Thursday 25 December 2014

Kerjaan Utama, Berwirausaha

Kali ketiga gue udah nerima gaji sebagai karyawan. Ada perubahan yang gue rasa, dan ada asa yang gue jaga. Perubahan da asa yang lebih baik pastinya. Dari segi penyesuaian dan pembelajaran khususnya dan ada beberapa bagian yang engga disebutkan. Dari penyesuaian, akhirnya, perlahan tapi pasti, badan gue menyesuaikan sama situasi dan kondisi kerja. Capek, tapi, menyenangkan. Hal ini yang selalu gue rasakan ketika gue kuliah. Perubahan yang baik, lebih baik, buat diri gue pribadi yang masih awal mencicipi dunia kerja. Sesederhana itu. Satu bulan pertama kerja, harus diakui kalau gue belum bisa adaptasi, masih "nemuin celah" gimana gue harus bersikap dan memposisikan diri di lingkungan kerja. Sampai akhirnya, gue bisa membiasakan. Menyenangkan adalah ketika aktivitas yang gue lakuin bikin capek, tapi, menyenangkan. Disamping "menghasilkan", pastinya.

Awalnya, bekerja itu semacam beban buat gue. Berat. Lambat, tapi, pasti, karena penyesuaian yang gue lakukan, bekerja itu seakan belajar buat gue. Belajar hal baru, lingkungan baru, ilmu baru. Ya, gue anggap bekerja adalah belajar, sama halnya ketika belajar di SD, SMP, SMA, sampai kuliah. Itu yang gue lakukan agar bisa menyesuaikan.

Ketika kuliah, gue suka sama alat tes Pauli, berhubungan soal angka, butuh konsentrasi dan ketelitian. Gue berharap, di dunia kerja gue dipertemukan dengan alat tes tersebut. Sampai akhirnya, gue bekerja di salah satu bank, dan berpikir, "ah, bukan rejeki dan jodoh gue ketemu sama (alat tes) Pauli". Gue berpikir, apa yang gue kerjakan itu bukan passion gue, gue sempet gak fokus sama apa yang gue kerjakan di satu bulan pertama. Semacem merengek, karena sebelumnya, gue kuliah di jurusan yang gue amat sangat suka. Gue suka ketika berpikir tentang apa yang gue jalani, "berinteraksi" dengan diri sendiri. Gue menemukan hal yang lebih baik, menurut gue, dibanding "rengekan" yang gue lakuin di satu bulan pertama bekerja. Gue tersadar, antara alat tes Pauli dengan kerja di bank itu ada korelasinya. Sama-sama berhubungan dengan angka. Selain butuh ketelitian, ya, karena semua pekerjaan butuh ketelitian, pastinya. Gue tersenyum.

Selain belajar Psikologi, hal yang ingin gue wujudkan adalah berwirausaha. Jadi, gini, ketika baru masuk SMP, gue berpikir untuk masuk SMAN 6 Bogor. Terlalu dini, memang, untuk mikirin akan masuk SMA mana nantinya, sewaktu gue baru aja memakai seragam putih-biru, tapi, hasilnya? Gue masuk dan sekolah di SMAN 6 Bogor, setelah lulus SMP. Kelas 1 SMA, gue mulai berpikir, akan kuliah di jurusan apa nantinya. Hal yang sama, masih terlalu dini untuk anak 1 SMA untuk berpikir tentang itu, tapi, ga ada salahnya. Gue emang sukanya begitu, dipikirkan bagaimana ke depannya, setelah berhadapan dengan "depannya", baru gue jalani dan ada targetan pastinya. Harus. Ketika ditanya akan kuliah di jurusan apa, gue jawab, Psikologi. Kejadian terulang, benar adanya gue kuliah di jurusan tersebut. Setelah kuliah, awal kuliah, yang gue pikirkan dan yang ingin gue wujudkan adalah, lulus kuliah gue menjadi karyawan, setelahnya, gue berwirausaha, punya bisnis sendiri di bidang kuliner (makanan) dan clothingan dan bisa mempekerjakan orang lain, memberi mereka gaji yang sesuai, agar mereka bisa hidup layak. Kejadian terulang? Harus. Gue harus ngotot untuk hal itu. Gue harus mengusahakan agar hal itu terwujud (note: saat ini gue sedang merintis bisnis clothingan bareng 2 orang temen di kantor. Deri dan Indra. Terima kasih buat mama juga Nazliah, yang support apa yang gue "ngotot"-in).

Gue bertanya sama diri sendiri, "apa passion dalam hidup itu cuma dan harus satu?", kesimpulan gue mengkerucut, sederhananya, passion itu hasrat, sesuatu yang kita senangi, ketika kita menjalani. Jadi, mana mungkin kesenangan dalam hidup itu harus di-"kotak"-an jadi satu, sedangkan kesenangan dalam hidup itu amat sangat banyak. Psikologi dan berbisnis jadi hal yang gue senangi. Berbisnis untuk sesuatu yang menghasilkan di masa sekarang dan mendatang, tentunya. Gue gak mau selamanya jadi karyawan. Kalaupun selamanya jadi karyawan, itu jadi kerjaan sampingan gue. Kerjaan utama, berwirausaha.

Saturday 25 October 2014

Menjalani Proses

Udah sekitar sebulan gue ga update blog. Berasa ada yang kurang. Walaupun sebenernya tiap gue posting, isinya biasa aja. Paling engga, ketika gue posting sesuatu di blog, gue udah menuangkan apa yang gue pikirkan dan ga ketahan gitu aja di kepala gue. Hehe.

Genap satu bulan gue bekerja, syukur, gue pun udah nerima gaji pertama. Awal yang cukup baik. Gue mulai masuk kerja tanggal 25 September. Sampe sekarang, gue masih suka "kikuk", bingung, kerja itu ngapain aja, sistematikanya gimana, mau gimanapun, ini pekerjaan pertama gue setelah akhirnya gue menyelesaikan studi di perkuliahan. Gue masih butuh bimbingan dari orang di kantor. Selalu butuh bimbingan dan arahan. Gue menjalani masa kerja pertama gue dengan lesu dan kurang semangat, tanpa mengurangi rasa syukur, udah dapet pekerjaan. Gue kurang semangat, karena sedih di waktu itu. Gue kepikiran Nazliah. Dia masih cari pekerjaan ketika itu, gue udah dapet. Gue sedih, karena sebelumnya, kita cari kerjaan bareng-bareng, kalau dia lagi interview atau psikotes, gue yang nemenin, begitu juga sebaliknya. Dia selalu nemenin gue, di mana dan kapanpun gue di psikotes dan interview. Sebelum gue dapet pekerjaan yang sekarang, Nazliah sempet nemenin gue psikotes sekaligus interview di kawasan Karet, Jakarta. Gue pikir psikotesnya cuma sampe sekitar jam 12an, setelah itu, gue dan Nazliah langsung main. Ternyata engga gitu. Gue balik jam 5 sore. Nazliah udah nemenin gue dari sekitar jam 5.30 pagi. Gue sedih, terharu, karena ketika nunggu gue, dia ga ngeluh sama sekali. Dia tulus nungguin gue yang lagi psikotes dan interview. Kalau inget momen ini, mata gue selalu "berkaca-kaca", karena terharu.

