Thursday 26 June 2014

Capture 4PA01-2009

Dear, kenangan, tolong sampaikan ke semua orang yang ada di foto ini, gue rindu mereka semua, dalam benak, ucap, ataupun segala tindakan yang pernah diusahakan untuk menghubungkan satu sama lain diantara sekian banyak orang yang hadir dalam kejadian sederhana di (beberapa) foto ini.

















Sekedar mengingatkan, tanpa maksud riya atau mengingat kebaikan, foto-foto ini diambil waktu kita diskusi soal buka bareng di panti asuhan.

Maaf kalau banyak foto yang blur atau banyak temen-temen yang ga ke-foto, ya. Hai, 4 PA 01-2009.

Thursday 19 June 2014

Jadi Sampah Karena Sampah

Ketika gue ngetik tulisan di blog ini, alasannya adalah: 1) lagi ga ada kerjaan dan bingung mau ngapain, 2) daripada bosen, ya ngetik aja di blog pribadi, 3) alasan 1 dan 2 dipadu padankan. Untuk pemilihan tentang apa yang dibahas ditulisan gue kali ini, muncul karena kegelisahan gue akan hal sepele yang seharusnya mudah dilakukan oleh banyak orang, bahkan seharusnya oleh semua orang, tapi, malah jadi sulit untuk dilakukan. Fenomena ini sering gue liat sehari-hari, dan tanpa harus sok tahu, gue yakin, kalian semua juga ngeliat fenomena ini, buang sampah sembarangan. Ajaibnya, buang sampah sembarangan ini bisa dilakukan siapapun, dari anak yang usianya di bawah 5 tahun, sampai orang tua atau kakek/nenek, pun, bisa. Tentu kalian paham, "ajaib" yang gue maksud di sini adalah sindirian. Untuk anak yang ber-usia di bawah 5 tahun, dia melakukan hal itu kemungkinan karena orang-orang yang ada di lingkungannya juga melakukan hal yang sama, entah keluarga atau orang lain, dan menganggap hal tersebut (buang sampah sembarangan) adalah hal yang teramat biasa dan bukan masalah (untuk kalangan mereka). Sampai akhirnya, hal tersebut jadi masalah di kemudian hari. Gue ga akan sebut apa permasalahannya, karena akan termasuk kategori retoris. Kalian bisa jawab sendiri.

Kebiasaan buang sampah sembarangan ini akan buruk ketika terbawa hingga usia remaja, dewasa, dan seterusnya. Kita semua tahu, masa remaja identik dengan istilah alay, bahkan orang dewasa pun masih ada yang dengan riangnya ada di posisi alay, walaupun sampai saat ini, gue belum tahu kriteria seseorang bisa dikatakan alay bisa dilihat dari hal apa aja. Emang kalian mau, udah dibilang alay, buang sampah sembarangan pula, kan, jadi jelek banget kalau "dikatain" sama temen, "ciee, udah alay, buang sampah sembarangan pula". Jangan-jangan nanti ada kategori, "alay yang buang sampah pada tempatnya" dan "alay yang buang sampah sembarangan". Paling ngga, sejauh ini gue termasuk dalam kategori yang pertama.

Entah apa yang dipikirkan sama orang yang dengan ekspresi ceria dan begitu gampangnya buang sampah sembarangan. Gue selalu mikir berulang kali kalau mau buang sampah sembarangan, ada rasa ga nyaman dan ga enak, (mirip ketika kita lagi mules dan kepengen pup "si ampas" udah di "ujung tanduk", tapi, kita masih belum nemu toilet di mana. Ga enak dan ga nyaman.) sampai akhirnya gue ga jadi buang sampah sembarangn dan lebih memilih untuk nemuin tempat sampah terdekat atau yang sudah tersedia. Kalau memang belum ada, biasanya gue pegang atau dimasukan ke kantong atau tas dulu.

