. Kurang lebih isi smsnya gini:

"Ca, sebenernya gue udah lama suka sama lo." Fak, emang.

Hasil dari penembakan gue, jelas. Ditolak. Setelah itu, gue malah keterusan masih ngejar-ngejar si Annisa ini padahal ya udah ditolak,  pikir gue waktu itu, ya usaha dulu, masa udah nyerah?

Karena gue terlalu jumawa ga pernah ditolak selama PDKT sama seseorang. Gue terlalu pede, sampai gue lupa, kalau udah mengusahakan yang terbaik, segala cara gue lakuin walaupun ga semuanya maksimal, dan gue belum mendapatkan hasil, saatnya gue ubah haluan.

Perjuangan terakhir gue deketin Anissa ini, buatin video sewaktu dia ulang tahun, sampai pada akhirnya gue nyerah di semester 6. Gue memutuskan untuk menghentikan rasa penasaran dan hasrat dapetin hatinya Annisa. Ya, udah tiga tahun, rasanya cukup dan sadar diri. Hehe. -biar terkesan patriotik, gue memakai kata perjuangan-

Gue sadar, falling in love with the people we can not have itu sakit. Sebab, gue berpedoman, dalam hubungan timbal balik, cinta itu saling memiliki. Setelahnya, gue tetap berteman baik.

Semester 6 semasa kuliah, gue jadi asisten lab psikologi di kampus untuk meningkatkan ketamvanan di mata para adik kelas. Mindset ini ada hasilnya. Ada satu adik kelas yang memukau mata gue, pas banget dia adik kelas sewaktu SMA. Heni, namanya. Saat itu yang gue pikirkan adalah,

"Yak! Ada bahan obrolan!"

Gue ajak dia ngobrol, basa-basa soal SMA. Akhirnya minta pin BBM-nya. Iya, biar bisa liat mukanya terus. Setelah di-add, ada inisial nama di status BBM-nya, yang gue tau, itu nama cowo. Pasti pacarnya, dong? Ga mungkin nama abang yang jualan kentang-cimol di kampus dia save inisialnya sampai dijadikan status BBM. Cowonya kuliah di luar kota.

Sedih. Alamat bertahan jomblo. Entah kenapa gue sempet mau ngejauh gitu, tapi berasa ditahan sama obrolan yang seru dan "bersambut". Padahal, ya dia udah punya pacar. Makin lama kenal dan bosan memendam, akhirnya gue beranikan diri bilang via BBM,

"Aku itu suka sama kamu, tapi aku ga bisa ngelakuin apa-apa, kamu tau kenapa."

"Iya, maaf, ya. Saat ini aku ga bisa." Respon dia.

Komunikasi terus berlanjut. Bahkan makin deket. Macem HTS-an, mungkin? Akhirnya, gue nyatain perasaan secara langsung, waktu itu ga pernah ngobrolin banyak soal cowonya, yang gue tau dia nerima gue jadi pacarnya. Pernah satu waktu setelah kami pacaran dia bilang,

"dia (cowonya) pulang. Aku main sama dia dulu, boleh? Maaf, ya."

Jadi yang kedua itu ga enak, bgst. Wqwqwq.

Setelah itu, dia janji mau mutusin cowonya dan lebih milih gue. Di sini, momen di mana gue merasa makin ganteng dengan tampang yang minimalis. Akhirnya mereka putus. Gue naik peringkat jadi pilihan utama.

Marahan sama dia yang paling gue inget adalah sewaktu dia bete, gue coba menghibur, dia malah bilang,

"GA USAH NGELUCU, DEH. KAMU BUKAN PELAWAK." Sakit hatiku menahan pilu, gaes. Wqwqwq.

Eh, setelah itu, pacarannya malah ga bertahan lama. Terhitung, sekitar enam minggu. Putusnya pun di kereta, kurang lebih dia bilang gini,

"Maaf, kayaknya kita ga bisa lanjut. Kamu terlalu baik buat aku. Aku ga bisa jalanin hubungan yang begini."

Dengan sok tegar, gue cuma bisa jawab,

"Oh, yaudah. Tenang aja, aku ga apa-apa, kok." -hati teriris bagai bawa dibelah pisau, adinda. Kau tau itu- SELAIN DI KERETA TIDAK MUNGKIN DONG GUE TIBA-TIBA NANGIS MERAUNG-RAUNG KARENA BAU DIPUTUSIN.

Seperti biasa, gue langsung anter dia ke luar stasiun. Lalu gue bilang ke dia,

"kamu hati-hati, ya."

Percakapan baik sebelum betul-betul mengakhiri suatu hubungan. Sampai di rumah, gue langsung laporan ke Mama, gue putus sama si Heni ini. Mama cuma nanya,

"Perasaan kemaren baik-baik aja, ada apa?"

Gue  jawab, "ga tau, tuh, aneh."

Lalu Mama balas menghibur,

"Yaudah, nanti juga balik lagi kalau emang masih butuh. Seto ga usah ngejar-ngejar."

Gue cuma jawab, "iya."

Baru aja Mama ngasih wejangan, eh, ini anak langsung BBM, tuh,

"Kamu di mana? Udah di rumah? Kok ga ngabarin aku?"

Hasgagajsjsuqiqjrowpqnsbdgwyqiwpandbgwoam. GIMANA SIH, KAN UDAH PUTUS. KALAU MAU DIKABARIN TERUS, NGAPAIN MINTA PUTUS?!1!1!1!!

Ya, mungkin kami emang harus pisah, karena beda kenyamanan, beda visi. Walaupun masih semester tujuh, waktu itu gue pikir ketika nemu pacar, harapannya ya bisa lama, syukur kalau memang sampai pernikahan, berjodoh. Capek kali putus-nyambung, kayak anak labil. Apa mau dikata, takdir berkata lain keputusan sudah dibuat.

Selama kami pacaran, foto kami berdua pun cuma pernah dipasang sekali aja, itu pun cuma beberapa detik. Awalnya gue bingung, kok kayanya enggan banget pasang foto berdua sama gue, selain memang gue kurang ganteng, buat dia yang lumayan cantik. Setelah dipikir, itu bukan alasan yang bisa masuk dalam perasaan karena cinta ini kadang tak ada logika, ternyata lebih kepada,
Ada perasaan orang lain yang dijaga.
Setelah putus dengan Heni, gue kembali menjomblo. Memang dasar ga betah sendiri, gue berniat mencari dan segera menemukan kembali seorang pacar yang hilang dan belum ditemukan untuk menemani kegiatan sehari-hari.


Setelah diputusin ini, karena gue udah mendekati pengerjaan skripsi, gue bertekad untuk segera dapet pacar lagi, biar jadi mtoivasi segera lulus kuliah. Perempuan yang mau gue miliki selanjutnya, kriterianya cantik, cerdas, bisa main musik, pakai softlens atau kacamata, keren dan modis.

Targetnya berat banget, ya? Lebih berat dari target waktu lulus.

Inget banget, 28 Februari 2013 gue ada acara outing lab jurusan. Semua asisten lab ikut. Di sini gue ketemu sama satu senior, satu angkatan di atas gue yang menarik perhatian dan pandangan, Cantik. Ya, ga bohong, dong, pertama kali liat orang, penilaiannya secara fisik terlebih dulu. Dia satu kelompok sama gue pula selama outing. Ga karuan perasaan gue, tapi, seakan feeling gue bilang,

"orangnya ini, deketin aja, percaya sama gue."

*** Bersambung di bagian selanjutnya ***

Monday 29 April 2019

Catatan Seorang Perekrut - Selingkuh di Tempat Kerja. #14

Halo, saat ini catatan seorang perekrut masuk ke bagian 14. Dukung terus, ya, dan terima kasih untuk para silent reader yang selalu membaca tulisan di blog ini tiap senin. Subscribe, ya! -jelas, ini salah platform-

Ada orang yang bilang, setia itu sulit. Seseorang bilang, setia itu mahal, itu kenapa sulit dilakukan oleh orang yang "murahan". Kalau menurut gue, setia itu setiap tikungan ada. Ga jelas banget candaan gue, kayak candaan bapak-bapak generasi baby boomers.

Satoshi Kanazawa, Psikolog London School of Economics and Political Science pernah mengungkapan soal hasil penelitiannya bahwa, "semakin cerdas pria, semakin dia menghargai nilai-nilai manogami dan eksklusivitas seksual dibanding pria yang kurang cerdas." Jadi, menurut gue pribadi, di zaman yang modern ini, setia itu pilihan, bagi pria khususnya. Pilihan untuk menjadi sosok yang cerdas atau sebaliknya.

Nazliah pernah bilang ke gue, "kalau kamu selingkuh, yang rugi kamu, lah. Berarti kamu ga worth it buat aku.". Ini yang bikin gue cinta sama Nazliah. Punya sikap, betul-betul punya nilai yang tinggi akan dirinya sendiri. Dia merasa diri dia berharga, jadi kalau pun gue selingkuh, ya kenapa dia harus repot? Tinggalin aja. Kurang lebih begitu.

Tentu, gue lebih memilih setia, bukan karena biar dibilang cerdas atau punya IQ tinggi gue menikah dengan Nazliah karena memang dia sosok yang gue cari. Kalau gue cari lagi yang lain, berarti gue udah mengingkari pernyataan gue sendiri.

Cerita ini bukan soal tentang gue dan Nazliah. Ini soal perselingkuhan yang memang nyata terjadi di tempat kerja. Yang kebetulan punya selingkuhan di kantor, kalau tersinggung dipersilahkan.

Dengan segala alasannya, gue ga ngerti alasan kenapa orang yang sudah menikah bisa berselingkuh, khususnya di tempat kerja. Walaupun berdasarkan penelitian yang ada, perselingkuhan memang rentan terjadi di perkantoran (gue lupa penelitiannya siapa, kayaknya kalau cek di google akan mucul sugestinya, deh). Pemikiran sederhana gue adalah, dia ga mikirin pasangannya gitu? Para pria khususnya. Mereka ga mikirin perasaaan istrinya yang udah mau repot-repot ngurus anak di rumah gitu? Yang standby jaga anaknya 24 jam 7 hari dalam seminggu. Alasannya apa?

Entah ini bisa dipercaya atau engga, seorang teman yang sudah menikah dekat sama perempuan lain karena istrinya kurang cantik. LAH?! Kalau memang menurutnya demikian, kenapa dulu bisa sampai menikah dan punya anak? Apa pun alasannya, di gue ga masuk logika kenapa bisa dia dekat dengan perempuan lain. Kurang cantik? Kasih biaya ke salon lah biar bisa dandan dan tampil cantik. Ga ada duit? Jangan banyak tingkah makanya.

Bahkan gue pernah liat dengan mata kepala gue sendiri, lelaki yang gue ketahui udah menikah ini suap-suapan di jam istirahat dengan perempuan yg bukan istrinya. Bukannya sweet, malah geli liatnya. Memang, suap-suapan ini ga bisa dijadiin bukti yang kuat seseorang selingkuh, tapi kenapa ya harus suap-suapan di jam istirahat dan di depan orang-orang?

