Friday 30 June 2017

Resign Dari Perbankan

Di tulisan gue sebelumnya, gue bercerita tentang pengalaman resign pertama kali di tempat kerja. Sampai dengan saat ini, respon yang gue dapat dari beberapa orang amat sangat menarik, beragam. Ada yang sangat setuju gue resign dan tanpa pikir panjang langsung mendoakan yang lebih baik dalam segala hal. Mereka "transfer" energi positif ke diri gue. Ada juga yang (bisa dibilang, menurut opini gue pribadi) skeptis.

Oke, gue akan bercerita tentang respon yang kurang menyenangkan, yang meragukan keputusan gue untuk resign.

Satu hal yang pasti, gue ga ada permasalahan apapun di tempat kerja sebelumnya. Syukur, gue berhubungan baik dengan orang-orang di tempat kerja sebelumnya sampai dengan saat ini. Kalau ga percaya, sila cek ke 0251-8313137 (ext. 300), langsung ke bagian SDM.

Keputusan gue untuk mengajukan surat resign itu penuh dengan pertimbangan, pada awalnya. Di akhir tahun 2016, gue berpikir keras, sempat down, apakah gue harus resign, atau meneruskan kontrak. Sekali lagi, gue ga ada permasalahan apapun di kantor, semua berjalan dengan baik. Hubungan dengan nasabah, dengan rekan kerja, atau siapapun yang berada di sekitar lingkungan tempat gue bekerja sebelumnya, semua berjalan dengan baik.

Sampai akhirnya, pertimbangan itu berubah menjadi keberanian.

Dari akhir tahun 2016 sampai dengan Mei 2017, gue selalu berdoa untuk diberi keberanian mengajukan (surat) resign. Akhirnya, di tanggal 25 Mei, Tuhan mengabulkan doa gue. Tanggal 26 Mei, ketika gue diberi keberanian, gue langsung mengajukan (surat) resign. Beberapa orang di kantor kaget, pun dengan gue, "kok, gue berani, ya?", pikir gue. Mau gimanapun, ini adalah doa gue yang akhirnya dikabulkan oleh Tuhan.

Dalam prosesnya, banyak sekali orang yang bertanya sama gue secara langsung, "emang lo udah dapet kerjaan baru? Pasti udah dapet, kan? Udah ngaku aja, gak apa-apa, kok", pertanyaan standard. Ada yang menambahkan, "udah dapet kerjaan baru belum? Kok lu keluar? Kasian Istri dan Anak lo, kalau belum dapet kerjaan baru". Ini lucu. Seakan rejeki gue hanya ada di satu tempat. Bahkan ada yang lebih ekstrim dengan mengatakan, bahwa gue yang resign dan belum dapet pekerjaan baru itu gak make sense.

Ketika keyakinan dan optimis, berbenturan dengan pesimis.

Pemikiran atau rasa pesimis yang orang lain utarakan langsung ke gue, tidak memberikan pengaruh apapun, sedikitpun sama keputusan gue untuk resign. Nyesel udah resign? Engga. Belum dapet kerjaan, sedih? Engga. Nanti mau ngasih makan anak dan istri apa? Ya, nasi dan makanan pokok lainnya, lah. Yang menjamin rezeki setiap orang itu sudah ada dan tidak perlu diragukan. Ada zat yang mengatur. Perantaranya memang melalui manusia, bisa dari "arah" manapun. Pesimis yang kalian utarakan, malah makin menguatkan gue.

Kalau boleh mengalkulasi dan mengadu jumlah orang yang mendukung gue secara moral dengan orang yang secara terang-terangan pesimis terhadap keputusan gue, justru lebih banyak yang mendukung. Dari Istri, keluarga besar, juga sahabat. Itu gue dapatkan secara langsung, bilang langsung sama gue, juga mendoakan. Doa ini yang jadi penguat gue. Kalian pesimis sama keputusan gue? Emm, lebih baik gak perlu diutarakan, energi kalian terlampau jauh dengan yang optimis. Jauh, gak tersentuh.

Selanjutnya gue kerja apa? Entah, gue belum tau rezeki gue selanjutnya ada di mana, melalui perantara perusahaan mana dan dengan siapa. Yang pasti dan yang gue yakini, Tuhan selalu ada buat umat-Nya, rezeki sudah disiapkan dan menjadi kepastian. Kalaupun rezeki gue belum bisa gue dapat di perkantoran, gue bisa melakukan hal lain untuk menjemput rezeki gue, dengan berprofesi sebagai pengemudi ojek atau taksi online, misalnya. Pahit, jadi pengemudi ojek atau taksi online? Emm, belum gue coba dan dari percakapan gue dengan banyak pengemudi ojek atau taksi online, sebagian besar jawab engga. Hampir semua jawab engga. Apalagi dilakukan dengan penuh keikhlasan. Kalau mau berpikir pahit, bekerja di perusahaan besar atau sekecil apapun, dengan kondisi dan situasi kerja yang nyaman sekalipun, kalau memang pahit, ya, pahit aja.

Ini tulisan tentang penegasan dari sebuah keputusan. Tolong beri garis bawah dan penebalan.
  
Sombong? Lho? Bukannya kalian para pesimis yang sombong, dengan secara tidak langsung dan tanpa disadari, meragukan rezeki yang sudah dijanjikan dan disediakan Tuhan?

Oh, iya, kalian gak ada penggaris atau alat tulis? Tapi, pernah punya? Sini, coba cerita sama gue, permasalahannya di mana.

For A Pessimist, I'm Pretty Optimistic. -Paramore-

No comments:

Post a Comment

Catatan Seorang Perekrut #17 Recruiter yang Insecure dengan Perjalanan Karirnya

Jumat, 14 Juli 2017. Hari yang nggak akan pernah saya lupakan dalam perjalanan karir yang, usianya masih seumur jagung ini. Hari di mana akh...