Sedihnya ga berenti di situ. Gue udah dapet kerjaan lebih dulu dibanding Nazliah, itu berarti, Nazliah harus berjuang sendiri ketika dia ada panggilan interview atau psikotes. Sedih rasanya, ketika gue ga bisa bales ketulusannya dia. Akhirnya ketika ada beberapa kali panggilan psioktes, yang nemenin itu Papa-nya. (Maaf, ya, Nazliah, di waktu kamu psikotes, aku ga ada di sana, aku malah ngomel-ngomel dan egois.) Nazliah akhirnya dapet pekerjaan pertamanya, dia mulai bekerja di tanggal 9 Oktober, ga lama setelah gue bekerja.

Sekarang kita udah sama-sama kerja, kita masih sering ngeluh soal kerjaan kita. Sama-sama ngeluh. Kita belum terbiasa sama kesibukan ketika bekerja. Gue sedikit lebih beruntung, karena ketika kerja, gue bawa kendaraan menuju kantor, jadi, bisa meminimalisir macet, ditambah antara rumah dan kantor gue bisa ditempuh hanya dengan waktu 20-30 menit. Sedangkan Nazliah, dia harus bangun sekitar jam 4.40, mandi, bersiap, dan berangkat jam 6. Lewat dari jam itu, dia akan kejebak macet, kerjaan di kantor ga ada abisnya, waktu istirahat juga minim, pulang paling cepet dari kantor jam 5 sore dan masih harus duduk berlama-lama di angkutan umum karena jalanan yang tersendat. Kemaren banget, Nazliah nangis dan bilang, dia cape, dia ga mau kerja. Pengen peluk rasanya ketika gue denger dengan jelas dia bilang gitu dan sambil nangis dengan nada manjanya dia. Ditambah, dari awal kerja sampai sekarang, kesehatan dia lagi drop.

Kita udah sama-sama kerja, Naz. Tanpa maksud menggurui, kita lewatin bareng-bareng prosesnya, ya. Tujuan kita, kan, nantinya berwirausaha. Sekarang, salah satu hal yang penting, kita harus adaptasi sama kerjaan kita. Fisik kita juga lagi adaptasi, kok. Maaf kalau aku masih suka egois, ya. Inget, tujuan, target kita berwirausaha. Untuk sekarang, kita masih jadi "pembantu". :)

Gue kerja di bank. Gue lulusan Psikologi. Tanpa maksud merasa hebat dalam Psikologi, gue amat sangat rindu sama yang namanya alat tes (Psikologi). Di kerjaan gue yang sekarang, gue ga akan ketemu sama yang namanya alat tes. Hari-hari bekerja gue, selalu terisi dengan rasa kangen alat tes atau obrolan yang berhubungan tentang Psikologi. Itu kenapa begitu orang kantor sedikit nanya atau pengen tau tentang alat tes atau ngobrolin yang berhubungan soal Psikologi, gue selalu excited. Mereka ga akan tau, gue nahan haru, karena rasa kangen gue. Walaupun ga sampai tergila-gila, mungkin Psikologi udah jadi semacem passion.

Sumpah demi apapun, gue rindu sama alat tes, rindu jadi tutor buat junior yang ngajarin beberapa alat tes. Ada 11 bulan lagi untuk ngabisin kontrak kerja gue (yang berdurasi satu tahun). Semoga gue masih inget, gimana cara mengerjakan alat tes dan "cara kerja" dari alat tes itu sendiri. Nazliah, yang semangat, ya. I love you.

Sunday 21 September 2014

Terima Kasih, Nazliah.

Minggu, 21 September 2014. Siang hari ketika gue bingung mau ngapain, sampai akhirnya gue memutuskan untuk menulis artikel ini. Gue ngetik di kamar gue, seperti biasa, ditemenin sama detik dari jam weker Liverpool kesayangan, di kamar yang rencananya akan gue isi dengan banyak marchandise Liverpool FC. Hehe. Pagi tadi gue futsal jam 10.20-11.20, lumayan, olahraga, ngebakar dan mengurangi lemak di perut yang makin menggumpal. Akhirnya gue mandi sekitar pukul 13.40, karena keringetnya bikin badan jadi lengket. Selama gue mandi, entah kenapa gue kepikiran Nazliah. Sebenernya gue kepikiran dia dari seminggu yang lalu, yang gue pikirin itu, "kita ketemu ketika kita sama-sama ngerjain skripsi dan nemuin kesulitan, sampai akhirnya kita saling support dan saling bantu semampu kita, apalagi gue, gue ngerasa banyak dibantu lewat kehadirannya dia. Dia emang spesial". Tuhan memberi gue bantuan lewat perantara Nazliah. Tuhan pun memberi gue motivasi lebih melalui keluarga juga orang di sekitar. Tanpa maksud tidak menghargai yang lain, kali ini yang gue bahas adalah Nazliah.

Gue ngerasa seneng dan bersyukur, Nazliah hadir di waktu yang tepat. Kita sama-sama dari jurusan yang sama, cuma beda angkatan. Dia senior gue di kampus. Dia ada ketika gue butuh motivasi lebih untuk menyelesaikan Tugas Akhir alias skripsi. Gue emang (harus) bisa menyelesaikan skripsi gue sendiri, tapi, dengan adanya Nazliah, gue punya motivasi lebih dan ngerjain skripsi jadi menyenangkan. Gue ga perlu kebingungan cari temen sharing buat skripsi. Udah jadi realita, di saat ngerjain skripsi, temen-temen seperjuangan kita ketika kuliah entah ke mana. Engga, gue ga menyalahkan mereka, karena gue tahu, mereka juga sibuk dengan skripsinya masing-masing. Nazliah yang selalu nemenin dan jadi temen sharing ketika gue membutuhkan hal tersebut. Nazliah selalu nemenin dan ngedukung gue dalam pengerjaan skripsi, sampai akhirnya gue sidang di tanggal 29 Maret 2014. Rasanya berhadapan sama sidang skripsi itu deg-degan campur biasa aja. Ketika pengumuman kelulusan, pun, gue ngerasa biasa aja. Yang luar biasa adalah ketika di jalan pulang sendirian, dan tersadar, gue udah lulus.

