Wednesday 20 December 2017

Kebiasaan

Keseharian yang kita lakuin pastinya ada banyak, dalam bekerja misalnya, di mulai dari bangun tidur, mandi, sarapan (kadang dilakuin kadang engga), bersiap berangkat, macet-macetan, dll.. Semua itu biasa kita kenal dengan istilah rutinitas. Istilah sehari-harinya, sih, kebiasaan.

Rutinitas menurut gue pribadi punya dua sisi, akan membosankan atau justru dirindukan, khususnya ketika hal itu (rutinitas) tidak dilakukan lagi. Manusiawi. Pasti kita semua pernah ngalamin ketika sekolah dulu, waktu belajar di sekolah pengennya segera liburan, pas liburan malah pengen masuk sekolah. Itu artinya kan ada yang dirindukan dari kebiasaan yang biasa dilakukan, mungkin bukan proses belajarnya (khususnya gue, gue bukan orang yang semangat banget belajar, sih, ketika sekolah dulu), tapi, lebih ke apa yang dilakukan sebelum berangkat sekolah, ketika di sekolah, atau pulang sekolah. Males bangun tidur, sarapan, berangkat, kumpul sama temen di lingkungan sekolah dan kumpul sama temen di luar jam sekolah. Iya, dulu pas gue sekolah emang lebih sedikit belajarnya dibanding main/nongkrongnya.

Salah satu sahabat ketika kuliah sempet cerita, "kalau gue putus pas lagi pacaran, yang bikin gue sedih itu karena gue nantinya ga bisa ngelakuin kebiasaan yang udah lama kebentuk. Sedih, kalau tiba-tiba kebiasaan itu ga bisa dilakuin lagi. Sebenernya sepele, cuma telfonan, chattingan, nanya kabar, marahan, jalan, dll.". Kebiasaan punya "dua sisi", ya.

Pengalaman lainnya, sih, ketika kita bekerja di suatu perusahaan dan keluar. Yang bikin sedih itu, selain ada beberapa teman yang udah jadi sahabat yang ditinggalkan, ada juga kebiasaan yang harus diganti dengan kebiasaan baru ketika kita menempati tempat kerja baru.

Sesederhana apapun aktivitas, ketika itu jadi hal yang terus-menerus dilakukan, otomatis akan jadi kebiasaan yang bisa jadi kelak akan dirindukan.

"..There are so many things I wanna tell you" -Mocca, On The Night Like This. Gak tau kenapa, keingetan aja sama lirik lagu itu.

Friday 8 December 2017

Posisi Favorit

Jumat, 08 Desember 2017, 18.05 WIB. Waktu di mana gue udah bersiap pulang, tapi, akhirnya tertahan oleh hujan. Bukan maksud menyalahkan, tapi, ini memang kuasa Tuhan. Jadi, gak salah kalau sedikit bertahan agar selamat di jalan.

Sambil nunggu hujan reda, akhirnya gue memutuskan untuk kembali ke ruangan kerja, sambil minum kopi hangat, sayangnya kurang cemilan. Kesian. Di cuaca dingin gini, entah kenapa tiba-tiba kepikiran, "gue emang gak menguasai semua bidang olahraga, tapi, gue suka nonton pertandingan olahraga, apapun itu. Mau ngerti ataupun engga sama peraturannya, gimana perhitungan skornya, yang penting nonton". Lalu gue terpikirkan sama tiga cabang olahraga, Sepak bola/futsal, Basket, Voli. Di tiga cabang olahraga itu, ada satu posisi favorit yang kurang lebih sama dari segi jobdesc di lapangan. Sepak bola/futsal gue suka sama posisi midfielder, Voli posisi setter dan pointguard untuk Basket. Ketiga posisi itu punya kesamaan jobdesc di lapangan, sama-sama pemberi bola ke yang ada di "garis depan", pemberi ruang gerak, ngontrol permainan, mendapat dan menjaga penguasaan (bola), mengatur serangan tim, dlsb. (mohon dikoreksi jika salah).

Ada indikasi apa sehingga gue suka sama ketiga posisi itu yang punya tanggung jawab sama ketika berada di lapangan. Gak mesti maksa dicari tau, sih, tapi pengen tau juga, karena di dunia ini gak ada yang kebetulan. Ketika menyukai sesuatu, pastilah kita punya gelombang resonansi (keterkaitan) untuk hal yang kita sukai. Itu yang sedikit gue tangkap dan pelajari ketika gue kuliah dulu.