Mengerti, tempat kerja rentan banget terjadi peselingkuhan, apalagi intensitas ketemu satu sama lain lebih sering terjadi. Belum lagi kalau memang satu divisi/bagian. Paling engga lima hari dalam seminggu dengan waktu yang relatif lebih lama dibanding waktu dengan pasangan. Cuma ya memang ga mikir gitu, pasangan di rumah udah mengasuh anak, bahkan sebelumnya mengandung lebih kurangnya 9 bulan dengan segala keresahannya, belum lagi mual, sakit badan, dan lain sebagainya.

Terus, ditinggal selingkuh gitu aja? Apalagi dengan alasan kurang cantik atau ga cantik lagi. Sok ganteng, memang.

Gue beberapa kali wawancara kandidat yang masih muda, seumuran gue, ada yang udah diamanati momongan, ada yang belum, mereka udah jadi single karena pasangan meninggal. Sedih dengernya, kalau disandingkan dengan pemandangan lelaki yang selingkuh di tempat kerja. Kontras.

"Udah ga ada duit, selingkuh pula. Ga tau diri." -quote dari Nazliah buat para lelaki yang selingkuh padahal ga ada duit- Bukan berarti membenarkan selingkuh untuk orang yang berduit, ya.

Sekarang, coba flashback. Gimana awal mula kalian ketemu dengan pacar atau pasangan hidup. Dari mulai ngelirik, memerhatikan, minta nomor handphone, kenalan, ngobrol sampe malem, ketika dapet chatnya seneng kebangetan kayak jobseeker yang akhirnya dapet peluang bekerja, kencan, pacaran, dan akhirnya duduk bersama di pelaminan.

Udah senyum-senyum sendiri inget kenangan itu?

You're welcome. My pleasure, pal.

Monday 22 April 2019

Catatan Seorang Perekrut - Kepeleset Lidah. #13

Di bagian sebelumnya, gue sedikit bercerita tentang kandidat Reporting Analyst, Inuar Zahrawati. Perkenalannya bisa cek di link ini Ekspresi dan Respon Kandidat. Gue akan melanjutkan cerita tentang Inuar sekaligus kelanjutan ekspresi dan respon para kandidat, khususnya ketika kandidat ini slip tongue, kepeleset lidah, atau bahasa seharinya-harinya salah ngomong. Entah sadar atau engga.

Tanpa menyepelekan atau menganggap mudah pekerjaan sendiri, sampai dengan saat ini, masih ada beberapa posisi yang buat gue pribadi susah banget buat dapetin kandidatnya, khususnya dari kemampuan yang memang sesuai dengan kualifikasi. Bisa dikatakan memang ga semua orang punya kemampuan ini, hanya orang terpilih. Salah satunya posisi Reporting Analyst. Gimana engga, posisi ini harus punya daya analisa di atas rata-rata, ditambah skill dalam Ms. Office, Ms. Excel khususnya.

Dalam mencari kandidat, gue biasa cari melalui portal pencari kerja, job fair, atau mengandalkan informasi dari teman. Setelah gue cek, awalnya memang terlihat banyak yang memenuhi kualifikasi, khususnya dari kemampuan Ms. Excel, paling engga itu dulu yang gue lihat. Setelah gue undang wawancara, banyak dari kandidat mengaku "BISA" sewaktu ditanya kemampuan excel-nya. Ya, bilang bisa aja dulu, pas diminta coba kerjain beberapa soal excel, ga bisa sama sekali. Deadline makin dekat.

For your information, bagian rekrutmen juga jelas punya deadline atau target, ya. Kerja tanpa target? Rasanya engga ada. Hehe.

Kendalanya bukan cuma di excel, karena ada juga kandidat yang niatnya cuma coba-coba, diterima syukur, engga juga yaudah lah, seengganya udah nyoba. Ada juga yang gerogi saat wawancara, sampai mengalami slip tongue.

Gue mulai bertanya,

"Oh, Mba terbiasa menggunakan microsoft office. Biasanya apa aja yang digunakan?"

"Saya biasa menggunakan mikroskop eksel, Pak." -- ((MIKROSKOP))-- jawab dia.

Gue lanjut bertanya sambil nahan ketawa,

"Oh, rumusan apa aja yang biasa digunakan sewaktu pakai excel, Mba?"

"avenger, sum, min, max.." --(AVENGER)-- jawab dia tetap tidak sadar dengan slip tongue-nya, sedangkan gue langsung menunduk nahan tawa.

Mencoba profesional, gue tetap lanjut bertanya,

"selain itu, apa yang bisa ditawarkan untuk perusahaan mengenai kemampuan Mba?"

"Saya punya kemampuan kontraksi yang baik, Pak, karena saya biasa kontraksi dengan orang lain."
((KONTRAKSI)), guys! KONTRAKSI.

PECAH PARAH, PECAH! INI KALAU GUE IKUT DI BENTENG TAKESHI, UDAH DITERIAKIN SAMA YANG NONTON,

"AH, PAYAH, PAYAH! BEGITU SAJA TIDAK BISA!" Karena gue susah nahan tawa.

*******

Sampai akhirnya di portal pencari kerja, gue nemuin satu kandidat, punya pengalaman sesuai dengan posisi yang dibutuhkan. Sempat hopeless, karena dia masih aktif kerja, kurang lebih sudah dua tahun bekerja di tempat kerjanya. Sebagaimana diketahui, kalau masih aktif kerja, biasanya perlu notice satu bulan untuk pengajuan resign kalau memang cocok alias diterima.

Inuar Zahrawati, namanya. Akun instagramnya @inuarzahra (boleh dicek, khususnya untuk kalian para individu dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Gue udah minta izin sama Inuar buat share akun instagramnya juga di blog. Hehe).

Pertama kali ketemu, kesan pertama yang didapat itu anaknya sopan, murah senyum, walaupun sewaktu wawancara kurang antusias keliatannya, cuma ya udah keliatan dia ini pinter dari cara menjawab pertanyaan. Ditanya soal deskripsi kerja, memang cocok banget, sesuai kebutuhan. Akhirnya Inuar tes excel dan hasilnya memang bagus banget, sih, diantara kandidat yang lain.

Proses lanjutannya tentu ada psikotes dan wawancara dengan User, dalam hal ini calon managernya Inuar. Singkat cerita, selesai wawancara, gue coba komunikasi dengan User tentang prosesnya Inuar. Beliau menyampaikan,

"Mas Seto, please keep Inuar for us. She is smart, I like her."

Lalu gue jawab,

"but, is it ok if Inuar join next month? Cause she should notice one month."

"It's ok, Mas Seto. We will waiting for her."

Duh, mohon maaf kalau bahasa inggris gue di bawah rata-rata. Kurang lebih seperti itu. Bisanya begitu. Iya, User berbicara dengan bahasa inggris, karena memang itu bahasa sehari-harinya dan beliau bukan orang Indonesia.

Sampai di sini udah kebayang gimana spesialnya Inuar?

Lalu, karena kemampuan Inuar ini di atas rata-rata, jadilah dia training sebagai WFM (Work Force Management).

Sampai pada akhirnya, Inuar join.

Monday 15 April 2019

Catatan Seorang Perekrut - Ekspresi dan Respon Kandidat. #12

Sebagai rekruter, sudah sewajarnya selalu berkomunikasi secara langsung atau tidak langsung dengan para kandidat, pencari kerja. Banyak orang di sekitar gue -khususnya kandidat- yang bilang, komunikasi itu lebih enak secara langsung, karena bisa liat emosi orang yang berbicara, jadi tau mana yang lagi marah atau engga, bisa menyesuaikan. Ada betulnya. Bukan berarti bicara secara ga langsung (via telfon, chat, dan lain sebagainya) itu ga enak, tergantung kita mulai percakapannya gimana, nada suaranya gimana. Cukup banyak kandidat yang berpengalaman di Call Center yang gue wawancara, mereka menyampaikan, salah satu kebahagiaan mereka adalah ketika bisa meredam amarah pelanggan yang dari awal nelfon udah bernada tinggi.

Gue pun punya tugas yang sama, menyampaikan informasi ke kandidat, mulai dari mengundang untuk proses wawancara via telfon, via email, atau sms dan chat kalau memang diperlukan. Kesulitannya adalah ketika ga ada respon dari mereka, ya mau gimana, paling engga gue udah coba komunikasikan dengan menggunakan beberapa media.

Ekspresi dan respon mereka pun beragam dalam menanggapi info dari perusahaan, apa pun prosesnya, wawancara tahap awal, psikotes dan/atau wawancara lanjutan dengan User, sampai info perihal lolos semua tahapan atau tidaknya.

Ada kandidat yang sudah apply posisi untuk lowongan Call Center di salah satu akun portal pencari kerja, ketika gue telfon dan gue undang wawancara, responnya,

"maaf, Mas, saya ga minat dan ga tertarik sama posisinya." Kesel, loh, YANG APPLY KAN ELU, MAMAT! KALAU GA MINAT YA KENAPA APPLY.

Melanjutkan cerita ini, gue pun pernah nelfon kandidat yang apply dari salah satu job fair, pas ditelfon, masa kandidatnya bilang sambil ngegas,

"OH DAPET DATA SAYA DARI JOB FAIR, YA? SAYA GA PERCAYA LAGI SAMA ACARA JOB FAIR, PENIPU!"

Lah, Malih, kalau job fair penipuan, kegiatan ini udah dianggap ilegal dan akan diberentikan sama pemerintah. Lagian kan kandidat ini yang nulis data diri dan kumpulin CV, kalau memang ga percaya, ngapain lakuin itu? Datang ke job fair dan tulis data diri. Cuma biar dapet duit jajan ke orang tua, ya? Iya? Lagian perusahaan yang ikut job fair biasanya akan dipantau kredibilitasnya, ga sembarang kalau memang yang mengadakan job fair orang atau instansi yang berkompeten. Kalau lo bilang job fair penipuan, sama aja kayak lo bilang, "semua cowo sama aja." Menyama-ratakan adalah suatu kesalahan. Kenapa jadi serius gue. Wqwqwq.

Itu kenapa, pesan gue, dan dari pengalaman pribadi, apply posisi yang memang diminati atau yang kira-kira kita akan tetap jalani walaupun dirasa berat, sederhananya disanggupi. Coba posisi lain yang bikin penasaran boleh, tapi coba diliat atau dicari tau dulu, deskripsi kerjanya apa aja, tanggung jawabnya apa aja. Jadi, ga ada alasan ketika menjalani kerjaannya, "saya ga kuat, Mas." Udah tau ga akan kuat, malah dicobain. Bukan apa, sayang banget sama waktu dan karirnya. Prinsip gue, apply posisi yang memang sekiranya diminati atau sanggup jalaninnya. Jadi, minimal satu tahun ada di posisi itu, dapat paklaring/surat referensi kerja, biar ada bukti bahwa kita udah berpengalaman atau bekerja sebelumnya.

Soal ekspresi dan respon kandidat ketika diinfokan bahwa dia lolos semua tahapan pun berbeda-beda, ada yang flat, ada yang antusias, yang nangis terharu di depan gue pun ada,

"Makasi infonya ya, Mas."