Ga berhenti di situ, Nazliah nemenin gue sampai sekarang. Iya, kita "berkomitmen", mengusahakan, dan punya tujuan. Ga perlu diperjelas, kan, apa maksudnya? Hehe. Setelah lulus, kehidupan berasa dimulai dari nol, karena kita masuk ke tahapan awal menjalani kehidupan yang sebenarnya. Begitu kata orang bijak. Saat ini, gue dan Nazliah masih sama-sama berusaha menemukan pekerjaan. Gue amat sangat berharap, 2014 bisa produktif, paling tidak, di sisa 2014 yang tinggal beberapa bulan lagi. Produktif bisa berarti luas, kalau dipersempit, paling tidak mengacu pada berusaha, mengusahakan sesuatu. Dalam hal ini, bisa berusaha menghasilkan uang jajan buat diri sendiri. Sesekali rasanya berat, ketika beberapa teman yang lain sudah bekerja, dan kita masih berusaha. Berat itu bisa jadi ringan, ketika ada seseorang yang menenangkan.

Kalau mengacu sama judul artikel ini, sebenernya kurang berkesinambungan, tapi, kata terima kasih, tetap dan selalu jadi reward buat seseorang, supaya sesuatu yang baik itu bisa selalu dilakukan dan yang menerima (ucapan) akan jadi makin senang untuk melakukan hal tersebut. Terima kasih, Tuhan, Nazliah ada di waktu yang tepat. Terima kasih, Nazliah, kamu selalu ngisi hari aku (karena kadang aku ngerasa, kalau ga ada kamu, beberapa hal akan jadi berat, Di waktu kamu ada, banyak hal yang bisa dicapai).

:)

Wednesday 10 September 2014

Kicauan Burung

12.58 PM, waktu ketika gue buka notebook ini, pasang modem, dan menyambungnya ke notebook untuk segera menulis di blog ini. Gue bikin tulisan ini di kamar gue, letaknya di lantai 2, ditemani bunyi detik jam weker Liverpool FC kesayangan gue. Sesekali terdengar suara burung yang berkicauan dari luar rumah. Ya, mungkin si burung lagi cari temen ngobrol, karena dia ga mau menikmati cerahnya langit siang ini sendirian. Suasana di rumah siang ini sepi, seperti biasanya, Bokap kerja, Nyokap kerja, Kakak gue sekarang lagi di rumah nenek. Seperti biasa pula, gue enggan untuk nonton acara tv di siang hari, karena itulah tv gue matiin. Hasilnya, di rumah jadi sepi dan hening. Menurut gue itu lebih baik, dibanding gue menyalakan tv, tapi, ga ada satu pun acara yang bikin gue seneng.

10 September 2014, sekitar 5 bulan setelah gue lulus kuliah (gue dinyatakan lulus kuliah setelah mengikuti sidang skripsi pada tanggal 29 Maret 2014), gue masih belum juga bekerja. Di dua-tiga bulan pertama gue memang belum memutuskan untuk mencari pekerjaan, memilih untuk menyelesaikan revisi skripsi dan segala urusan yang menyangkut tentang administrasi perkuliahan terlebih dulu. Hasilnya memang baik, selama sekitar dua bulan revisi skripsi gue dengan tiga dosen penguji selesai, hardcover skripsi selesai, pendaftaran wisuda dan dapet toga pun udah. Gue tinggal mengikuti gladi resik untuk wisuda tanggal 7 Oktober 2014, dan wisuda pada tanggal 19 Oktober 2014. Permasalahan yang harus gue hadapi saat ini (mungkin juga beberapa temen diploma dan sarjana yang lain) adalah tuntutan sosial, di mana setelah lulus dan/atau wisuda, gue mendapat pekerjaan atau bisa menafkahi diri sendiri. Tuntutan sosial (atau lingkungan) menurut gue lebih berat dibanding tuntutan pribadi, karena gue harus siap untuk menghadapi perkataan orang lain, termasuk orang di sekitar gue yang ga terduga. Kalau gue ga siap, gue akan melemah. Gue harus menyiapkan diri untuk itu. Terhitung dari bulan Agustus 2014, gue mulai mencari dan melamar pekerjaan. Sampai saat ini, gue udah tiga kali memenuhi panggilan untuk psikotest dan interview. Belum ada hasil yang memuaskan, memang, tapi, paling tidak, gue bergerak dan ga statis. Mau gimanapun, ini proses, gue sedang menjalani proses sebelum akhirnya gue bekerja kelak dan gue harus menghargai diri gue yang masih dan selalu mau berusaha. Gue memegang kendali atas diri gue, itu kenapa di waktu gue down, melemah dari segi mental, gue ajak ngobrol diri sendiri, maunya apa, harus gimana, dan lain sebagainya. Ya, gue berbicara dengan diri sendiri lewat berpikir dan/atau ngomong sendiri di dalam hati.

Otak gue berasa "gatel", kalau ada temen yang lagi nyinyir tentang temen yang belum dapet pekerjaan, sedangkan mereka sendiri bekerja karena "ditempatkan" oleh orang lain. Ga sepantesnya kita ngejek orang lain yang jelas-jelas sedang berjuang, berusaha buat dapetin apa yang dimau. Kenapa ga didukung? Minimal diajak ngobrol, apa yang dia suka, apa yang dia mau. Itu yang gue lakuin ketika gue belum tau apa permasalahan orang lain. Bukan berarti kepo. Mungkin betul, seseorang emang ga akan ngerti dan ga akan bisa ngerasasin ada di suatu posisi, sampai akhirnya seseorang itu ada di posisi tersebut. Beberapa atau banyak dari temen gue yang masih menganggur sampai sekarang, gue lagi ada di posisi itu. Pertanyaannya, siapa yang mau nganggur dan luntang-lantung? Gue dan banyak temen-temen yang lain yang masih usaha cari pekerjaan dan banyak cara yang ditempuh, lewat internet, datang ke jobfair, cari info ke temen, atau mungkin ada yang sedang merintis usaha pribadi (bisnis, wirausaha). Itu semua pasti menyenangkan. Ga ada yang sia-sia, termasuk usaha kita buat dapetin yang diinginkan.

Lewat tulisan ini, gue menyampaikan keluh, tapi, kita semua harus bikin jaminan sendiri, keluh kita sekarang diganti dengan rezeki yang lebih dimudahkan. Ga apa kita mengeluh, tapi, setelahnya kita harus balik berjuang. Selain itu, gue berharap yang sudah bekerja, bisa mencintai apa yang dikerjakan. Yang belum bekerja, segera menemukan pekerjaan yang diinginkan. :)

Sunday 27 July 2014

Sentuhan Pertama Di Tanggal 28

Malam ini Takbir berkumandang, bersautan dengan bunyi petasan. Ya, besok lebaran, bertepatan di tanggal 28. Gue duduk sambil menatap notebook ditemani cemilan. Gue ga berniat begadang, tapi, apa sesungguhnya gue belum mengantuk. Di tulisan sebelumnya, udah gue jelaskan, 28 adalah tanggal di mana gue dan Nazliah ketemu untuk pertama kalinya. Walaupun ga melulu dirayakan, tapi, gue selalu ngerasa tanggal ini istimewa di setiap bulannya, sepanjang tahun.