Dari segi pemikiran cetek gue, yang jelas ketiga posisi itu keren, mereka gak harus cetak poin yang banyak (kalau bisa lebih bagus pastinya), tapi, mereka selalu dan akan menciptakan peluang buat rekan yang lain di lapangan. Segala bentuk peluang dari sisi dan sudut manapun, harus diusahakan. Sebentar, mungkin itu keterkaitannya. Gue pengen bisa jadi berguna buat orang sekitar. Gue pengen bisa memberikan atau punya andil buat orang di sekitar. Semoga bukan cuma kepengen, ini harus direalisasikan, sih.

Untuk posisi di cabang olahraga lain, karena gue belum paham sama posisinya, jadi, yang gue ceritakan di sini  hanya ketiga cabang olahraga yang gue sebut di atas. Mungkin untuk cabang olahraga lain ada juga posisi yang jobdesc-nya kurang lebih sama, kecuali badminton, ya. Yakali main badminton harus main ngumpan gitu ke temen di sebelah (ketika main ganda).

Hujan udah mulai reda, keliatannya gue bisa pulang sekarang. Ciao!

Monday 4 December 2017

Mengalir Pasti

Iridescent, Leave Out All The Rest, jadi salah dua lagunya Linkin Park yang seringkali terngiang-ngiang di kepala gue, secara otomatis. Entah apa alasannya, sudah hampir dua minggu, dari mulai intro, musik, lirik, sampai dengan selesai, play-on dengan sendirinya. Sama seperti ketika gue menulis artikel ini, otomatis aja ngetik. Spontan. Rasanya cuma pengen menulis (dalam blog; mengetik), menumpahkan isi yang ada di kepala ke dalam tulisan.

Apapun yang ada di kepala, ditulis. Kalimat apapun yang terlintas di kepala, ditulis.

Dari pengalaman yang ada, menulis atau memindahkan emosi ke dalam tulisan, gambar, bermusik, atau hal yang lainnya, bisa meredakan pemikiran dan perasaan yang mengganjal. Hehe. Pernah suatu waktu gue lagi kesal dan marah, lalu gue tuliskan amarah gue itu ke dalam tulisan. Akhirnya marah gue mereda. Rindu gak bisa dikonversi ke dalam tulisan, ya, karena sampai dengan saat ini, yang gue tau, obat rindu itu, ya, bertemu.

Buat gue, gak ada bagus atau jelek, ketika menyalurkan emosi. Biarlah proses itu berjalan apa adanya, syukur kalau memang bisa dijadikan karya. Lalu, ada lirik Iridescent yang terselip di kepala,

"..remember all the sadness and frustration, let it go.."

Sunday 3 December 2017

Kepala Positif

Salah satu dosen gue selama kuliah pernah bercerita tentang pentingnya berpikir positif, termasuk juga berbicara hal positif, agar yang didapat/hasilnya berbanding lurus dengan apa yang diucap/pikirkan. Pak Hendro Prabowo namanya, salah satu dosen yang menceritakan tentang Psikologi Positif di kampus.

Maksud dari berpikir/bicara hal positif ga mesti yang berat, kok. Di keseharian misalnya, ketika mau berangkat ke kantor, daripada berpikir (juga membayangkan), "duh, mudah-mudahan jalanan ga macet", lebih baik ganti kalimat dalam pemikiran kita dengan, "duh, mudah-mudahan jalanan lancar dan bisa tiba di kantor lebih awal". Sederhana, tapi, lebih positif juga bermakna. Ketika terpikirkan kata "ga macet", fokusnya justru ada pada kata "macet", dari situlah kita mendapatkan apa yang kita bayangkan.

Contoh lain, khususnya buat fresh graduate atau yang sedang mencari pekerjaan (tanpa maksud menggurui, maaf sebelumnya), yakinlah bahwa mendapat pekerjaan itu pasti. Susah, tapi, pasti dapat. Buang jauh-jauh pemikiran, "zaman sekarang cari kerjaan itu susah". Yang bikin susah, kita sendiri, toh? Kita yang yakin mendapatkan suatu pekerjaan itu sulit, sampai akhirnya semesta mendukung. Fokusnya menjadi "susah dapat kerjaan", padahal yang kita harap itu segera bekerja. Coba diubah jadi, "gue akan segera bekerja minggu/bulan/beberapa bulan ke depan" (tergantung kalian).