Dengan nada yang datar dan percaya diri, setidaknya penilaian sok tau gue sih gitu, salah satu tipe yang kayak gini, itu si Inuar Zahrawati, kandidat yang pertama di posisikan buat Reporting Analyst, tapi karena kemampuan dan analisanya di atas rata-rata, dipindah jadi WFM (Work Force Management). -cerita soal Inuar akan berlanjut di bagian selanjutnya-

Ada juga kandidat yang ekspresif,

"Hah?! Serius, Mas?" Lalu dia nangis terharu di depan gue, ketika gue tanya kenapa nangis, dia terharu dan seneng, dia langsung ngabarin orang tuanya, dia diterima.

Ada kandidat yang engga fokus ketika wawancara. Sewaktu gue persilakan untuk perkenalan diri, DIA MALAH KELUAR RUANGAN. Gue kaget dan langsung nanya,

Gue: "Loh? Mba mau ke mana?"

Kandidat: "Saya diminta tunggu di luar, kan, Mas?"

Gue: "Perkenalkan diri, Mba, bukan keluar. Hehe."

Kandidat: "Oh, hehe. Maaf, Mas. Hehe"

Gue: "Hehe.."

Kandidat: "Heuu."

Ingin rasanya ku keluar dari ruangan wawancara dan cari alfamerit, terus emut kuping tukang parkir yang ketika kita datang ga ada, begitu kita selesai belanja, dia muncul sembari menagih uang parkir. 

--cerita ini bersambung di chapter berikutnya, ya--

Monday 8 April 2019

Catatan Seorang Perekrut - Adaptasi dan perpisahan. #11

Pada akhirnya, Citra memutuskan untuk tidak melanjutkan kontrak magangnya, mau bagaimana pun, itu pilihan. Berat mungkin, tapi harus menentukan. Dalam lamunan, gue teringat awal mula gue harus menentukan untuk masa depan sendiri, tepatnya sewaktu lulus SMA. Gue harus menentukan, memilih balikan sama mantan dengan segala kenangan yg sudah dijalani atau cari pacar baru dengan segala benefitnya kuliah di salah satu kampus yang memiliki basic pertanian di Bogor atau memilih psikologi yang memang sudah gue minati dari awal. Di kampus pertanian tersebut, gue sudah jelas diterima, orang tua gue meminta masuk dan memilih jurusan manajemen agribisnis di kampus itu, setelah gue sadari, kampus tersebut memang memiliki kebanggaan tersendiri untuk sebagian orang, tapi kebanggan gue justru terletak di psikologi, sampai akhirnya gue lebih memilih kuliah di Universitas Swasta (karena ga diterima di beberapa kampus negeri dengan jurusan psikologi, haha) yang penting jurusannya psikologi. Logika terbalik.

Balik lagi ke topik awal, Citra akhirnya pamitan. Citra menangis, gue menenangkan. Walaupun baru saling kenal tiga bulan, kami terbilang cukup akrab. Kepergian Eva dan Citra menjadi kehilangan yang cukup berarti, karena gue kehilangan sekaligus dua anak magang yang pintar. Ya, Eva lebih banyak somplaknya, sih, dibanding nunjukin kepintarannya. Gue ga betul-betul kehilangan Eva, karena dia masih berhubungan dengan tim rekrutmen di kantor. Bersamaan dengan itu, muncul kembali empat anak magang yang gue ceritakan di bagian sebelumnya, bisa dibaca pada tautan ini Rupa Kandidat kontrak mereka lima bulan. Gue ingatkan kembali sedikit, Jejen, Fajar, Siti, dan Ria. Awalnya gue liat mereka berempat ini laiknya remaja yang belum siap bekerja, candaan mereka ya anak sekolahan banget. Ada yang gampang marah, ada yang bisanya cuma cengin doang, ada yang tugasnya kompor (sengaja memanas-manasi situasi). Gue curiga mereka ini grup lawak.

Mereka berempat ini awalnya susah banget diajarin, ngeyel, grogi, dan penakut semua. Pada akhirnya gue paksa mereka untuk belajar merapikan CV, input data, menelfon kandidat, wawancara (bareng gue), dan psikotes sampai akhirnya mereka berani. Beberapa bulan akhirnya terlewati, posisi Eva dan Citra sudah digantikan dengan keributan mereka berempat.

Kejadian lucu selalu didapat entah kenapa. Dari Siti, tipikal yang amat sangat gerogian, ketika berhadapan dengan orang baru, omongan dia ga beraturan, penyampaian kacau. Sakingnya geroginya Siti ketika nelfon kandidat dan mendadak jadi gagap, dia pernah dapat respon, "Mba, yang bener dong kalau nelfon! Ini penipuan, ya?!" Setelah itu dia langsung tutup telfonnya dan ga mau nelfon lagi. Pernah ketika Siti membawakan administrasi psikotes berupa perhitungan dengan instruksi "pindah", karena Siti mengucap terlalu keras ada kandidat yang sampai kaget dan latah, "eh, ayam ayam" sembari mengangkat kedua tangannya, dan kandidat itu cowo. Terima kasih sudah membuat saya menahan tawa selama psikotes. Kelebihan Siti adalah dia cukup sigap ketika diminta bantuan.

Selama bareng Fajar, jelas sekali dia ini anak yang keras kepala. Seringkali Fajar membantah apa yang gue sampaikan, dengan nada suaranya yang tinggi -cempreng tepatnya- membuat dia seakan Chipmunk yang menyamar. Mau gimana pun, Fajar ini jadi penyelamat gue ketika ada kerjaan yang belum selesai di kantor, dia selalu nunggu karena gue selalu numpang motornya Fajar sewaktu pulang kerja ke arah stasiun Tanjung Barat. Thank you, Fajar! Kelebihan Fajar itu dia termasuk anak yang cepat belajar dan ada pada design grafis. Sama seperti gue, dia hobi merakit gunpla (gundam plastic).

Jejen yang terbilang cukup gemuk ini awalnya diem-diem aja, entah memang pemalu atau memang dia bingung gimana caranya pinjem uang ke teman yang baru dia kenal. Keliatannya dia berpikir keras soal itu. Makannya banyak banget anak ini. Orang tuanya memiliki pabrik penghasil kerupuk terbesar di kawasan Bekasi. Meski begitu, Jejen anak yang sederhana. Kekurangan terbesarnya dia hanya kentutnya yang amat sangat bau dan menggetarkan jiwa. Gue mengakui diri ini aneh karena suka menghirup kentut beberapa orang (eh, kalian harus tau, menghirup aroma kentut itu menurut penelitian justru sehat dan mengurangi resiko penyakit jantung dan mencegah kanker, loh! Ya kalau gue salah, mohon maaf), terkecuali kentutnya Jejen. Kelebihan Jejen, dia cepat belajar dan dia yang paling berani untuk belajar banyak hal sekaligus ketika magang.

Untuk Ria mohon maaf ini, gue ga deket sama anak ini, dia kebanyakan pacaran. Jadi, ga bisa banyak cerita. Hehe. 

Mereka berempat, dengan segala keunikannya akhirnya bisa beradaptasi, belajar. Sampai akhirnya, kami dipisahkan oleh kontrak. Ya, dengan kontrak mereka yang hanya lima bulan, kebersamaan kami cepat berlalu. Sesak juga rasanya ketika sudah mulai akrab justru kami harus berpisah. Dalam ucapan perpisahan Siti menangis, Fajar terlihat seperti menahan ludah menahan kesedihannya, Jejen keliatan ga ada beban. Entah kenapa juga dia santai banget. Ya, tapi mau gimana lagi, kantor itu tempat mencari sekaligus mendapatkan pengalaman, bukan tempat yang tepat untuk menimbun banyak kenangan. Paling tidak, gue sudah memberi bekal soal bagaimana baiknya berkomunikasi, cerita soal pengalaman di kantor, bekerja, dan lain sebagainya. Bukan cuma sekadar bantuin fotokopi berkas, ya. Entah kenapa gue kurang suka kalau ada anak magang yang cuma diminta tolong buat fotokopi tanpa diberi pembekalan yang lain, sih.

Beberapa dari mereka sebenarnya ditawarkan untuk kembali ikut program magang, tapi diantaranya menolak karena mereka ingin bekerja, bukan hanya sekadar magang. Jejen yang menyanggupi untuk kembali mengabdi dengan status magang. Cerita soal Jejen pun masih berlanjut.

Pada akhir cerita di tulisan ini, gue hanya ingin menyampaikan unek-unek, ada kandidat yang dijadwalkan untuk tanda - tangan kontrak, kalian semua tahu dia jawab apa ketika gue konfirmasi;

Gue: "Mba, dari semua proses, Mba dinyatakan lolos dan akan kami jadwalkan untuk tanda - tangan kotrak besok, ya. Ada yang mau ditanyakan?"

Kandidat: "Mas, boleh minta reschedule, ga? Soalnya besok saya ada jadwal nonton bareng temen."

Monday 1 April 2019

Catatan Seorang Perekrut - Rupa Kandidat. #10

Semakin lama, gue makin terbiasa dengan deskripsi pekerjaan sebagai perekrut, tanpa maksud menyepelekan pastinya karena gue masih harus dan terus belajar. Selain itu, akhirnya gue bisa membaur dengan yang lain di ruangan. Dua senior gue yang belum disebutkan namanya, diantaranya adalah Mas Taqim lalu Irma (kadang dipanggil Ocha), dengan adanya Eva dan Citra di ruangan, kebayang dong betahnya gue? Hehe. Engga, maksudnya jadi rame aja gitu. Ga lama setelah gue masuk, kabarnya akan ada beberapa anak magang tambahan yang memang masuk dalam salah satu program pemerintah. Gue sempet mikir dan bingung juga, ada Citra dan Eva aja cukup banget, ini lagi ada tambahan anak magang, harusnya lebih dari cukup, dong? Atau bisa jadi gue sebagai staff kerjanya akan males-malesan karena banyak yang bantu. Ga bisa dihindari soal ini. Hehe

Akhirnya anak magang yang gue maksud mulai efektif berada di ruangan. Program ini mengirimkan total 10 anak magang dan rencananya akan dibagi ke beberapa divisi, IT dan Learning & Development salah duanya, di HR Rekrutmen sendiri kedapatan empat kuota, nama mereka antara lain, Jejen, Fajar, Siti, dan Ria. Mereka masih aktif kuliah dan ada pula yang baru lulus juga berasal dari kampus yang sama. Ga heran kalau mereka bisa gampang akrab satu sama lain meski beda angkatan. Cerita soal mereka akan diselipkan di beberapa bagian setelah ini, mereka berempat ini lucu dengan segala keragaman karakteristiknya. Ya, laiknya seseorang yang sedang dalam periode dewasa awal, mereka labil dan ada aja tingkah lakunya.

Dalam keseharian proses yang gue lakukan, gue selalu dibantu Citra dan Eva. Biasanya Eva bantu dalam pelaksanaan psikotes, sedangkan Citra bantu gue ketika proses wawancara berlangsung. Ya, ketika kandidat yang walk in interview menumpuk, gue sering mengajak Citra untuk wawancara bareng gue. Selama proses wawancara -dari awal datang, wawancara, sampai akhir- ada beberapa kandidat yang memang unik. "Nyeleneh", tepatnya. Koreksi gue kalau salah, dari gue lulus kuliah dan dapet panggilan wawancara kerja pertama gue selalu mengenakan pakaian rapi formal ketika interview (sampai sekarang bahkan), nah ini ada kandidat yang mau wawancara datang gitu aja pake legging, kaos, lalu sendal main, bro. Asli, ini nyata. Kaget gue. Lain dari itu ya berpakaian rapi dan sopan. Ketika wawancara, ada kandidat yang memang cuma jawab "iya", "aku siap, Pak" dan manggut aja, mereka apa ga sadar ya komunikasi itu salah satu hal yang mau diperhatikan. Kalau cuma jawab "aku siap", yha SpongeBob juga bisa, tiap hari dia bilang kayak gitu selama main di Bikini Bottom.