Gue udah beberapa kali menegur, menyindir, atau memarahi orang yang buang sampah sembarangan, sekalipun orang itu adalah nyokap gue sendiri, bahkan pernah ketika ada orang yang buang sampah sembarangan di depan mata gue, gue buang sampah yang dia buang ke tempat sampah yang ada di dekat dia. Bayangin, deh, tempat sampah tersedia gitu, dia masih aja sembarangan buangnya. Kurang goblok apa coba? Semoga kata "goblok" tidak menjadi kasar buat para pembaca tulisan ini. Bagaimana pun, goblok beda dengan bodoh, dan goblok bisa dihilangkan atau dimusnahkan. Kalimat tersebut kutipan dari Pandji Pragiwaksono mengenai perbedaan antara "bodoh" dan "goblok", yang kalimat utuhnya, "Bodoh itu bisa hilang karena pendidikan, sedangkan goblok itu bisa dilakukan orang terdidik. Goblok itu ga ada urusan dengan pendidikan. Itu bodoh. Bodoh bisa hilang dengan pendidikan. Goblok itu (bisa) dilakukan siapapun". Siapapun, bisa jadi gue salah satu dari kata "siapapun" yang ada di quote-nya Pandji, tapi, gue berusaha untuk ga jadi bagian dari orang yang buang sampah sembarangan. Pernah ketika gue lagi jajan sama beberapa teman, dan ga tau mau buang sampah di mana (karena di sekitar situ ga ada tempat sampah), teman gue menyarankan, "tuh, buang di pinggir situ aja", alias sembarangan, dan menurut gue sarannya jauh dari kata brilian. Gue menolak dan memilih untuk memegang sampah (bekas jajanan) sampai nemuin tempat sampah, dan akhirnya nemu. Pengalaman menarik lainnya di waktu gue makan di Domino's Pizza. Gue makan di tempat, ketika itu gue bareng pasangan duduk dan makan di area luar, katakanlah smoking area, ketika itu lagi banyak orang yang makan di Domino's, dan mayoritas yang makan ya orang Indonesia, di antara mereka yang makan, setelah ngabisin pizzanya, ga ada satu pun yang ngebuang kotak pizza ke tempat sampah, yang ngebuang selalu pegawai Domino's-nya, lalu di meja sebelah ada dua orang wisatawan asing, katakanlah "bule", yang lagi cerita, gue dan pasangan sedikit nguping apa yang dibicarain mereka (hehe), sampai akhirnya kedua orang bule itu beres makan, mereka ngeliat kelakuan beberapa orang Indonesia yang setelah makan pizza, kotak pizzanya ga dibuang ke tempat seharusnya --tempat sampah--, setelah itu bule yang satu ngomong ke temennya sambil ngeliatin kotak pizza yang berserakan (dan ga dibuang ke tempatnya), "I don't do that". Gue ngeliat ekspresi ketika dia ngomong, terlihat senyum "nyinyir" dari wajah si bule. Oh, shit. Malu, bro, malu. Di "kandang" sendiri kita malah nunjukin tindakan yang ga perlu. Terlepas dari si bule memang suka buang sampah pada tempatnya atau memang sedang menghargai karena dia sedang "berkunjung", poin positif layak gue kasih ke wisatawan tersebut.

Jika buang sampah sembarangan sesekali itu adalah suatu kesalahan, gue punya quote yang cukup bagus untuk dicerna, "you can never make the same mistake twice, because the second time you make it, it's not a mistake, it's a choice." -unknown-

Jadi, demi kebersihan lingkungan di sekitar kita, apa kita mau membuat dan menjalani pilihan yang goblok?

Wednesday 18 June 2014

Aji Purnomo, 23 Tahun.

Setiap mahasiswa baru, ga akan tau nantinya siapa orang yang akan terus bareng dari awal masuk sampe selesai kuliah, entah lulus, atau wisuda. Pun dengan gue. Gue ga tau sama sekali nantinya siapa yang akan gue pilih sebagai orang yg gue percaya ketika gue cerita soal apapun, karena realitanya, kita akan memilih seseorang yang kita percaya untuk berbagi cerita.