Tulisan ini dibuat tanpa maksud menggurui, tapi, kalau mau coba diterapkan di kehidupan sehari-hari, mungkin hasilnya akan lebih baik. Deddy Corbuzier, pun, selalu bilang, kan, "hati-hati dengan pikiran Anda", karena (bisa jadi atau memang betul) apa yang kita dapat, berawal dari "isi kepala" kita.

"Optimis itu, susah, tapi, pasti bisa" -Pandji Pragiwaksono.

Tulisan Tak Berarah

"What are you afraid of?"- Kalimat ini yang dibilang Kaeda Rukawa ke Hanamichi Sakuragi, ketika Hanamichi ngelakuin 4 pelanggaran lawan Shoyo dan permainannya melemah. Setelah "ditegur" Rukawa, Hanamichi langsung semangat lagi dan ngelakuin (Slam) Dunk, walaupun berbuah pelanggaran kelima karena Offensive Foul. Resiko, tapi, dia udah berhasil menaklukan rasa takut dan ragunya. Ya, gue dulu suka nonton Slam Dunk.

Kalimat itu juga yang selalu terngiang di kepala gue, ketika ragu, gugup atau takut melakukan sesuatu. Semacam jadi "pecutan". Sebelum resign dari kantor sebelumnya, pun, itu jadi quote yang memotivasi.

Gue juga pernah baca quote, "badai, hujan itu bukan untuk ditunggu, tapi, untuk diterobos agar kita bisa melihat pelangi setelahnya". Kenyataannya, ga bisa gitu juga, ya. Ga usah hujan badai, kena gerimis sedikit aja langsung meriang, demam, pusing, jadi, ada baiknya kalau lagi musim hujan, hujan deras dan angin, ya neduh dulu aja. Belum lagi kalau banjir semata-kaki dan ga bawa sendal, sepatu basah, tuh.

Udah lama gue ga posting di blog ini, sampai dengan paragraf ini, gue belum tau tulisan ini mengarah ke mana. Yang penting nulis dan posting. Ada faedahnya atau engga, itu gimana nanti. Paling tidak tersalurkan. Sama halnya dengan membaca, udah lama rasanya gue ga baca buku (kalau baca di portal berita/blog secara online, sih, dilakuin sampai sekarang), gue kangen baca buku. Saking kangennya, buku apapun ya dibaca, yang penting dalam bentuk hardcopy.

Sebentar lagi, kan, akhir tahun. Lo tipikal yang suka bikin rencana/resolusi di awal pergantian tahun, ga? Kalau iya, ada baiknya disiapin dari sekarang, apa aja yang mau kalian capai atau lakuin selama 2018. Tulis di buku catatan dengan yakin, ya. Percuma berharap, kalau ga ada keyakinan yang terselip.

Itu aja dari gue di tulisan yang ga ada arahnya. Inget, selalu minum di setiap kegiatan, ya, juga buang sampah pada tempat yang sudah disediakan.

Cheers.

Pic: Buku gue yang paling gue suka sampai dengan saat ini.

Thursday 13 July 2017

Transportasi Online, Harapan(?)

Gue gak perlu lagi jelasin apa itu transportasi online secara rinci, karena kita semua tau, mereka terbagi menjadi dua, ada ojek dan taksi online. Sebagai orang yang tau kemudahan dan kenyamanan ketika menjadi customer transportasi online tersebut (salah satu alasannya karena datangnya dijemput di lokasi, customer tinggal duduk manis sambil makan cilok) dari teman dan iklan di media sosial, tentunya gue langsung coba. Gue lupa pastinya kapan pertama kali jadi customer transportasi online (mungkin sekitar akhir 2016), yang pasti pengalaman gue pake transportasi online sampai saat ini menyenangkan. Ada, sih, satu kali pengalaman yang gak enak ketika naik taksi online bareng istri, dalam suatu perdebatan perihal pemilihan jalan, lalu bersambung ke "berapa muatan" yang diangkut di taksi online tersebut, kami dibilang, "saya pikir semua yang pake taksi online udah pada pinter.." oleh driver. Merendahkan? Sindiran? Lupakan. Bukan itu fokus utama yang mau gue tulis di tulisan ini.