Di tulisan ini, gue berencana mau ngalor-ngidul, nulis tanpa arah, gue cuma mau "melampiaskan" apa yang gue rasain. Curhat. Yang penting ceritain aja. Di mulai dari bulan Juli yang selalu terasa spesial buat gue, karena gue lahir di bulan ini, tanggal 20. Gue boleh sedikit bangga, ga, ketika gue tahu, momen orang yang pertama kali mendarat di bulan itu, terjadi di tanggal 20 Juli? Ya, gue tahu, itu cuma karangan "orang sana" dan masih jadi kontroversi. Lupakan. 20 Juli kemarin gue merayakan ulang tanggal lahir gue. Bahagia? Tentu. Ketika kita merayakan hari jadi dan ada seseorang yang spesial yang menemani, ga ada alasan untuk ga ngerasa bahagia. Di tambah dia mengusahakan sesuatu. Nazliah bawa kue dan kado buat gue. Dia datang ke rumah, masuk ke dalam kamar gue, sambil bawa kue dengan lilin yang menyala, ditambah dia nyanyi "Happy Birthday" buat gue, lagunya memang biasa, tapi, gue suka sama suaranya Nazliah, suaranya bagus, merdu ketika dia menyanyikan "Happy Birthday" buat gue. Gue cuma tersipu malu dibalut bahagia. Di tanggal 20 Juli 2014 pula, dia berani pulang sendiri naik kereta dari Bogor ke Depok. Biasanya dia manja selalu minta ditemenin pulang. Ketika itu gue khawatir, tapi, syukur Nazliah selamat sampai di rumah, walaupun sempat terjebak hujan dan macet. Gue terharu. Berlebihan, tapi, ini sungguhan. Tanggal 21 Juli-nya, kita buka bareng di The Place, Bogor. Pulangnya Nazliah minta dianter, oke, manjanya dia balik lagi, tapi, ga apa. Dia jadi lucu ketika manja. Pulang dari nganter Nazliah, selama jalan ke stasiun Depok Baru, mata gue berkaca-kaca, waktu itu gue ga cerita sama dia, tapi, gue sempat nge-sms bilang terima kasih, gue bahagia dari mulai tanggal 20-21 Juli 2014. Sempurna untuk sebuah perayaan ulang tahun. Bahagia adalah ketika kita tahu kita sedang berjuang untuk seseorang dan seseorang itu sedang dan selalu melakukan usaha dan memperjuangkan hal yang sama.

Balik lagi ke persoalan tanggal 28. Sedikit flashback, gue dan Nazliah dipertemukan ketika kami sedang melakukan kegiatan outbond. Pertama kali gue liat dia, berasa ada yang lain, dada gue seperti tertusuk. Buat orang yang belum pernah merasakan hal ini, akan terasa berlebihan, sampai elo merasakan sendiri apa yang gue rasakan. Ya, diantara keramaian, kebisingan teman-teman, diam-diam gue jatuh cinta sama Nazliah. Di tanggal 28 pula, dengan gerogi yang menggerogoti percaya dirinya gue, gue ditakdirkan untuk satu tim bareng Nazliah ketika itu, dalam satu permainan di outbond tersebut, kami satu tim mau tidak mau harus setengah berpeluk, itu pertama kalinya tangan gue bersentuhan sama pinggulnya Nazliah. Ini bukan soal pornografi, ini soal gue yang makin gerogi ketika itu, karena gue notabenenya sedang jatuh cinta sama Nazliah. Di sentuhan itu, terselip geroginya gue yang gak karuan. Campur aduk, senang dan gak tahu harus gimana dan cerita sama siapa, sampai akhirnya kita mentionan di Twitter sepanjang hari, DM-an, tukeran nomor, Whatsapp-an, kencan pertama, sampai akhirnya kita "Jadian". Dari gue yang selalu seneng dan selalu punya cara bikin lo ketawa juga bahagia.

Selamat tanggal 28, Nazliah.
I love you.

Saturday 19 July 2014

(PEN)COPET!

Sebelum ngetik artikel yang berjudul (PEN)COPET! ini, gue sampe harus googling dulu, apa arti copet yang sedikit lebih lengkap, walaupun gue yakin, kita semua udah tahu, apa itu copet. Jadi, gini, menurut Wikipedia, Copet adalah bentuk pencurian yang melibatkan mencuri uang atau barang berharga lainnya dari orang korban tanpa membuat mereka mengetahui bahwa barang mereka dicuri pada saat itu. Hal ini membutuhkan ketangkasan yang cukup besar dan bakat. Seorang pencuri yang bekerja dengan cara ini dikenal sebagai pencopet. Begitu lebih kurang pengertiannya.

Kemarin, 18 Juli 2014, bertepatan dengan hari ulang tahun bokap gue, tapi, di hari itu, bertepatan pula sama gue yang nyaris dicopet (ya, walaupun udah beberapa kali berhadapan sama situasi kaya gini, sih), gue pergi ke kampus buat ngambil ijazah, gue berangkat dan pergi naik kereta, seperti biasa. Ketika pulang, gue naik dari stasiun Depok Baru. Setelah sampai dan berdiri di peron (tempat orang menunggu kereta datang), langsung ada pengumuman bahwa kereta yang gue naiki akan segera datang, lalu gue berdiri di dekat garis kuning pembatas, tanda aman untuk berpijak para penumpang yang akan naik kereta. Seperti biasa, kereta penuh sesak di jam pulang kantor, entah yang turun, atau yang naik. Nah, di sini si pencopet beraksi. Di waktu gue mau masuk ke dalam kereta, ada 2 orang yang masuk dengan cara menghimpit gue, awalnya gue biasa aja, karena maklum, namanya juga di kereta, berdesakan itu biasa, tapi, lama-lama gue makin ngerasa aneh, karena sedikit demi sedikit resleting tas gue yang di depan (yang berkantong kecil) terbuka. Keajaiban, gue selalu membiasakan diri untuk menaruh tas di depan ketika di kereta, dan menjaga setiap resleting, dengan tujuan, kalau resleting terbuka, gue masih bisa merasakan dan tahu ada apa. Hal itu akhirya "bekerja", kemarin gue tahu, gue akan dicopet. Sebelumnya, gue main hape ketika berdiri di peron. Modus si pencopet klasik, menghimpit gue dan membuka resleting tas gue secara perlahan, sial bagi si pencopet, karena tangan gue sudah sigap di bagian resleting tas. Awalnya si pencopet masih berusaha membuka resleting tas gue, namun setelah gue tutup lagi si resleting tas dengan tangan gue, dia akhirnya melewati gue dan mengincar penumpang lain. Kenapa gue tahu? Karena gue mencoba mengobservasi modus dan cara mereka. Gue liat dengan mata kepala sendiri, dia beraksi lagi di depan gue, merogok kantong, entah dia dapat sesuatu atau ngga, yang jelas, gue seperti melihat dia mengoper suatu barang hasil dari merogok kantong orang lain ke komplotannya, sayang, gue ga yakin dia dapet atau ngga. Di satu sisi, mungkin gue jahat, membiarkan orang lain jadi korban, gue ga berani berteriak, karena gue merasa kurang bukti, gue butuh bukti untuk menegaskan bahwa mereka pencopet. Gue ga bisa asal teriak "copet", di waktu gue kurang atau ga punya bukti. Sial. Dalam kejadian ini, Alhamdulillah, gue selalu dilindungi Allah, dan seringkali diingatkan untuk mawas dan menjaga diri dari hal demikian.