Ada kandidat yang dengan rajin melampirkan banyak sertifikat (seminar,  kursus, dll.), kalau lagi iseng gue pasti nanya ke kandidat soal sertifikat ini satu per satu. "Mas/Mba, sertifikat ini dulu didapat dalam acara apa? Ilmu atau pengetahuan apa aja yang di dapat? Ada info soal potongan harga di alfamerit, ga?", tanya gue. Dari mereka cuma keluar jawaban template, "Hmm (ala Nissa Sabiyan), lupa, Pak. Soalnya udah lama ikut seminarnya. Hehe". Ya kalau lupa ngapain dicantumkan. Sebagai "pemanis CV", iya, gue paham. Kalau gue, biasanya ga melampitkan sertifikat yang memang gue lupa itu gue ikutin dalam rangka apa, relate ga sama posisi yang gue lamar. Ada juga kandidat yang mencantumkan banyak ijazah entah pendidikan terakhirnya sarjana atau diploma. Padahal, ketika kita sudah dapat gelar sarjana secara otomatis udah lulus SMA/SMK (atau sederajat), dong? Ngapain pula dilampirkan ijazah SMA, transkrip nilai ujian SMA, sertifikat les sewaktu SMA, dll..

Panggilan buat gue pun beragam. Gue inget betul, kali pertama selama proses wawancara dipanggil "kakak" sama kandidat, waktu itu bareng Citra. Kami nanya pertanyaan biasa, lalu tiba-tiba dijawab, "iya, Kak, saya siap dengan target". Sontak gue dan Citra langsung tatap-tatapan dan senyum nahan tawa. Setelah wawancara selesai, gue kaget lah dan bilang ke Citra, "ini serius gue dipanggil Kakak? Selama gue wawancara, gue selalu manggil interviewer pake sapaan Mas/Pak atau Mba/Ibu, deh", dumel gue. "Ga tau tuh, Kak, kocak", balas Citra. "Apa jangan-jangan dia adek-adekan gue waktu SMA ya, Cit. Terus kami dipertemukan lagi sekarang?" Sahut gue menimpali jawaban Citra.

Dipanggil Abang? Pernah juga! Makin bingung gue, kandidat ini kok banyak yang manggil interviewer dengan kata sapaan yang ga lazim, ya. Begini percakapan gue dengan kandidat tersebut:

😊 Gue | 😶 Kandidat

😊: "Mba, bisa diceritakan apa motivasimu melamar sebagai Call Center?"
😶 : "Ga tau, Bang. Saya ke sini karena info dari teman saya aja, Bang."
😊 : "Boleh disebutkan apa aja kemampuan yang Mba miliki?"
😶 : "Ga tau, Bang, saya belum tau kemampuan saya apa aja, tapi saya mau belajar, Bang. Jangan marahi saya, Bang."

Gue bingung karena gue ga berniat dan ga akan marahin juga, nada bicara gue pun biasa, sampai akhirnya gue mengajukan pertanyaan terakhir.

😊 : "Mba, kasih saya alasan kenapa saya harus menerima dirimu?"
😶 : "Yang menilai biar Abang aja, tapi saya mau belajar, Bang. Jangan marahin saya, karena saya takut dimarahin, Bang".

Makin bingung aja gue, udahlah dipanggil Abang, jawaban dia selalu diawali dengan kata "Ga tau", lalu dia bilang jangan marahin. Sumpah, dari awal gue wawancara biasa aja dan ga mau marahin juga. 

Sewaktu gue ikut wawancara sebagai pencari kerja, gue pasti panggil HRD itu dengan sapaan "Ibu/Mba" atau "Pak/Mas". Bahkan kadang gue suka minta persetujuan, "saya bisa panggil dengan sapaan Bapak atau Mas, ya, maaf?".

Gue bukan tipe pewawancara yang galak, lebih ke santai dan ngobrol biasa aja gitu. Sesekali ketawa kalau memang ada yang dianggap lucu atau nunjukin rasa penasaran, amaze ke kandidat yang punya cerita menarik. Suatu waktu, gue dan Citra dapet kesempatan wawancara kandidat yang punya pekerjaan sampingan sebagai stand up comedian/komika, Ferdiansyah namanya. Selama proses wawancara gue dan Citra ketawa mulu karena celetukannya dia. Ferdi diterima dan bisa bergabung di kantor. Sampai sekarang kami masih berteman dengan baik, walaupun menjelang satu tahun masa kerjanya, dia resign.

Wawancara kandidat yang luar biasa? Pasti pernah, lah. Sampai sekarang, ada satu kandidat perempuan melamar untuk posisi Call Center yang menurut gue luar biasa kemampuannya dalam berkomunikasi, cheerful juga orangnya. Dari pertama berkenalan dalam proses wawancara, gue yakin dia akan diterima oleh User. Setelah gue ajukan, betul aja, dia dapat penilaian yang sangat baik dan bisa segera join. Kandidat pertama di awal masa kerja gue mengajukan ke User dan akhirnya bisa "tembus". Gue seneng karena kali pertama mengajukan kandidat ketika ada kebutuhan pemenuhan (deadline), disaat itu juga gue dapat kandidat yang cocok.

Setelah beberapa bulan magang, akhirnya Eva dapat tawaran untuk mengisi HR Representative untuk satu  klien di kantor. Ga lama dari Eva dapat tanggung jawab baru, kontrak magang Citra pun akan segera berakhir, sudah ditawarkan kontrak baru hanya saja untuk magang, Citra bimbang karena posisi dia sudah lulus kuliah. Betah, tapi sebagai fresh graduate dia butuh pengalaman kerja agar benefit dari segi ilmu, kemampuan, dan pendapatan meningkat. Citra sampai sempat menangis curhat soal kebimbangannya dia. Gue cuma bisa menenangkan dan mengingatkan, pikirkan baik-baik dan minta atau dengar saran dari orang tua. Berat, tapi, Citra harus tetap menentukan pilihan.

It's hard to move on, but you do, you have to (,Citra). -Steven Gerrard.

Monday 25 March 2019

Catatan Seorang Perekrut - Terima Kasih, Pengalaman. #9

17 Juli 2017, hari kedua gue masuk bekerja sebagai perekrut bertepatan dengan hari Senin. Ketika itu, gue masih terbayang dengan suasana kerja di bank, yang mana tiap Senin pasti rame, penerimaan warkat untuk kliring pun jauh lebih banyak dibanding hari lain. Untuk transaksi lain? Sama banyaknya. Nasabah yang datang? Ga perlu ditanya. Di kantor gue yang baru ini ternyata sama juga, lagi banyak banget kandidat yang datang karena memang lagi ada kebutuhan banyak, entah yang datang walk in interview atau pun yang sebelumnya diundang. Lobi di ruang depan seketika bising dan rame. Makin teringat sama suasana di bank. Gue nyampe kantor bisa dikatakan siang, sekitar jam 08.15 karena belum nemu waktu yang tepat jam berapa harus berangkat dari rumah dan jam berapa amannya naik kereta dari Stasiun Bogor.

Ga lama gue nyampe dan merapikan CV yang dibawa para kandidat, gue disapa oleh dua perempuan, "hai, Kak, aku Citra", lalu yang satunya, "hai, Kak, aku Eva". Gue baru sadar, mereka ini dua anak magang yang gue ceritakan di bagian sebelumnya. Kenapa gue baru sadar? Karena Sabtu mereka ga masuk, jadi gue baru liat wujudnya mereka. "Kakak baru masuk hari ini, ya?" tanya Eva. "Iya, sebetulnya Sabtu udah masuk, tapi kalian belum ada, ya?". Citra jawab, "iya, Kak, soalnya Sabtu buat kita ga wajib datang". Setelah itu, kami langsung menyusun CV dengan rapi agar setelahnya kandidat yang datang bisa segera diwawancara. Oh, ya, Eva dan Citra ini masih aktif sebagai mahasiswa, mereka magang sambil kuliah.

Entah kenapa makin siang, kandidat yang datang makin banyak. CV pun makin menumpuk di atas meja. Gue sempet mikir, "ini beres jam berapa kalau kandidat yang datang sebanyak ini?". Beruntung, karena sudah terbiasa kerja di bank yang menuntut karyawannya harus bisa kerja cepat dalam melayani nasabah, gue jadi bisa segera adaptasi sama hiruk-pikuk juga keramaian ini. Dari mulai beresin CV, mengarahkan kandidat, dan lain sebagainya. Bahkan ada salah satu trainer yang bilang dan gue masih inget apa yang dibilang sampai sekarang, "wuih, Seto udah cepet aja ini kerjanya, udah nyetting banget kayaknya". Ya, harus diakui gue terbiasa sama apa yang gue kerjakan sebelumnya yang memang menuntut kecepatan sekaligus kepuasan nasabah. Bukan maksud sombong atau membanggakan diri, justru gue bersyukur soalnya ada "bekal" yang bisa gue aplikasikan. Hal yang berbeda adalah, di perbankan gue mau ga mau menganggap nasabah adalah raja dan perlakukan mereka dengan baik, tapi menurut sudut pandang gue, ga semua raja itu bijaksana. Ada raja yang baik nan bijaksana, ada raja yang semena-mena. Selama di perbankan, rasanya gue udah biasa loh, dikatain "bajingan", "bangsat", "dasar kau pembantu perusahaan aja belagu". Sakit hati? Awalnya iya, tapi yang kali kedua dan seterusnya, biasa aja. Malah jadi bahan guyonan. Hal ini ga gue temukan ketika gue jadi bagian dari HRD (Perekrut), mau ku emut kupingnya kalau pas wawancara ada kandidat yang berani bilang gitu? Hehe.

Hari itu, setelah selesai proses wawancara, siang hari kami langsung melakukan psikotes, ada 24 kandidat yang mengikuti proses ini. Belajar dari rasa grogi gue di hari sabtu ketika proses psikotes, sekarang gue akan didampingi oleh Citra dan Eva, walaupun mereka magang, tapi sudah dibekali dan belajar administrasi psikotes sebelumnya. Jadi, gue akan belajar dan lihat cara mereka dalam melakukan proses administrasi psikotes. Loh, kok, staff malah belajar sama anak magang? Buat gue belajar bisa dari siapa aja, gue ga malu, kok, belajar sama yang lebih muda atau yang kalian sebut cuma magang, selama bisa dan berkompeten, kenapa engga? Mereka memang terbukti bisa menguasai administrasi psikotes dengan baik. Selama pengerjaannya, kami bertiga berbincang ringan semacam biar bisa kenal lebih jauh. Dari cara Eva dan Citra bicara, mereka ini perempuan yang pintar juga cantik. Hehe. Mau kepoin akun instagramnya? Nih: @evageulistiaa dan @rclestari27 (gue udah izin ke mereka buat share akun instagram mereka di tulisan ini, hehe). Psikotes pun selesai, beberapa diantara kandidat yang sesuai dengan kualifikasi dijadwalkan wawancara lanjutan dengan User, info diterima atau tidak pun dilaksanakan di hari yang sama. Gue masih bingung gimana alurnya, yang jelas gue sambi melihat senior gue dalam bekerja.