Periode 2016-2017, selama gue jadi customer transportasi online, sudah ada beberapa karakter driver yang gue temui sekaligus gue ajak ngobrol. Dari mulai yang seru diajak ngobrol, bercanda, komunikasinya amat sangat baik, sampai yang pendiem dan gak ngobrol apapun dari penjemputan sampai tempat tujuan. Bahkan ada yang ngasih petuah atau motivasi.
Yang buka obrolan duluan, kadang driver, kadang juga gue. Kalau gue yang buka obrolan duluan, biasanya nanya perihal, "tadi abis dapet penumpang di sekitar sini juga, Pak?" Lalu berlanjut ke pertanyaan, "domisili di mana, Pak?". Ketika kita memperlakukan orang lain dengan baik, kita pun akan mendapatkan hal yang sama. Jadi, berbuat baik itu sejatinya (selain mendapat pahala) untuk diri sendiri.

Untuk driver yang suka memberi petuah atau motivasi, karena gue udah beberapa kali dapet driver tipikal ini, mereka biasanya bercerita tentang gimana mereka ikhlas menghadapi berbagai macam tipe customer dan yakin rezeki itu sudah ada yang mengatur, juga sudah ada porsinya, gak perlu takut ga ada rezeki, dan sebagainya.

Driver yang pendiem, jelas mereka dari awal sampai akhir ga ada suaranya. Entah mungkin karena capek, ya? Hehe. Yang jelas gue memahami itu, gak mempermasalahkan sama sekali, karena gue sadar, karakter tiap orang itu berbeda. Ada yang suka ngobrol, ada juga yang memang pendiem, atau memang lagi pengen diem aja.

Driver yang punya skill komunikasi/softskill yang baik. Gue pernah berhadapan sama driver tipe ini. Dari cara dia melayani gue sampai dengan gaya berbicara, menurut gue perfect. Yang mencengangkan, (maaf, tanpa maksud merendahkan) dia cuma lulusan SMA.

Itu cuma sebagian kecil tipikal driver yang pernah gue temuin dan gak bisa digeneralisir. Yang berprofesi sebagai driver transportasi online, gak sedikit dari mereka yang menaruh harapan di bidang pekerjaan ini. Harapan untuk dapat menafkahi keluarga dengan cara dan usaha yang baik. Tentu, alangkah baiknya kalau kita bisa saling menghargai profesi, paling tidak, apresiasi apa yang mereka lakukan, dengan cara menjadi teman ngobrol yang baik selama di perjalanan dan sampaikan terima kasih untuk hal baik yang mereka (driver) lakukan.

Notes: tulisan ini dibuat tanpa maksud membandingkan antara driver konvensional dan driver transportasi online, kedua profesi tersebut sama baiknya. Gue cuma mau berbagi pengalaman ketika jadi pelanggan transportasi tersebut. :)

Friday 30 June 2017

Resign Dari Perbankan

Di tulisan gue sebelumnya, gue bercerita tentang pengalaman resign pertama kali di tempat kerja. Sampai dengan saat ini, respon yang gue dapat dari beberapa orang amat sangat menarik, beragam. Ada yang sangat setuju gue resign dan tanpa pikir panjang langsung mendoakan yang lebih baik dalam segala hal. Mereka "transfer" energi positif ke diri gue. Ada juga yang (bisa dibilang, menurut opini gue pribadi) skeptis.

Oke, gue akan bercerita tentang respon yang kurang menyenangkan, yang meragukan keputusan gue untuk resign.

Satu hal yang pasti, gue ga ada permasalahan apapun di tempat kerja sebelumnya. Syukur, gue berhubungan baik dengan orang-orang di tempat kerja sebelumnya sampai dengan saat ini. Kalau ga percaya, sila cek ke 0251-8313137 (ext. 300), langsung ke bagian SDM.

Keputusan gue untuk mengajukan surat resign itu penuh dengan pertimbangan, pada awalnya. Di akhir tahun 2016, gue berpikir keras, sempat down, apakah gue harus resign, atau meneruskan kontrak. Sekali lagi, gue ga ada permasalahan apapun di kantor, semua berjalan dengan baik. Hubungan dengan nasabah, dengan rekan kerja, atau siapapun yang berada di sekitar lingkungan tempat gue bekerja sebelumnya, semua berjalan dengan baik.