Bukannya mau sotoy atau sok mau ngasih tips, tapi, karena udah beberapa kali berhadapan sama kejadian macem ini, gue mau ngasih tips berdasarkan apa yang pernah gue alami. Jadi, gini, tips bepergian dan aman dari pencopet versi gue:
1) Ke manapun kita pergi, selalu berdoa. Minta perlindungan sama Tuhan, lindungi kita dari orang (yang berniat) jahat di manapun, kapanpun,
2) Ga boleh pede walaupun tempat atau kendaraan umum yang lo pijak aman dan nyaman, se-aman dan senyaman apapun tempatnya, lo harus tetap mawas dan jaga diri, jaga barang yang lo bawa pastinya,
3) Sigap dengan barang yang lo bawa atau barang yang ada di sekitar lo, termasuk apa yang lo pakai,
4) Ga boleh mencla-mencle ketika berada di tempat umum atau kendaraan umum, fokus jadi pilihan yang lebih baik, liat keadaan sekitar,
5) Latih feeling lo terhadap getaran sekecil apapun ketika berada di tempat umum atau kendaraan umum, karena sesempurna apapun aksi si pencopet, pasti ada celah dan kemungkinan gagalnya, biasanya disebabkan karena aksi mereka kurang mulus, karena getaran itu tadi. Bisa jadi ketika buka resleting tas atau ketika merogok kantong.

Sekian aja info dari gue, gue harap bermanfaat, karena pencopet bisa ada di mana-mana. Pencopet mungkin pintar, tapi, mereka ga boleh lebih pintar dan ga boleh lebih cerdas dari kita (yang bukan pencopet).

Thursday 26 June 2014

Capture 4PA01-2009

Dear, kenangan, tolong sampaikan ke semua orang yang ada di foto ini, gue rindu mereka semua, dalam benak, ucap, ataupun segala tindakan yang pernah diusahakan untuk menghubungkan satu sama lain diantara sekian banyak orang yang hadir dalam kejadian sederhana di (beberapa) foto ini.

















Sekedar mengingatkan, tanpa maksud riya atau mengingat kebaikan, foto-foto ini diambil waktu kita diskusi soal buka bareng di panti asuhan.

Maaf kalau banyak foto yang blur atau banyak temen-temen yang ga ke-foto, ya. Hai, 4 PA 01-2009.

Thursday 19 June 2014

Jadi Sampah Karena Sampah

Ketika gue ngetik tulisan di blog ini, alasannya adalah: 1) lagi ga ada kerjaan dan bingung mau ngapain, 2) daripada bosen, ya ngetik aja di blog pribadi, 3) alasan 1 dan 2 dipadu padankan. Untuk pemilihan tentang apa yang dibahas ditulisan gue kali ini, muncul karena kegelisahan gue akan hal sepele yang seharusnya mudah dilakukan oleh banyak orang, bahkan seharusnya oleh semua orang, tapi, malah jadi sulit untuk dilakukan. Fenomena ini sering gue liat sehari-hari, dan tanpa harus sok tahu, gue yakin, kalian semua juga ngeliat fenomena ini, buang sampah sembarangan. Ajaibnya, buang sampah sembarangan ini bisa dilakukan siapapun, dari anak yang usianya di bawah 5 tahun, sampai orang tua atau kakek/nenek, pun, bisa. Tentu kalian paham, "ajaib" yang gue maksud di sini adalah sindirian. Untuk anak yang ber-usia di bawah 5 tahun, dia melakukan hal itu kemungkinan karena orang-orang yang ada di lingkungannya juga melakukan hal yang sama, entah keluarga atau orang lain, dan menganggap hal tersebut (buang sampah sembarangan) adalah hal yang teramat biasa dan bukan masalah (untuk kalangan mereka). Sampai akhirnya, hal tersebut jadi masalah di kemudian hari. Gue ga akan sebut apa permasalahannya, karena akan termasuk kategori retoris. Kalian bisa jawab sendiri.

Kebiasaan buang sampah sembarangan ini akan buruk ketika terbawa hingga usia remaja, dewasa, dan seterusnya. Kita semua tahu, masa remaja identik dengan istilah alay, bahkan orang dewasa pun masih ada yang dengan riangnya ada di posisi alay, walaupun sampai saat ini, gue belum tahu kriteria seseorang bisa dikatakan alay bisa dilihat dari hal apa aja. Emang kalian mau, udah dibilang alay, buang sampah sembarangan pula, kan, jadi jelek banget kalau "dikatain" sama temen, "ciee, udah alay, buang sampah sembarangan pula". Jangan-jangan nanti ada kategori, "alay yang buang sampah pada tempatnya" dan "alay yang buang sampah sembarangan". Paling ngga, sejauh ini gue termasuk dalam kategori yang pertama.

Entah apa yang dipikirkan sama orang yang dengan ekspresi ceria dan begitu gampangnya buang sampah sembarangan. Gue selalu mikir berulang kali kalau mau buang sampah sembarangan, ada rasa ga nyaman dan ga enak, (mirip ketika kita lagi mules dan kepengen pup "si ampas" udah di "ujung tanduk", tapi, kita masih belum nemu toilet di mana. Ga enak dan ga nyaman.) sampai akhirnya gue ga jadi buang sampah sembarangn dan lebih memilih untuk nemuin tempat sampah terdekat atau yang sudah tersedia. Kalau memang belum ada, biasanya gue pegang atau dimasukan ke kantong atau tas dulu.