Proses hari ini menyenangkan, ada satu kejadian yang lucu sekaligus iba juga. Satu kandidat yang baru saja diterima dan ikut training hari pertama telat datang, dia dijadwalkan masuk jam 08:00 WIB, namun baru datang sekitar jam 09:00, dia minta maaf sambil nangis, sampai sekarang gue masih inget apa yang dia bilang ke receptionist, "Maaf saya telat, Mba, saya keder (pusing) sama jalanan Jakarta, saya turun metromininya kecepetan, malah turun di deket Semanggi, masih jauh dari gedung Patra Jasa, jadinya saya keder terus jalan kaki, masih capek ini, Mba". Setelah diusut dia ini memang lulusan baru dari suatu SMK di kota Depok. Analisa cetek gue, mungkin dia belum bisa estimasi waktu keberangkatan, masih bingung sama kondisi jalanan di sekitaran Jakarta, dan masih polos karena baru lulus sekolah juga, kan. Dia masih bingung ketika telat harus gimana resiko yang harus diterima apa.

17:30 WIB, akhirnya jam pulang tiba, gue pamit ke orang di ruangan. Gue pulang dengan memesan ojek online terlebih dulu, terpaksa, karena gue masih belum tau segimana macetnya jalanan Jakarta di jam pulang kantor. Mitosnya, sih, macet banget. Setelah driver tiba di lokasi penjemputan, gue bergegas pulang, biar besok ada tenaga buat ngobrol dan genitin Eva dan Citra fit kondisi badannya. Pada akhirnya, gue amat sangat bersyukur di pekerjaan sebelumnya, gue sudah dihadapkan dengan hiruk-pikuk dalam bekerja, diasah mentalnya dari mulai harus cepat dalam melayani nasabah juga harus siap ketika dapat ucapan yang kurang berkenan. Untuk semua yang sudah dilewati pada periode pertama gue bekerja, gue selalu ingin menyampaikan, "terima kasih, pengalaman".

You can never make the same mistake twice, because the second time you make it, it's not a mistake, it's a choice. -Steven Denn

Monday 18 March 2019

Catatan Seorang Perekrut - Debut Seorang Perekrut. #8

Pagi itu ketika gue berangkat kerja di hari kedua setelah tanda tangan kontrak, rasanya dingin banget. Gue berpakaian rapi, kemeja krem, celana cokelat, juga sweater biar hangat. Setelahnya gue sadari, kayaknya badan gue drop, belum terbiasa harus bangun subuh dan langsung beraktivitas, sepertinya. Pukul 05.30, tidak ramai laiknya hari kerja, perlu diingat, gue langsung diminta untuk lembur di hari Sabtu. Selama di kereta, gue mengingat lagi apa aja yang dikerjakan selama menganggur alias jobless. Bantu istri di rumah, cuci piring, nyapu, ngajak ngobrol Tobio yang ketika itu usianya kurang lebih empat bulan, pokoknya apa yang bisa dikerjakan, gue lakukan. Terharu setelahnya, malah ada rasa kangen ada di rumah bareng Nazliah dan Tobio -mungkin karena kebiasaan tersebut sudah terbentuk selama 14 hari-. Selain itu, gue pun masih ga menyangka akan bekerja di kantor baru, dengan ruang lingkup pekerjaan yang baru, kebiasaan baru, dan rekan kerja baru. Meninggalkan kebiasaan lama berikut juga rekan kerjanya. Adaptasi.

Awal lulus kuliah, gue memang ingin kerja di Bogor dulu, biar dekat dengan domisili, setelah merasakan kerja di Bogor, eh, malah pengen kerja di kawasan Jakarta, naik kereta dan transjakarta biar seperti pekerja kebanyakan. Hehe. Lumayan ada konten baru yang bisa diposting di instastory dengan segala keunikan cerita kemacetan di Jakarta. Untuk menuju Gatot Subroto, awalnya gue turun di Stasiun Sudirman, dilanjutkan dengan naik metromini 640 untuk menghindari kemacetan. Namanya anak baru, belum tau rute efektif lewat mana karena belum banyak tanya dan ga nanya ke teman. Singkat cerita, tiba di kantor sekitar jam 08.00, kepagian. Ruangan masih kosong. Baru bengong sebentar, akhirnya mulai pada berdatangan, ada satu supervisor dan dua rekan kerja gue, mereka gue anggap senior karena memang lebih dulu dan lebih lama masa kerjanya dibanding gue yang baru satu hari. Selain ada mereka ini, di ruangan nanti ada dua anak magang, sebab Sabtu, jadi mereka ga perlu masuk.

Diinfokan, pada hari itu udah banyak kandidat yang dihubungi untuk mengikuti proses walau pun hari Sabtu karena sedang ada kebutuhan atau projek baru. Mulai 08.30, akhirnya kandidat mulai berdatangan satu per satu. Cukup banyak, sekitar 20 orang. Awal mula wawancara kandidat, gue liat bagaimana para senior gue "beraksi", apa aja yg sekiranya wajib ditanya, selebihnya probing aja. Jujur aja, awal mula wawancara itu gue belum dapet feelnya, kandidat yang bagus itu yang seperti apa dari mulai cara menjawab, jawaban yang dilontarkan, dan sikap ketika wawancara. Seadanya aja di hari pertama itu, yang penting ngerasain dulu hiruk pikuk sebagai perekrut.

Dalam satu hari yang sama, jika ada kandidat yang hasil wawancara awal paling tidak dipertimbangkan bisa langsung mengikuti psikotes. Lagi-lagi, gue harus belajar lagi soal psikotes, bagaimana administrasinya (instruksi, dlsb), skoring, dan lain-lain. Kali ini, gue langsung "dicemplungin" sama senior gue untuk psikotes sendirian secara langsung. Ga ngerti apa motivasinya, apa dia lagi sibuk atau emang mau challenge gue aja. Sempet panik juga gue, walau pun dulu sempat jadi asisten laboratorium psikologi di kampus yang tugasnya jadi tutor buat para mahasiswa untuk administrasi alat tes psikologi, ya namanya pengalaman pertama, apalagi baru "pegang" alat tes lagi. Alhasil, untuk instruksi gue langsung cari tau sendiri di internet. Begitu dapet, gue baca instruksinya langsung dari handphone. Gugup, tapi gue harus tetep keliatan profesional dan pede.

Sekitar jam 12.00, semua kandidat diistirahatkan terlebih dulu. Kami pun butuh istirahat. Selama istirahat gue ditanya dan diajak ngobrol soal proses tadi, ya gue langsung jujur aja agak grogi waktu psikotes. Setelah itu, baru lah senior gue ini ngasih instruksi alat tes yang ada di kantor dan minta dipelajari. "YA KENAPA GA DARITADI, DONG?", dumel gue.

Di debut gue ini, ada satu kandidat yang cukup menarik, sampai sekarang gue masih inget dia lulusan SMA yang melamar jadi telemarketing. Baru lulus banget dan kalau diterima akan jadi pengalaman kerja pertama banget. Waktu diwawancara gue, entah karena masih polos juga, dia cuma "iya, iya" aja dan "siap", beruntung dia ga sampai bilang "ASHIAAAAAAP" karena memang belum trendnya ketika itu. Selama wawancara kandidat ini cuma cengengesan, gue ga liat potensi dalam diri dia, dia cuma menyampaikan kalau dia niat sekali bekerja. Di hari yang sama gue ajukan dia ke senior gue, mengejutkan, dia diterima. Oke, paling engga dia akan training terlebih dulu dan akan diliat kinerjanya.

Waktu makin sore, kandidat satu per satu mulai pulang, kerjaan hari pertama selesai. Debut gue sebagai perekrut biasa aja, dilalui dengan gugup, grogi, tapi gue cukup puas karena paling engga gue on the track, kembali lagi ke jalur gue. Jadi, gue tetep positif, pede, dan optimis. Kami pulang sekitar jam 16.00, gue pesan ojek online sampai Stasiun Cawang. Sampai di rumah sekitar jam 18.30, langsung disambut Nazliah dan ditanya, "capek, ya?" juga langsung menanyakan gimana pengalaman pertama gue sebagai perekrut. Gue berbagi cerita dan dia tetap kasih support buat gue.

Setelah gue akhirnya bisa kembali ke ruang lingkup psikologi ini, gue ingin melakukan yang terbaik dari awal, karena ini yang gue suka, area ini yang menjadikan apa yang gue kerjakan seperti bermain, perjalanan kerja serasa rekreasi. For closing, "be the best version of yourself in anything you do. You don't have to live anybody else's story." -Stephen Curry.

Monday 11 March 2019

Catatan Seorang Perekrut - Let's Do This. #7

Akhirnya, dengan seizin Allah, gue kembali bekerja sebelum gue bertambah usia, artinya dengan diterimanya gue di suatu perusahaan, itu bisa menjadi salah satu kado terindah, terbaik selama hidup gue. Kado indah sebelumnya, gue diberi amanat satu orang sahabat kecil melalui perantara Nazliah, Tobio. Intermezzo sedikit, Nazliah positif hamil setelah kurang lebih tiga bulan kami menikah. Setelah menikah dan mendekati tanggal ulang tahun gue, dia nanya, "kamu mau kado apa dari aku?", gue jawab, "aku ga mau apa-apa, semoga aja di hari ulang tahun aku, kamu udah positif hamil, ya". Nazliah sempet agak sewot dengan menimpali, "kok gitu? Positif hamil atau engganya kan tergantung pemberian Allah, terus kalau aku belum hamil, kamu kecewa, gitu?". Waduh, kayaknya gue salah dalam menyampaikan. Haha. Gue jelasin lagi, itu harapan gue, kok, kalau belum kesampaian, ya usaha terus. Yuk, matiin lampu kamar, kita berproses. Di awal Juli 2017, Nazliah mulai mual dan ngerasa aneh sama badannya, gue ga ngerti aneh di sini gambarannya gimana. Kami beli alat pendeteksi kehamilan, dan syukur, ternyata harapan, kepengennya gue terkabul sebelum gue ulang tahun, ketika itu. Flashback lagi sedikit, di tahun 2013, klub sepak bola idola gue, Liverpool FC, datang ke Indonesia dalam sebuah tour. Mereka bertanding dengan Garuda Selection ketika itu, ada yang masih ingat mereka bertanding di tanggal berapa? Yak, betul, 20 Juli. Tepat di tanggal ulang tahun gue. Pastinya, gue nonton mereka di SUGBK (Stadion Utama Gelora Bung Karno) di 2013 lalu. Itu intermezzo yg cukup banyak, ya.