Sampai akhirnya, pertimbangan itu berubah menjadi keberanian.

Dari akhir tahun 2016 sampai dengan Mei 2017, gue selalu berdoa untuk diberi keberanian mengajukan (surat) resign. Akhirnya, di tanggal 25 Mei, Tuhan mengabulkan doa gue. Tanggal 26 Mei, ketika gue diberi keberanian, gue langsung mengajukan (surat) resign. Beberapa orang di kantor kaget, pun dengan gue, "kok, gue berani, ya?", pikir gue. Mau gimanapun, ini adalah doa gue yang akhirnya dikabulkan oleh Tuhan.

Dalam prosesnya, banyak sekali orang yang bertanya sama gue secara langsung, "emang lo udah dapet kerjaan baru? Pasti udah dapet, kan? Udah ngaku aja, gak apa-apa, kok", pertanyaan standard. Ada yang menambahkan, "udah dapet kerjaan baru belum? Kok lu keluar? Kasian Istri dan Anak lo, kalau belum dapet kerjaan baru". Ini lucu. Seakan rejeki gue hanya ada di satu tempat. Bahkan ada yang lebih ekstrim dengan mengatakan, bahwa gue yang resign dan belum dapet pekerjaan baru itu gak make sense.

Ketika keyakinan dan optimis, berbenturan dengan pesimis.

Pemikiran atau rasa pesimis yang orang lain utarakan langsung ke gue, tidak memberikan pengaruh apapun, sedikitpun sama keputusan gue untuk resign. Nyesel udah resign? Engga. Belum dapet kerjaan, sedih? Engga. Nanti mau ngasih makan anak dan istri apa? Ya, nasi dan makanan pokok lainnya, lah. Yang menjamin rezeki setiap orang itu sudah ada dan tidak perlu diragukan. Ada zat yang mengatur. Perantaranya memang melalui manusia, bisa dari "arah" manapun. Pesimis yang kalian utarakan, malah makin menguatkan gue.

Kalau boleh mengalkulasi dan mengadu jumlah orang yang mendukung gue secara moral dengan orang yang secara terang-terangan pesimis terhadap keputusan gue, justru lebih banyak yang mendukung. Dari Istri, keluarga besar, juga sahabat. Itu gue dapatkan secara langsung, bilang langsung sama gue, juga mendoakan. Doa ini yang jadi penguat gue. Kalian pesimis sama keputusan gue? Emm, lebih baik gak perlu diutarakan, energi kalian terlampau jauh dengan yang optimis. Jauh, gak tersentuh.

Selanjutnya gue kerja apa? Entah, gue belum tau rezeki gue selanjutnya ada di mana, melalui perantara perusahaan mana dan dengan siapa. Yang pasti dan yang gue yakini, Tuhan selalu ada buat umat-Nya, rezeki sudah disiapkan dan menjadi kepastian. Kalaupun rezeki gue belum bisa gue dapat di perkantoran, gue bisa melakukan hal lain untuk menjemput rezeki gue, dengan berprofesi sebagai pengemudi ojek atau taksi online, misalnya. Pahit, jadi pengemudi ojek atau taksi online? Emm, belum gue coba dan dari percakapan gue dengan banyak pengemudi ojek atau taksi online, sebagian besar jawab engga. Hampir semua jawab engga. Apalagi dilakukan dengan penuh keikhlasan. Kalau mau berpikir pahit, bekerja di perusahaan besar atau sekecil apapun, dengan kondisi dan situasi kerja yang nyaman sekalipun, kalau memang pahit, ya, pahit aja.

Ini tulisan tentang penegasan dari sebuah keputusan. Tolong beri garis bawah dan penebalan.
  
Sombong? Lho? Bukannya kalian para pesimis yang sombong, dengan secara tidak langsung dan tanpa disadari, meragukan rezeki yang sudah dijanjikan dan disediakan Tuhan?

Oh, iya, kalian gak ada penggaris atau alat tulis? Tapi, pernah punya? Sini, coba cerita sama gue, permasalahannya di mana.

For A Pessimist, I'm Pretty Optimistic. -Paramore-

Saturday 24 June 2017

Farewel, Comrades.