Gue udah beberapa kali menegur, menyindir, atau memarahi orang yang buang sampah sembarangan, sekalipun orang itu adalah nyokap gue sendiri, bahkan pernah ketika ada orang yang buang sampah sembarangan di depan mata gue, gue buang sampah yang dia buang ke tempat sampah yang ada di dekat dia. Bayangin, deh, tempat sampah tersedia gitu, dia masih aja sembarangan buangnya. Kurang goblok apa coba? Semoga kata "goblok" tidak menjadi kasar buat para pembaca tulisan ini. Bagaimana pun, goblok beda dengan bodoh, dan goblok bisa dihilangkan atau dimusnahkan. Kalimat tersebut kutipan dari Pandji Pragiwaksono mengenai perbedaan antara "bodoh" dan "goblok", yang kalimat utuhnya, "Bodoh itu bisa hilang karena pendidikan, sedangkan goblok itu bisa dilakukan orang terdidik. Goblok itu ga ada urusan dengan pendidikan. Itu bodoh. Bodoh bisa hilang dengan pendidikan. Goblok itu (bisa) dilakukan siapapun". Siapapun, bisa jadi gue salah satu dari kata "siapapun" yang ada di quote-nya Pandji, tapi, gue berusaha untuk ga jadi bagian dari orang yang buang sampah sembarangan. Pernah ketika gue lagi jajan sama beberapa teman, dan ga tau mau buang sampah di mana (karena di sekitar situ ga ada tempat sampah), teman gue menyarankan, "tuh, buang di pinggir situ aja", alias sembarangan, dan menurut gue sarannya jauh dari kata brilian. Gue menolak dan memilih untuk memegang sampah (bekas jajanan) sampai nemuin tempat sampah, dan akhirnya nemu. Pengalaman menarik lainnya di waktu gue makan di Domino's Pizza. Gue makan di tempat, ketika itu gue bareng pasangan duduk dan makan di area luar, katakanlah smoking area, ketika itu lagi banyak orang yang makan di Domino's, dan mayoritas yang makan ya orang Indonesia, di antara mereka yang makan, setelah ngabisin pizzanya, ga ada satu pun yang ngebuang kotak pizza ke tempat sampah, yang ngebuang selalu pegawai Domino's-nya, lalu di meja sebelah ada dua orang wisatawan asing, katakanlah "bule", yang lagi cerita, gue dan pasangan sedikit nguping apa yang dibicarain mereka (hehe), sampai akhirnya kedua orang bule itu beres makan, mereka ngeliat kelakuan beberapa orang Indonesia yang setelah makan pizza, kotak pizzanya ga dibuang ke tempat seharusnya --tempat sampah--, setelah itu bule yang satu ngomong ke temennya sambil ngeliatin kotak pizza yang berserakan (dan ga dibuang ke tempatnya), "I don't do that". Gue ngeliat ekspresi ketika dia ngomong, terlihat senyum "nyinyir" dari wajah si bule. Oh, shit. Malu, bro, malu. Di "kandang" sendiri kita malah nunjukin tindakan yang ga perlu. Terlepas dari si bule memang suka buang sampah pada tempatnya atau memang sedang menghargai karena dia sedang "berkunjung", poin positif layak gue kasih ke wisatawan tersebut.

Jika buang sampah sembarangan sesekali itu adalah suatu kesalahan, gue punya quote yang cukup bagus untuk dicerna, "you can never make the same mistake twice, because the second time you make it, it's not a mistake, it's a choice." -unknown-

Jadi, demi kebersihan lingkungan di sekitar kita, apa kita mau membuat dan menjalani pilihan yang goblok?

Wednesday 18 June 2014

Aji Purnomo, 23 Tahun.

Setiap mahasiswa baru, ga akan tau nantinya siapa orang yang akan terus bareng dari awal masuk sampe selesai kuliah, entah lulus, atau wisuda. Pun dengan gue. Gue ga tau sama sekali nantinya siapa yang akan gue pilih sebagai orang yg gue percaya ketika gue cerita soal apapun, karena realitanya, kita akan memilih seseorang yang kita percaya untuk berbagi cerita.

Awalnya, selama kuliah, gue pikir gue ga akan punya temen bagi cerita sampe lulus, karena sebelumnya, yang gue denger, mahasiswa itu individualis. Ternyata itu cuma gosip. Gue makin ga percaya gosip itu ketika gue masuk ke kelas pertama kali di waktu kuliah. Semuanya normal, kaya waktu SMA. Masih berkelompok. Gue pikir yg berkelompok ini udah saling kenal sebelumnya, nyatanya belum, mereka juga belum saling kenal. Gue langsung duduk begitu gue tiba di kelas. Diem, karena ga tau siapa temen ngobrol yang seru dan "nyambung". Sampe akhirnya gue ketemu si Aji Purnomo. Jujur, sebenernya gue lupa kapan pertama kali gue ngobrol sama dia dan soal apa. Yang gue inget ketika itu, gue bertiga di kelas lagi ngobrolin bola sambil duduk sama Aji dan 1 orang temen, Charlie Alpian namanya (sampe akhirnya kita tau klub favorit masing-masing, Aji fans MU, Charlie fans Barca, dan gue Liverpool). Kita cuma sesekali ceng-cengan soal tim kesayangan kita, entah karena cari aman, saling menghargai, atau emang dirasa kurang penting aja gitu. Hehe. Kita selalu bertiga di tingkat 1.

Cerita mulai melebar, jadi, gue persempit lagi. Entah kapan gue ngerasa klob sama Aji, entah soal obrolan, sharing, dll. Terkesan homo, memang, dan ga sedikit yg bilang begitu, karena di kampus ke mana-mana kita emang selalu berdua. Dari ngobrol, makan, ngerjain tugas kelompok, dll. (Semoga dll-nya ini ga bikin ambigu). Itu cerita di tingkat 1. Ternyata ga berenti di situ, tingkat 2 kita masih satu kelas, otomatis sampe tingkat 4 pun kita akan sekelas, terhitung dari tingkat 2-4, selalu Aji dan gue yg jadi semacem koordinator kelas, atas kepercayaan temen sekelas. Makin jadi aja kesan homonya. Ada cerita lucu tapi aneh ketika Aji ga masuk kuliah, yang biasanya gue ke mana-mana berdua, di waktu itu gue kelimpungan sendiri ga ada temen. Haha. Masih inget sampe sekarang gimana bingungnya gue ketika itu.

Sekarang, kita udah sama-sama lulus. Komunikasi (ga boleh) terputus. Walaupun nyatanya sampe saat ini, kita mulai jarang sms atau whatsapp-an. Wajar, karena kita punya kesibukan saat ini, Aji sibuk bekerja, gue masih sibuk ngincer satu tanda tangan lagi untuk memenuhi revisi skripsi gue. Hehe (Harus terwujud di 27 Juni 2014 ini, karena dosennya sendiri yg menjanjikan hal itu ke gue).

Aji ini orang yg konsisten sama omongannya. Gue masih inget, dia pernah bilang (di tingkat 1), "gue ga akan pacaran dulu sampe gue lulus, terus kerja". Sekarang lo udah kerja, Ji, di samping ada nyokap yang membahagiakan lo, harus segera ada wanita yang selalu ngedukung lo. :D

Gue ga mau mendoakan yang terbaik buat lo, Ji, gue punya beberapa doa yang lebih spesifik:
1) lebih bisa ngejaga dan bahagia-in nyokap,
2) lebih berguna buat orang dan lingkungan sekitar,
3) lebih dilancarkan rezekinya,
4) selalu diberi kemudahan ditiap urusan dan permasalahan, juga pekerjaan,
5) diberi kesehatan untuk segala kegiatan,
6) ketemu sama pasangan hidup yang menyenangkan
7) selalu diberi perlindungan sama Allah,
8) mimpi, rencana, juga goal bikin cafe terlaksana (untuk target, buat target sendiri, ya, Ji. Hehe)

Selamat ulang tanggal lahir, Ji.