Gue efektif bekerja kembali di 14 Juli 2017, tepatnya hari Jumat. Akhirnya, gue merasakan pagi hari ada di stasiun dan naik kereta untuk bekerja, berdempetan dengan penumpang lain sambil nahan ngantuk. Belum lagi dipaksa menghirup aroma bau mulut orang lain yang biasanya udah gosok gigi, tapi belum ada makanan yang masuk ke mulut. Nah, biasanya bau, tuh! Bau ketek sih belum ada, harusnya. Masih pagi, aman, dong. Liat orang yang kebagian duduk lalu tidur dengan mulut menganga sambil menghadap ke atas? Udah biasa. Rasanya selalu gue pengen bantu tutup mulutnya, tapi takut digigit. Atau pengen banget gue masukin biji jeruk, siapa tau seturunnya dia dari kereta, dimulutnya langsung tersedia kebon jeruk. Soalnya turun di Jakarta Barat. Receh banget, guys. Dulu sewaktu kuliah gue naik kereta juga, sih, tapi kan itu bukan kerja. Hehe. Kembali ke cerita, naik kereta 6.20, kurang lebih nyampe di jam 08.30. Gue tanda tangan kontrak terlebih dahulu sebelum mengikuti training sekitar jam 09.00. Ga perlu banyak mikir dan nanya ketika baca klausal, intinya cocok, langsung gue teken kontraknya. Training dilakukan satu hari full, pengenalan soal perusahaan, pre-test juga post-test pastinya ada. Beres training sekitar jam 17.30. Menyenangkan, antara deg-degan sama excited, ga sabar pengen memulai sesuatu yang baru juga sudah diidam-idamkan cukup lama.

Selepas training, gue langsung diantar menuju ruangan kerja yang akan gue tempati nantinya. Gue langsung disambut supervisor dan dua senior gue. Masih canggung rasanya, tiba-tiba kepikiran dan berprasangka, "gue bakal diterima dengan baik ga, ya? Kalau mereka udah nyaman sama staff yang lama -yang sudah resign-, kinerja gue pasti akan dibanding-bandingkan. Semoga gue bisa bekerja dengan baik dan sesuai harapan, bahkan melebihi harapan", dumel gue dalam pikiran saat itu. Ada perkenalan singkat waktu itu, lalu supervisor gue langsung bilang, "besok bisa masuk, ya? Soalnya kita lagi ada target, urgent, kebutuhan 50 orang untuk posisi telemarketing. Bisa, ya?" Sebagai anak baru, tentu gue ga bisa nolak, dong. Cuma gue juga pekerja biasa yang masih ada rasa malasnya, gue sempet mikir, "aduh, padahal besok pengen istirahat dulu, ngabisin waktu bareng Nazliah sebelum betul-betul kembali bekerja". Agak ragu gue akhirnya jawab, "iya, Pak, besok saya datang".

Akhirnya, sekitar jam 17.30 gue pulang, pulang dengan rasa senang, excited, sekaligus malas. Ya, gue pikir sabtu bisa leha-leha dulu, ga taunya harus langsung kerja. Haha. Sesampainya di rumah, gue cerita ke Nazliah besok harus masuk karena lagi ada kebutuhan banyak. Dia ga mempermasalahkan, ya mau gimana, gue kan anak baru juga, masa mau langsung ngebangkang, nunggu beberapa bulan dulu, lah, baru ngebangkang. Hehe. Gak, deng.

Kebesokannya, gue berangkat abis subuh, biar ga kesiangan. Agak berat gue berangkatnya, karena belum terbiasa ninggalin istri dan anak buat kerja, sebelumnya gue kan selalu bareng mereka selama dua minggu nganggur. Hehe. Cuma ya mau gimana lagi, ini kebiasaan yang akan gue jalani kembali dalam waktu yang sangat panjang. Pencari nafkah untuk keluarga, penerus rezeki yang sudah disediakan Allah. I don't know what it is, but I love it! -LFC Fans.

So, let's do this.

Monday 4 March 2019

Catatan Seorang Perekrut - Kabar Baik. #6

Setelah melakukan proses wawancara pertama setelah resmi menjadi pengangguran, gue langsung pulang ke rumah, untuk menemui istri dan Tobio -anak gue- yang ketika itu masih berusia tiga bulan. Gue pulang tanpa beban walaupun dalam kondisi pasrah, lebih tepatnya memasrahkan diri. Seperti biasa, setelah dari luar, apalagi terkena asap/polusi, gue pasti langsung mandi, karena gue ga mau Tobio terjangkit virus atau penyakit apa pun yang berasal dari luar, yang menempel di badan gue. Selesai mandi, gue ngobrol banyak sama Nazliah soal gimana proses wawancara yang udah dilakukan, sambil buka situs pencari kerja, ya mau gimana pun gue masih pengangguran dan gue harus segera memasukan lamaran pekerjaan lagi, kan, biar peluang dapat panggilan wawancara lebih besar.

Selama gue liburan menganggur, gue selalu bantu istri gue beres-beres di rumah, nyapu, cuci baju, cuci piring, dan lain sebagainya. Paling engga, walaupun belum bisa memberi kembali nafkah, gue bisa berguna di rumah, meringankan pekerjaan di rumah. Kondisi dan suasana di rumah bisa dibilang baik, karena kami sama-sama menciptakan itu, kami masih bisa bercanda sama seperti sewaktu pacaran dulu, perlu diingat, tabungan kami terakhir gue resign itu sekitar dua juta, makin dihadapkan dengan pergantian waktu, pastinya makin berkurang sisa tabungannya. Sesekali kami kepikiran juga, sih, popok dan uang makan gimana. Haha.

Yang gue pikirkan dari awal gue jadi pengangguran pada 1 Juli 2017, harapannya adalah sebelum tanggal ulang tahun gue -20 Juli- udah kembali bekerja. Paling engga, hal itu bisa jadi kado buat diri gue sendiri. Udah hampir seminggu ga ada kabar perihal proses wawancara yang gue ikuti, sampai akhirnya tanggal 13 Juli 2017, istri gue diberi info oleh tempat gue melakukan proses wawancara terakhir, gue lolos semua tahapan dan diundang tanda tangan kontrak besoknya, 14 Juli 2017. Gue antara bingung dan ga percaya, "loh? Ini gue yang diterima? Senior gue gimana ceritanya itu? Kan mereka punya pengalaman, gue hitungannya masih lulusan baru untuk posisi ini", Dasar emang gue lupa bersyukur, bukannya ucap Alhamdulillah lebih dulu baru bertanya-tanya, ini malah sebaliknya. Lalu kenapa kantor ngasih infonya malah ke istri gue? Karena nomor telfon gue sulit dikontak dan gue mencantumkan nomor istri gue sebagai emergency contact.

Rezeki memang ga pernah tertukar apalagi salah alamat, ada porsinya masing-masing. Tanpa rasa jumawa, gue justru masih keheranan, kenapa bisa gue yang diterima, sampai istri gue negur, "kamu bukannya bersyukur malah nanya terus, kalau memang ternyata kamu lebih baik, mau gimana lagi?". Setelah dengar kabar baik itu, gue langsung kasih info ke orang tua juga mertua. Kami semua ucap "Alhamdulillah" di grup keluarga. "Tuh, kesempatan belum tentu datang dua kali, kan? Coba kamu kemaren ga dengerin aku (coba ikut wawancara walaupun infonya dadakan) entah deh mungkin kita masih pusing sekarang. Mulut istri tuh 'asin' (apa yang dibilang bisa jadi kenyataan)", ucap Nazliah saat itu. Denger hal itu, gue malah keingetan tahu bulat soal kata dadakan.

Gue tanda tangan kontrak di 14 Juli 2017 dan akan langsung efektif training di tanggal yang sama. Siap ga siap, percaya atau engga, gue akan memulai perjalanan karir yang baru di posisi HRD, lebih spesifik lagi, bagian Rekrutmen. Mungkin ini yang dibilang mimpi dan target yang jadi kenyataan. Akhirnya, gue bisa kembali ke ruang lingkup psikologi setelah hampir tiga tahun bekerja di luar area disiplin ilmu yang gue pelajari. Setelah dipikir-pikir, kalau di awal gue buat mindset gue harus balik ke area psikologi setelah dua tahun bekerja di perbankan, mungkin gue akan kembali ke area psikologi lebih cepat. Bisa jadi, ga ada yang tahu. Perlu disyukuri, gue comeback di waktu yang tepat.

Gue amat sangat excited menyambut pengalaman baru gue ini, di profesi yang amat sangat gue idamkan dalam bekerja. Let's do this.

Everything is possible for those who believe. -Liverpool fans.

Monday 25 February 2019

Catatan Seorang Perekrut - Do The Impossible. #5

Akhirnya gue tiba di lokasi interview di kawasan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, untuk keperluan interview sebagai Rekruter. Gue diminta untuk mengisi form aplikasi (pendaftaran), lalu menunggu nama gue dipanggil oleh pewawancara. Kala itu hari kamis, tepatnya tanggal 6 Juli 2017. Gue memakai kemeja garis putih biru, celana bahan krem, pantofel boots warna cokelat. Ya, gue ingat betul outfit yang gue kenakan waktu itu.

Sama seperti proses pada umumnya, jelas, gue engga sendiri, ada orang lain dengan latar belakang pendidikan sama yang melamar untuk posisi ini, sebagai Rekruter. Di luar dugaan gue, ternyata dua senior gue di kampus ikut proses ini, total sama gue jadi empat orang, plus satu orang dari kampus lain. Tau akan hal itu, gue yang tadinya siap "menjual kemampuan" gue ke perusahaan langsung turun mental juangnya, bukan tanpa sebab, dua senior gue ini sudah berpengalaman di bidang HR plus rekrutmen. Lalu, apalah gue ini yang pengalaman kerja pertama justru di perbankan? Bukan maksud tidak menghargai orang-orang di kantor sebelumnya, apalagi menyepelekan ilmu yang didapat di sana, tapi, kebayangkan? Gue yang dianggap "lulusan baru" harus berhadapan dengan senior, berpengalaman. Pasrah dan lesu gue saat itu, nothing to lose. Do not go down without a fight, pikir gue. Gue mencoba menenangkan diri dengan cara mengobrol dengan dua senior gue itu, sambil cari celah dan "mengamankan" komunikasi gue biar ga terbata-bata dan kaku, juga kembali optimis. Bersiap Do the Impossible.

Dua senior gue dipanggil lebih awal untuk interview, mereka tampak tenang dan percaya diri selepas interview. Tibalah saatnya gue yang diinterview. Awal mula pastinya gue memperkenalkan diri, soal latar belakang pendidikan, pengalaman sewaktu di kampus, pengalaman kerja. Gue cerita banyak hal soal gue dulu pernah jadi asisten lab psikologi untuk menjual kemampuan gue di bidang alat tes psikologi, kemudian gue cerita semua yang gue kerjakan sewaktu gue kerja di bidang perbankan. Terakhir, gue dapet pertanyaan, "kenapa mau kerja sebagai rekruter?", Gue mengela nafas, diam sejenak. Gue senyum, lalu gue jawab dengan antusias, "saya suka sekali ruang lingkup ini, saya menyukai apa yang saya lakukan selama kuliah, saya ingin menambah kemampuan saya di bidang ini". Wawancara tahap pertama selesai, sekitar jam 10 gue psikotes bersama dengan senior gue. Beres sekitar jam 12, lalu istirahat. Diinfokan bahwa akan interview lanjutan dengan Manager HR jam 14.00.

Lega, akhirnya gue bisa lanjut menunjukan antusiasme gue ke Manager nanti di jam 14.00, sambil menunggu momen itu, gue makan dulu, mau gimana pun, gue lapar. Hehe. Singkat cerita, gue selesai makan siang, lalu langsung kembali ke lantai atas lokasi wawancara.