Selesai kuliah di bulan Maret 2014, setelah beberapa bulan menganggur, akhirnya di September 2014 gue bekerja. Sebagaimana yang sering gue ceritakan di blog ini beberapa kali, gue lulusan dari jurusan Psikologi. Rejeki memang ga ada yang tau, ternyata dalam suratan takdir-Nya, pengalaman bekerja gue pertama kali adalah di dunia perbankan. 

Gue sempat ragu, apa iya gue yang lulusan Psikologi ini mampu kerja di perbankan. Ketika SMA aja, nilai untuk mata pelajaran Akuntansi berantakan. Bahkan gue sedikit sulit dalam memahami angka dan data di pelajaran Akuntansi. Dari interview tahap awal sampai dengan medical check up, gue masih ngerasa was-was, iya atau engga. Demi pengalaman kerja pertama, gue coba terus sampai akhirnya tanda tangan kontrak.

Ketika awal masuk kerja, sebagaimana orang biasa yang menghadapi suatu pengalaman pertama dalam hal apapun, gue deg-degan. Ketemu orang baru, bekerja secara profesional, dan lain sebagainya. Di tiga bulan pertama gue kerja, gue masih terus beradaptasi. Dunia perbankan memang sedikit sulit buat gue, melayani nasabah, berhadapan dengan sistem, dll. Ditambah ini pengalaman pertama gue bekerja secara profesional. Sampai akhirnya, gue terbiasa.

Pastinya cukup banyak cerita yang gue lewatin dan rasanya sudah terlalu jauh untuk gue ceritakan satu per-satu di sini. Di perbankan, posisi gue itu backoffice, bisa dibilang juga administrasi, yang bertugas follow-up kerjaan dari Teller, Customer Service, atau dari Marketing. Dari Psikologi ke perbankan. Di backoffice ini, gue merangkap jadi Petugas Kliring, juga sedikit back-up perihal Devisa. Gue belajar ilmu baru, sekaligus mengasah softskill.

Satu tahun belajar mengenai perbankan di kantor, rasanya gue mulai ngerasa, perbankan itu bukan "dunia" gue banget.  Bahkan di tahun pertama gue bekerja, gue udah janji ke diri gue sendiri, 2-3 tahun ke depan, gue harus balik lagi ke area Psikologi. Entah jadi Staff HRD, Rekrutmen, dan lain sebagainya. Bukan suatu permasalahan, kalaupun gue dianggap fresh graduate di area Psikologi, ketika gue kembali ke disiplin ilmu tersebut.

Singkat cerita, karena gue udah janji sama diri sendiri tentang diri gue yang harus balik lagi ke area Psikologi, akhirnya di bulan Mei 2017 gue mengajukan resign. Awalnya gue ragu, apakah gue harus resign atau tetap di sini, gue udah punya istri dan anak yang wajib dinafkahi. Selama sekitar 4 bulan terakhir, gue selalu berdoa untuk diberi keberanian segera resign, sampai akhirnya, gue diberi keberanian di bulan Mei 2017.

Apakah gue udah dapet kerjaan baru sebelum resign? Belum. Sampai dengan saat ini, gue masih terus berusaha untuk menemukan pekerjaan baru.

Setelah menjalani pekerjaan di perbankan selama hampir tiga tahun, selain cerita dan pengalaman, tentu gue meninggalkan banyak sahabat yg bisa dibilang sudah dekat. Di satu sisi gue seneng, karena gue berhasil meninggalkan pekerjaan lama, di sisi yang lain gue sedih, karena harus meninggalkan kebiasaan yang sudah terbentuk bersama sahabat di kantor yang lama. 

Apapun yang gue "tinggalkan" di belakang, gue harus tetep jalan terus. Terima kasih untuk kerjasama yang baik selama hampir tiga tahun, terima kasih sudah memberi pengalaman baru dan berharga, kalian memiliki tempat tersendiri di memori jangka panjang gue.

Farewel, Comrades.
It's hard to move on, but, you do. You have to. -Steven Gerrard-



Note: alasan gue resign ga gue ceritakan di sini, khawatir menjadi hal yang sensitif untuk pembaca. :)

Catatan Seorang Perekrut #17 Recruiter yang Insecure dengan Perjalanan Karirnya

Jumat, 14 Juli 2017. Hari yang nggak akan pernah saya lupakan dalam perjalanan karir yang, usianya masih seumur jagung ini. Hari di mana akh...