Saturday 12 April 2014

Akhirnya, Menyusul.

Kalimat yang sering diucapkan seseorang atau mungkin banyak orang ketika berhasil melewati sesuatu menurut gue adalah, "akhirnya, ga berasa, ya. Ternyata cepet juga waktu berlalu.", itu ga berlaku buat gue dalam melewati masa kuliah sampai akhirnya gue sidang skripsi. 4,5 tahun itu ga sebentar menurut gue, ditambah lagi, masa kuliah itu berasa banget, bukannya ga berasa. Gue masih inget ketika ospek harus bangun jam 4 subuh dan berangkat dianter sama Bokap juga Nyokap, ketika itu beres ospek sekitar jam 4, di samping itu, gue masih inget gimana Bejong joget-joget gak jelas ketika ospek, sampai akhirnya kelompok kita menang jadi kelompok terheboh, dan dia dikenal sebagai Mahasiswa Baru yang "enerjik", apapun itu, dan gue nyampe rumah sekitar jam 9 malam, karena kereta yang selalu penuh, disamping itu, gue belum terbiasa naik kereta. Gue inget ketika hari pertama kuliah, hari Jumat dan masuk jam 13.30, mata kuliah pertama Kewarganegaraan, mata kuliah kedua Filsafat Umum, pulang jam 17.30. Ga ada satu orang pun yang gue kenal ketika masuk kelas, dan mau ga mau gue harus memberanikan diri untuk berkenalan.

Masuk semester 3, pembagian kelas, di mana kita digabung dengan teman kelas yang baru, dan bertahan sampai semester 8 nanti. Banyak teman yang menyenangkan di sini, ada teman dari kelas sebelumnya juga. Awal masuk kelas, cukup lumrah menurut gue, ketika kita masih dan hanya berteman juga bergabung dengan teman satu permainan yang sama dengan temen sekelas sebelumnya, asal ga keterusan. Ternyata benar, kita semua akhirnya melebur, cuma butuh waktu dan penyesuaian.

Semester 5 gue inget banget waktu kerja kelompok Psikodiagnostik Wawancara dan Observasi, kala itu gue sekelompok sama Aji, Bejong, Danu, Imron, Walid, dan lebih banyak nginep di rumah Bejong juga main PS-nya dibanding kerja kelompoknya. Ada moment bodoh yang selalu gue inget, waktu Imron ngerjain verbatim (mendengarkan hasil wawancara dan mengetik ulang percakapan wawancara), dan dia malah ketiduran di depan laptop sambil dengerin hasil wawancara. Orang macam apa dia. Biasanya orang ketiduran karena musik slow, melow, dia denger percakapan orang aja ketiduran. Semester 6, akhirnya cita-cita gue dari semester 2 kesampaian, jadi Asisten Lab. Gue masih inget waktu gue nunggu interview, dipanggil urutan kedua dari akhir. Gue jadi Asisten Lab sampai semester 9, karena gue ngerasa ketika itu adalah waktu yang tepat buat resign dan memulai kehidupan baru. Ya, walaupun sejujurnya gue masih ingin jadi As-Lab, karena menyenangkan bisa terus berbincang dengan mahasiswa juga dosen yang menyenangkan. Kenangan.

Semester 7-8, gue akui, motivasi gue mulai menurun dalam perkuliahan. Syukurnya, IPK gue tetap terus naik. Motivasi akhirnya bertambah ketika gue 'menemukan seseorang'. Pertengahan semester 8, akhirnya gue mulai ngerjain skripsi. Sempat ada kendala yang ga bisa gue ceritakan di sini, kendala yang menurut gue semua mahasiswa pun ga akan mau berhadapan, tapi, tetap harus dihadapi. Kendala yang gue hadapi akhirnya bisa terlewati, dan diawal tahun 2014, gue memulai perjuangan baru, dan menyelesaikan target yang udah terucap sebelumnya (dan dengan sotoynya) di depan Danu, gue bisa menyelesaikan skripsi dalam waktu tiga bulan, dan akhirnya benar tercapai. Akhirnya gue sidang skripsi tanggal 29 Maret 2014. Artinya, gue berhasil menyusul sahabat-sahabat gue yang lain, termasuk pacar, untuk segera wisuda. Akhirnya, gue berhasil menyusul.

Tanggal 8 April 2014, ada banyak sahabat gue yang mengikuti wisuda, termasuk pacar pastinya. Ga ada kesedihan ketika itu, yang ada cuma canda tawa, karena wisuda terasa seperti pesta setelah sidang skripsi, ya, memang begitu adanya dan rasanya.

Gue berhasil menyusul. Buat teman, sahabat, juga yang baca tulisan ini (khususnya mahasiswa tingkat akhir), segera menyusul, ya.

Temen satu kelas yang sidang skrispi bareng gue, ada Fani (kiri) dan Resya/Echa (kanan).

Sahabat yang dukung gue ketika sidang skripsi, Bejong (kiri), Imron (polo bergaris, gendud), Aji (paling kanan).

Kalau ini, sih, jelas. Ada lovenya gitu. Iya, betul, ini pembantu gue (Ampun, Naz. Peace, love, and gaul). Aku sayang kalian.

Dan Akhirnya, memasuki foto ketika acara wisuda 8 April 2014.
Aji dan Mamanya.

Seto dan para Hidung Besar.

Beberapa temen satu kelas yang wisuda.

Abangnya Naz yang ganteng (kiri), kembarannya abangnya Naz yang sama gantengnya walaupun beda Ibu-Bapak, Pacarnya kembarannya abangnya Naz yang ganteng, temennya kembarannya abangnya Naz yang ganteng.

Seto Wicaksono dan Nazliah Gusmuharti.

Apapun perasaan kalian, gue cuma pengen kalian inget, dan memahami, bagaimana arti sebuah rasa, khususnya rasa di waktu nahan berak ketika ngetik tulisan ini.

Saturday 8 February 2014

Prakata Sebelum Sidang Skripsi

Gue ngetik dan buat posting ini di jam 08.04, di ruang mushola di kampus Kenari. Hari ini, Sabtu, tanggal 8 Februari 2014. Dengan suatu alasan, di hari sebelumnya (Jumat, 7 Februari 2014), gue nginep di kosan Usber, salah satu sahabat ketika kuliah, yang kelakuannya biadab, dia juga pernah ngekost bareng gue ketika kuliah. Alasan gue numpang nginep sederhana, cuma pengen nemenin seseorang yang akan sidang skripsi keesokan harinya, hari ini. Gue pernah bilang sama seseorang tersebut sebelumnya, dan dari jauh-jauh hari, "kalau kamu bisa sidang di tanggal 8 Februari, keren, ya.. Bisa jadi kado buat aku yang suka sama angka 8". Kejadian. Jadi nyata.