Gue urutan pertama kandidat yang dipanggil oleh Manager. Deg-degan bukan main, tapi gue coba menetralisir situasi. Gue memasuki ruangan dengan menyapa Pak Manager, "siang, Pak". Lalu dibalas dengan sapaan, "siang, Mas. Silakan duduk, dengan Mas Seto, ya". Dilanjut dengan perkenalan diri gue, pengalaman kerja gue sebelumnya di mana, apa aja yang dikerjakan. Sampai pada pertanyaan terakhir gue ditanya, "Mas, terakhir aja dari saya, kasih saya alasan, kenapa saya harus memilih Mas Seto?". Waduh, sempet blank gue ditanya soal ini, karena gue harus bisa "menjual" diri gue melalui jawaban yang keluar dari mulut gue yang mulai grogi dan agak pasrah. Entah dapet kekuatan dari mana, mulut gue spontan menjawab, "saya punya integritas dan komunikasi yang baik, saya rasa hal itu dibutuhkan oleh perusahaan". Setelah jawab itu, gue langsung mikir, "loh? Itu spontan banget gue jawabnya? Seakan ga mikir dulu". Selesai sesi wawancara gue yang berjalan sekitar 7 menitan.

Dilanjut dengan senior gue yang wawancara dengan Manager. Dia lama banget di dalam ruangan, sekitar 20 menit. Setelah beres gue langsung ngobrol sama dia, yang ditanya apa aja, kok bisa lama. Dia menjelaskan apa aja yang ditanya, salah satunya soal benefit. Gue down saat itu, karena gue ga ditanya soal benefit. Makin pesimis gue, gue ga ditanya apa pun soal benefit beserta negosiasi lainnya. Gue juga langsung ngabarin istri gue, "kayaknya aku ga diterima, deh. Soalnya yang lain ditanya benefit dan udah pengalaman, aku ga ditanya soal itu sama sekali". Istri gue jawab, "ga apa-apa, yang penting kamu udah coba. Kita liat aja nanti". Setelah itu gue langsung pulang dengan pasrah dan pemikiran, "ikhlasin aja lah kalau belum rezeki". 

Mau gimana pun, gue udah mencoba, berusaha, berjuang juga buat posisi yang gue mau. Gue udah memberikan proses yang terbaik yang gue bisa sewaktu wawancara, psikotes, dan lain-lain. Selebihnya, gue tinggal berusaha lagi biar bisa kembali bekerja, memberi nafkah untuk istri dan anak.

Do the impossible.

Monday 18 February 2019

Catatan Seorang Perekrut - Masa Peralihan. #4

01 Juli 2017, gue resmi jobless alias jadi pengangguran setelah 2 tahun 10 bulan bekerja. Campur aduk rasanya ketika harus menganggur, padahal udah ada tanggungan. Banyak yang nanya, kenapa ga dapetin kerja dulu baru resign? Dapetin belum, tapi sebelumnya gue udah coba beberapa kali interview, hasilnya masih nihil. Jadi, atas dasar obrolan bareng istri, gue akhirnya resign dulu, sebelum dapet kerja kantoran rencananya gue mau jadi ojek online.

Kenapa gue resign padahal belum dapet kerjaan baru? Singkat cerita, gue resign karena alasan prinsip. Sedikit ceritanya gue ceritakan di tulisan ini: Resign Dari Perbankan dan ini: Farewel, Comrades. Mungkin, kalian harus baca juga dua artikel itu, biar bisa tau alasan gue resign. Hehe. Gue ga minta dipahami, itu alasan gue pribadi, kok. Setelah gue resign, syukur, gue dan istri dengan tabungan seadanya, kurang lebih dua juta ketika itu, ngerasa tenang dan aman aja deg-degan lah pastinya apalagi gue udah diamanati satu orang anak, yang mana dia perlu popok dan kelengkapan lainnya. Dua juta dan harus menghidupi dua orang. Cuma ya gue lanjut berdoa sambil apply banyak posisi.

Dua juta tanpa ada pemasukan tambahan pastinya berkurang juga, dong. Nah, pada prosesnya, dari segi keuangan gue diback-up sama orang tua gue dan mertua. Syukur, pada waktu itu gue didukung secara moril dan materi, jadi gue ga drop banget mentalnya. Paling, ya, Bokap gue aja yg agak cemas, seringkali nanya, udah ada panggilan (kerja) belum. Antara cemas dan perhatian. Dari tatapan Bokap ketika itu dia juga mungkin ngerasa kasian sama gue yang belum dapet kerja, sedangkan gue ada tanggungan. Gue ga menyesali sama sekali, karena ini semua pilihan yang udah didiskusikan bareng istri.

Ketika nganggur, gue pernah coba lamar jadi ojek online, entah memang karena belum rezeki, dalam prosesnya gue ngerasa dipersulit. Waktu lamar ke ojek online buatan anak bangsa, antriannya rame banget dan lagi gue ternyata dapet notifikasi palsu, jadi ga bisa diproses sampai ada notifikasi resmi. Daftar ke ojek online buatan negeri tetangga, karena diharuskan buat rekening salah satu bank terlebih dahulu, mau ga mau gue urus ke bank dulu, tapi di awal gue udah digalakin satpamnya, dia bilang, "kalau buat urus rekening jadi driver ojek online, pendaftaran udah tutup, besok lagi aja!". "Ya ampun, lagi usaha cari kerja gini amat", dumel gue. Gue sempat pasrah, down juga, kepikiran gimana nasibnya Nazliah dan Tobio, makan apa, bayar kebutuhan di rumah gimana. Ya, gue terus berdoa.

Sewaktu gue nganggur, Nyokap gue yang berprofesi sebagai guru SD kebetulan lagi libur semester, selama Nyokap libur, beliau selalu ngajak gue, Nazliah, dan Tobio jalan-jalan. Suatu waktu, kami jalan bareng ke salah satu mall ternama di kota Tangerang, niatnya memang jalan-jalan biasa, pastinya sih, kami ditraktir Nyokap. Hehe. Kami jalan-jalan di awal bulan Juli 2018, gue inget banget, di hari Selasa. Di jalan berangkat menuju Tangerang, di grup temen-temen kampus Nazliah ada info, di salah satu kantor temannya lagi butuh posisi untuk Rekruter, posisi yang memang gue mau banget, gue impikan dalam bekerja. Nazliah nanya ke temennya di chat personal, "boleh, nih, lowongannya, suami gue lagi butuh kerja dan bisa gabung secepatnya, boleh coba? Alamat kantornya di mana?" selama main di mall itu, chatnya belum berbalas, gue hopeless juga, sih, gue sempet mikir, "ya udah, kalau belum ada info lagi, mungkin belum rezeki". Akhirnya kami pulang menuju Bogor, tiba di rumah sekitar jam 21.30, gue langsung cuci piring dan leyeh-leyeh, istirahat. Ga lama kemudian, Nazliah dapet balesan dari temennya, "boleh, kalau mau coba, langsung datang aja besok, alamatnya di ..............", gue langsung ditantang sama Nazliah, "itu, kamu bisa langsung datang aja besok, gimana?" respon gue saat itu, "yakin besok banget? Aku capek, mau istirahat dulu besok, lagian kita belum nyiapin dokumen apa pun, loh, aku juga rasanya belum siap", Nazliah langsung negur gue, "ya udah, coba dulu aja, kesempatan belum tentu datang dua kali, nothing to lose aja sambil bismillah". Jujur aja, nyali gue tiba-tiba ciut, turun drastis, gue langsung ga yakin bisa atau engga. Akhirnya gue meng-iya-kan, Nazliah bantu gue beres-beres dokumen dan kemeja apa yang akan dipakai besoknya untuk interview. Gue langsung mandi, ke kamar, lalu making love  diskusi soal apa yang harus gue persiapkan besok, kira-kira pertanyaan apa aja yang gue dapat. Kami beres diskusi sekitar jam 12 malam, sebelum tidur gue genggam tangannya Nazliah, liat dia sekaligus Tobio, berharap emang rezeki gue.

Gue bangun jam 5 subuh, bersiap, akhirnya naik kereta keberangkatan 6.20 dari stasiun bogor, tiba di alamat perusahaan yang dituju tepat jam 08.30, gue langsung isi form aplikasi dan bersiap interview kerja pertama setelah resign..

Gue mau mengutip salah satu quote yang gue suka ketika gue lagi ngerasa ragu, takut, atau down secara mental, "What are you afraid of?" -Rukawa Kaeda.

Thursday 14 February 2019

Membalas Kebaikan Orang Tua

Sudah dari tiga tahun yg lalu gue mikir, "sampai kapan pun, gue ga akan pernah bisa balas budi ke orang tua buat semua kebaikan yg mereka beri, dari kecil sampai sekarang, dari mulai biaya melahirkan gue, sampai ke biaya pernikahan gue, bahkan sampai dengan biaya saat ini". Harus gue akui, secara finansial gue belum bisa betul-betul mandiri. Hehe.

Jika kebaikan yg orang tua beri buat gue termasuk hutang, gue udah kehabisan akal, gimana caranya mengembalikan hutang ke mereka. Ga akan bisa gue balikin sama sekali. Terlalu banyak kebaikan yg mereka bagi.

Setelah mereka kehilangan satu unit mobil dan uang tunai 100juta++, saat ini mereka sedang dalam titik terendah dalam hidup. Secara materi gue belum mampu menggantikan hal itu, tapi gue selalu meyakini, akan ada ganti yg lebih baik, entah melalui perantara gue sebagai anak, entah rezeki langsung ke orang tua gue, atau bahkan mereka sudah disediakan pahala yg tak terhingga? In shaa Allah, wallahualam. Yg jelas gue selalu berharap dalam doa, mereka dalam kondisi sehat, baik, juga bahagia.

Oleh karena gue ga bisa bayar "hutang" gue ke mereka, jadi gue alihkan itu, jadi janji ke diri sendiri, bahwa gue harus menghidupi istri dan anak secara layak, memberikan fasilitas dan pendidikan yg jauh lebih baik untuk anak dibanding yg gue dapat. Gue ingin rezeki gue dilebihkan, bukan lagi dicukupkan.

In shaa Allah. Aamiin.

Wednesday 13 February 2019

Catatan Seorang Perekrut - Bertolak Belakang. #3

Dari pengalaman kerja di bank selama 34 bulan, gue jadi paham soal hiruk-pikuknya bekerja. Mulai dari karakter nasabah, pekerjaan yang numpuk, awal dan akhir bulan yang selalu ramai, belum lagi jaringan/sistem offline. Berikut beberapa rangkuman pengalaman gue dari awal-akhirnya resign.

Pertama, adaptasi gue kerja di bank cukup lama, butuh waktu tiga bulan, sampai akhirnya gue tau alurnya, kalau ada case harus lapor ke mana, cek ke mana, kendalanya di mana. Kalau ada retur transaksi harus gimana. Soal kliring warkat debet, ini gue harus belajar sekitar dua minggu dan terus didampingi. Prosesnya sederhana sebetulnya, tapi ada batas waktu untuk submit ke kantor pusat. Itu yang bikin deg-degan. Apalagi kalau udah ketemu Letter of Credit atau SKBDN, muka gue udah ga ngenakin, pikiran juga ke mana-mana. Ribet buat gue.