Awalnya, selama kuliah, gue pikir gue ga akan punya temen bagi cerita sampe lulus, karena sebelumnya, yang gue denger, mahasiswa itu individualis. Ternyata itu cuma gosip. Gue makin ga percaya gosip itu ketika gue masuk ke kelas pertama kali di waktu kuliah. Semuanya normal, kaya waktu SMA. Masih berkelompok. Gue pikir yg berkelompok ini udah saling kenal sebelumnya, nyatanya belum, mereka juga belum saling kenal. Gue langsung duduk begitu gue tiba di kelas. Diem, karena ga tau siapa temen ngobrol yang seru dan "nyambung". Sampe akhirnya gue ketemu si Aji Purnomo. Jujur, sebenernya gue lupa kapan pertama kali gue ngobrol sama dia dan soal apa. Yang gue inget ketika itu, gue bertiga di kelas lagi ngobrolin bola sambil duduk sama Aji dan 1 orang temen, Charlie Alpian namanya (sampe akhirnya kita tau klub favorit masing-masing, Aji fans MU, Charlie fans Barca, dan gue Liverpool). Kita cuma sesekali ceng-cengan soal tim kesayangan kita, entah karena cari aman, saling menghargai, atau emang dirasa kurang penting aja gitu. Hehe. Kita selalu bertiga di tingkat 1.

Cerita mulai melebar, jadi, gue persempit lagi. Entah kapan gue ngerasa klob sama Aji, entah soal obrolan, sharing, dll. Terkesan homo, memang, dan ga sedikit yg bilang begitu, karena di kampus ke mana-mana kita emang selalu berdua. Dari ngobrol, makan, ngerjain tugas kelompok, dll. (Semoga dll-nya ini ga bikin ambigu). Itu cerita di tingkat 1. Ternyata ga berenti di situ, tingkat 2 kita masih satu kelas, otomatis sampe tingkat 4 pun kita akan sekelas, terhitung dari tingkat 2-4, selalu Aji dan gue yg jadi semacem koordinator kelas, atas kepercayaan temen sekelas. Makin jadi aja kesan homonya. Ada cerita lucu tapi aneh ketika Aji ga masuk kuliah, yang biasanya gue ke mana-mana berdua, di waktu itu gue kelimpungan sendiri ga ada temen. Haha. Masih inget sampe sekarang gimana bingungnya gue ketika itu.

Sekarang, kita udah sama-sama lulus. Komunikasi (ga boleh) terputus. Walaupun nyatanya sampe saat ini, kita mulai jarang sms atau whatsapp-an. Wajar, karena kita punya kesibukan saat ini, Aji sibuk bekerja, gue masih sibuk ngincer satu tanda tangan lagi untuk memenuhi revisi skripsi gue. Hehe (Harus terwujud di 27 Juni 2014 ini, karena dosennya sendiri yg menjanjikan hal itu ke gue).

Aji ini orang yg konsisten sama omongannya. Gue masih inget, dia pernah bilang (di tingkat 1), "gue ga akan pacaran dulu sampe gue lulus, terus kerja". Sekarang lo udah kerja, Ji, di samping ada nyokap yang membahagiakan lo, harus segera ada wanita yang selalu ngedukung lo. :D

Gue ga mau mendoakan yang terbaik buat lo, Ji, gue punya beberapa doa yang lebih spesifik:
1) lebih bisa ngejaga dan bahagia-in nyokap,
2) lebih berguna buat orang dan lingkungan sekitar,
3) lebih dilancarkan rezekinya,
4) selalu diberi kemudahan ditiap urusan dan permasalahan, juga pekerjaan,
5) diberi kesehatan untuk segala kegiatan,
6) ketemu sama pasangan hidup yang menyenangkan
7) selalu diberi perlindungan sama Allah,
8) mimpi, rencana, juga goal bikin cafe terlaksana (untuk target, buat target sendiri, ya, Ji. Hehe)

Selamat ulang tanggal lahir, Ji.

Catatan Seorang Perekrut #17 Recruiter yang Insecure dengan Perjalanan Karirnya

Jumat, 14 Juli 2017. Hari yang nggak akan pernah saya lupakan dalam perjalanan karir yang, usianya masih seumur jagung ini. Hari di mana akh...