Kedua, soal nasabah. Namanya interaksi sama banyak orang, khususnya di dunia pelayanan, kita dituntut untuk bisa menyesuaikan ketika berkomunikasi dengan mereka. Entah melalui telfon atau tatap muka. Di dunia pelayanan, ada yang beranggapan sebenar apa pun kita sebagai "pelayan" mereka, kalau nasabah lagi kesal, ya kita kena marah juga. Hehe. Satu yang pasti, -maaf sebelumnya, mungkin gue salah- gue tidak pernah menganggap nasabah/pelanggan itu adalah raja, buat gue pribadi, ga semua raja itu baik dan bijaksana. Gue tetap melayani dengan baik, tapi tidak sampai berlebihan menganggap mereka raja.

Ketiga, soal rekan kerja. Pertama kali gue datang ke ruangan kerja, pastinya gue deg-degan. Lingkungan kerja baru, suasana baru, teman baru, tanggung jawab baru. Bunda (supervisor yang gue ceritakan di bagian sebelumnya) yang "membuka tangannya" untuk gue pertama kali. Gue nanya ke beliau, apa aja yang akan jadi tanggung jawab gue. Gue inget di minggu pertama gue kerja, gue salah input transaksi transferan dalam negeri, gue yang belum ngerti apa-apa ngerasa bersalah banget ketika itu, tapi kesalahan memang harus terjadi biar gue bisa berbenah diri dari kesalahan yang dibuat. Mas Iweng sebagai senior yang pemahamannya luas banget soal perbankan, banyak tahu soal transaksi, gue belajar banyak dari beliau. Ada satu kalimat dari Mas Iweng yang gue inget banget dan nempel di kepala sampai dengan saat ini (no offense, Mas Iweng, hanya sekadar mengingat kejadian. Hehe), "lu ga akan ada di sini bareng kita, kalau Sinta (rekan kerja terdahulu) ga pindah posisi". Waktu itu gue bingung dan mikir, "Loh? Ya mau gimana, ini kan rezeki gue, gue pun masuk ke sini usaha sendiri, ga pakai orang dalem". Kejadian itu membekas hingga sekarang. Bu Tini, senior yang biasa handle transaksi luar negeri dan penggajian instansi pemerintah pun swasta. Bu Tini ini kalau awal dan akhir bulan ga boleh diganggu, karena lagi sibuk-sibuknya ngurusin gajiannya orang lain. Mas Iweng biasanya selalu ngingetin sambil berbisik, "jangan ganggu lu, tar dimarahin". Kalau inget itu, lucu aja, kami jadi ga banyak tingkah di ruangan. Hehe. Ada juga si kliring man, Deri. Dia tiap habis proses kliring, balik dari lembaga kliring, keluhannya hampir selalu sama, "ih, cemilan di kantor abis mulu kalau gue udah balik, ga disisain apa". Kocak, dia selalu keabisan cemilan dan biasanya kami ga inget buat nyisain.

Bagian ketiga sub A, mengenai pergantian rekan kerja. Deri yang pertama kali meninggalkan kursinya, karena pindah bagian menjadi marketing mikro. Masuk Juliano menggantikan Deri. Keliatan banget di awal Ano ga menguasai kliring, wajar, namanya juga pengalaman pertama. Dia sering dicengin karena cukup lama proses untuk mengerti apa yang dikerjakan, sampai akhirnya dia bilang, "awas lu semua, ya, gue buktiin setahun ke depan gue udah lebih jago dari kalian", bener aja, dia menguasai betul proses kliring warkat debet. Bunda di mutasi ke unit kerja lain, digantikan oleh Mba Apriyani. Orangnya banyak bercanda, sedikit serius. Sebagai supervisor, menurut gue kharismanya ga ada, mungkin karena kebanyakan bercanda (haha, peace, Mba!), yang pasti pintar. Kalau gue palak buat jajan, selalu ngasih, sama kayak Bunda yang selalu kasih tambahan kalau kami mau jajan. Hehe. Terakhir, Mas Iweng akhirnya resign karena prinsip. Sedih rasanya, kehilangan Bunda dan Mas Iweng dalam waktu yang berdekatan, Bu Tini sampai nangis, tapi itu harus terjadi. Lalu masuk Mba Lely yang tanpa disangka sangat gemar jajan, sehingga kalau dia jajan, otomatis kami kebagian. Salah satu orang yang mudah "dipalak" untuk tambahan jajan. Hehe.

Keempat, bagian gue yang resign. Sebetulnya gue sudah merencanakan ini dari awal bekerja, dalam dua sampai tiga tahun, gue harus kembali ke "area" yang memang gue senangi, jadi rekrutmen atau staff HRD. Gue mengajukan resign di bulan Mei 2017, notice satu bulan, efektif tidak bekerja 1 Juli 2017. Setelahnya gue menganggur selama kurang lebih dua minggu. Dalam keadaan sisa uang di rekening dua juta, sudah memiliki seorang anak dan seorang istri (lah, iya, istri satu aja, dong), ditambah belum bekerja kembali. Pusing? Pasti, dong! Tapi tetap harus dijalani dan dihadapi.

Setelah gue resign, kehidupan dan lembar baru dimulai. Mulai pusing, mulai deg-degan belum dapet kerja, mulai panik istri dan anak makan apa. Haha.

Kejadian ini menjadi tolak balik gue sampai akhirnya mendapatkan pekerjaan yang gue inginkan. Ini akhir dari pengalaman kerja pertama, namun awal dari sebuah perjalanan karir yang baru. Terakhir, sekaligus akan berhadapan kembali dengan pengalaman kerja yang pertama. Bertolak belakang.

Perlu diingat, kantor itu bukan tempat yang tepat untuk mencari kenangan, mungkin ada beberapa kejadian yang bisa dikenang, namun akan lebih tepat jika kantor dijadikan tempat menemukan pengalaman.

Lalu, tiba-tiba gue inget quote dari Steven Gerrard sebelum dia meninggalkan Liverpool, klub yg dia bela selama kurang lebih 17 tahun, "it's hard to move on, but you do, you have to".

Wednesday 6 February 2019

Catatan Seorang Perekrut - Pengalaman Pertama. #2

Gue inget, pertama kali bekerja setelah lulus kuliah itu di tanggal 25 September 2014, hari di mana teman kantor yang lain gajian. Kebanyakan dari mereka cek gaji dari pagi, gue sebagai orang baru, cuma bisa melongo aja.

Mana ada yang tau soal rezeki, karena pengalaman kerja pertama gue di perbankan sebagai staff admin, back office. Dari jurusan Psikologi ke perbankan, gue harus belajar neraca, debet, kredit, dan lain sebagainya. Sewaktu SMA gue anak IPS, belajar ekonomi juga akuntansi. Ekonomi masih oke, soal teori gue masih bisa menghafal. Akuntansi? Nah, loh, gue harus belajar soal neraca aja udah pusing gue, ga ngerti-ngerti. Ga masuk sama sekali di gue pelajaran ekonomi dan/atau akuntansi, nah ini akhirnya gue masuk perbankan. Hari pertama masuk kerja, sebagaimana kebanyakan orang menjalani proses pertama kali, gue deg-degan, kira-kita apa yang akan dikerjakan, tugas gue ngapain aja, ga kebayang sebelumnya. Mendadak berpikir berlebihan dan berasa cemas berlebih, gue yang biasanya pede, jadi pendiam dan jaga image seketika.

Supervisor pertama gue bernama lengkap Hanraswati Takarina (biasa dipanggil Bunda). Beliau supervisor yang baik dan bijaksana, bersifat keibuan, mau merangkul dan sharing ilmu ke gue sebagai anak baru di kantor. Beberapa kali beliau "pasang badan" ketika gue ga ngerti sama sekali dengan suatu permasalahan (transaksi). Kemudian digantikan oleh Apriyani Arsita. Sama baiknya, sama soal back-up bawahannya.

Untuk rekan satu tim yang lain, ada Mas Irwan Irawan (biasa dipanggil Mas Iweng, digantikan oleh Mba Lely Maryani), lalu ada juga Bu Sri Wartini (biasa dipanggil Bu Tini), mereka senior gue, satu tim. Gue belajar banyak dari mereka soal bagian Dana dan Jasa, yang kerjaannya meliputi transaksi pensiunan, penggajian instansi pemerintah atau swasta, transaksi dalam dan luar negeri, surat menyurat, dan lain-lain. Terpenting, bagaimana cara melayani nasabah ketika kerjaan sedang dalam antrian berlebih. Hehe. Rekan satu tim yang lain, Deri Septiana namanya, dia petugas kliring, suka membanggakan diri sebagai "kliring man". Pada prosesnya, akhirnya Deri menjadi seorang marketing mikro. Lalu digantikan oleh Juliano Muharam (biasa dipanggil Ano) sebelumnya dia bekerja sebagai call center. Di awal masuk, dia pernah curhat, kerja di call center perbankan itu ga enak, selalu dimarahin.  Terakhir, ada Pak Baehaki sebagai petugas pajak. Segala permasalahan mengenai pajak, biasanya akan ditangani oleh beliau. Ga ketinggalan, Bu Anissa Gayatri (Bu Anis), sebagai manager operasional kala itu.

Untuk rekan yang lain di luar dari bagian Dana dan Jasa, gue berteman baik dengan Yusdian Frizi (SDM), Mulyawandi, Ragil, dan Bu Susilawati (IT), Reza Afnan (teller, lalu jadi administrasi kredit), dan teman-teman lain yang tentunya ga bisa gue sebut satu per satu. Mereka yang mengisi keseharian gue selama 34 bulan, yang menemani menjalani kebiasaan gue selama jadi pekerja di sana. Tempat curhat, bercanda, minjem duit, dan lain-lain.

Gue baru bisa beradaptasi kurang lebih selama tiga bulan. Belajar soal transaksi, melayani nasabah, juga banyak hal. Susah banget rasanya, walaupun akhirnya terbiasa dan akhirnya bisa. Transaksi yang paling gue ga suka adalah Letter of Credit dan SKBDN (anak ekonomi biasanya ga asing dengan istilah ini, minimal pernah dengar). Susah banget, men! Prosesnya rumit, belum lagi input di sistem harus dengan benar. Untungnya, orang dari kantor pusat siap membantu. Kalau diomelin nasabah udah biasa, sampai dikatain bajingan pun pernah. Gue malah bingung, "ini orang sebegininya banget marah, dia yang salah, dia yang marah". Nasabah adalah raja, tapi buat gue, ga semua raja bijaksana.
Pada akhirnya dan dari awal, gue memang hanya punya target bekerja di perbankan paling lama tiga tahun, karena gue ingin bekerja sesuai dengan disiplin ilmu yang dipelajari selama kuliah.

Quote favorit gue selama bekerja di perbankan adalah, "do not go down without a fight, fight for your right" -Gamila Arief-

Catatan Seorang Perekrut #17 Recruiter yang Insecure dengan Perjalanan Karirnya

Jumat, 14 Juli 2017. Hari yang nggak akan pernah saya lupakan dalam perjalanan karir yang, usianya masih seumur jagung ini. Hari di mana akh...