Tanggal 8 Februari 2014, gue bangun jam 4.06, lagi-lagi karena suatu alasan. Gue bukan tipe orang yang rajin bangun pagi, tapi, kali ini harus. Sebelum tidur, gue udah nyalain alarm beruntun, gimana ngga? Gue pasang alarm 3 set, yang pertama 3.50, kedua 3.55, ketiga 4.00. 3 set alarm itu ternyata gue matiin tanpa sadar, keajaiban, gue kebangun jam 4.06. Malemnya gue sempet kebangun sekitar jam 12 dan jam 2 dini hari, itupun karena alasan, gue sedikit gak tenang karena alasan yang positif, menurut gue. Balik lagi ke aktivitas di waktu 4.06. Gue kebangun, panik, dan langsung ke kamar mandi, berak-mandi-gosok gigi. Keluar kamar mandi sekitar 4.25, gue langsung bersiap, bergegas, dan bangunin Usber yang masih tidur. Sekitar 4.45 gue keluar kosan, begitu sampe di teras, pagar masih digembok, ibu kosan masih tidur, mau bangunin, khawatir mengganggu, akhirnya, gue putuskan untuk lompatin pagar. Sekitar 4.57 gue sampe di suatu tempat, di mana gue nunggu seseorang yang akan gue temenin ketika sidang skripsi.

Kita ketemu sekitar 5.09. Dia yang akan sidang keliatan biasa aja, biasanya orang yang akan sidang terlihat gugup, takut, cemas. Ngga dengan dia. Paling ngga, dia bisa press perasaan itu. Kita ke Kenari (Cikini) naik kereta. Selama di perjalan, gue genggam tangannya, berharap makna dari gesture/yang gue lakukan, tersampaikan, "tenang, semua baik-baik aja, kok. Kamu bisa.".

Jam 7.20, akhirnya peserta sidang briefing (sebelum sidang). Di mushola, gue duduk sendiri, denger mp3, sempat twitteran, sambil minum kopi dalam kemasan. Ga masalah, karena dalam beberapa jam ke-depan, gue akan denger kabar baik, dan terharu. Alasannya, karena Nazliah Gusmuharti akan mengikuti wisuda tahun ini, punya gelar sarjana. Lulus. Gue akan menyusul berikutnya. Salah satu alasannya, karena orang yang sama.

Nazliah Gusmuharti, (salah satu) alasan kenapa gue harus segera lulus dengan baik, kenapa hari ini gue nunggu di sini, dan posting moment ini. Gue ingin moment ini terekam dengan baik.

Saturday 25 January 2014

Untuk Sahabat

Sabtu, 25 Januari 2014. Sekitar jam 4.30, mungkin beberapa temen kampus gue udah bangun, ketika gue masih tertidur. Mereka bersiap, sambil berucap penuh harap dan doa. Mungkin sambil deg-degan juga. Mereka berencana akan meninggalkan kampus lebih dulu, mau 'cuekin' kampus, setelah 4 tahun barter uang dengan ilmu. Selain meninggalkan kampus, entah ini hal buruk atau baik, mereka juga akan meninggalkan sahabat seperjuangan mereka setelah selama kurang lebih 4 tahun berkomplot. Ini bukan suatu tindakan jahat, karena kelak, mahasiswa manapun akan melakukan hal yang sama. Termasuk gue.

Kelak, gue pun akan melakukan hal yang sama, meninggalkan kampus, sahabat, juga segala kenangan yang pernah dijalani selama perkuliahan, cepat, tepat, atau malah sedikit terlambat. 4 taun bareng atau saling kenal itu bukan hal sepele. Di tanggal/hari ini, gue ga merasa iri sedikit pun, yang ada malah haru, liat sahabat meninggalkan sahabatnya lebih dulu. Tunggu, karena gue pun akan melakukan hal itu, kita akan bertemu di suatu waktu tertentu, untuk bercerita tentang masa lalu, juga, untuk maju.

Selamat, sahabat.

Sunday 19 January 2014

(Belajar) Berpikir Positif

"We make our own luck, we shape our own destiny".
"When it's hard, don't give up, keep fighting".
"Miracles are possible, change tears to courage".

3 quote itu gue dapet dari pemain sepak bola favorit gue, Steven George Gerrard. Ngga, kali ini gue ga akan bercerita tentang dia, paling ngga, gue harap quote itu bisa menginspirasi juga memotivasi kita, khususnya temen-temen kuliah gue yang lagi berhadapan sama suatu tugas akhir. Skripsi. Bukan hal yang menyeramkan, menurut gue, harusnya skripsi jadi bagian yang menyenangkan di agenda akhir perkuliahan. Harusnya. Semoga harapan gue ini akan jadi doa buat semua mahasiswa (bahwa skripsi itu menyenangkan). Bahkan temen gue pernah bilang, "skripsi ga usah diseriusin, entar dia minta kawin". Minta kawin gigi lu. Gue ga akan bercerita permasalahan ketika kita berhadapan dengan skrispi, itu intermezzo aja, biar tulisan gue di blog panjang. Kesel, ga?

Di suatu khutbah jumat, dan kebetulan waktu itu gue lagi dengerin ceramah sang khotib, beliau bilang, "apa yang kita jalani sekarang, apa yg kita impikan, inginkan, berawal dari hati (yakin), dari pemikiran kita, dan dari ucapan". Ah, minta kawin gigi lu. Eh, ini bukan soal kawin, deng. Setelah gue telusuri, ternyata emang benar. Begitu runtutannya. Percaya atau ngga. Gue lebih milih percaya, karena gue beberapa kali mengalami hal ini di hidup gue. Beberapa kali.

Minggu, 19 Januari 2014. Danu, salah satu sahabat di perkuliahan nanyain kabar soal Dosen Pembimbing, dan konsul via whatsapp. Kita sedikit ngobrol, dan akhirnya sampai pada suatu pertanyaan, "udah berak belum, bro?". Ga, deng, itu candaan doang. Setelah ngobrol panjang, Danu ngingetin gue soal berpikir positif dan yakin, betapa hebatnya 2 hal itu. Gue sempet bengong dan mikir, selama ini udah banyak banget hal yang jadi nyata di kehidupan gue, yang berawal dari sekedar ucapan, candaan, yakin, bahkan walaupun cuma sekedar kepikiran. Ya, kepikiran, bukan dipikirin. Hal ini jelas sama ceramah khotib yang ga sengaja gue denger ketika gue ga sengaja solat jumat.

Dari tulisan ini, gue mau coba nginget, apa aja keinginan gue yang jadi nyata, yang asalnya dari ucapan, meyakini dalam hati, juga kepikiran. Ini:
1. Waktu kecil, gue tinggal di suatu perkampungan, lalu dalem hati gue bilang (maaf sebelumnya, tanpa maksud mengecilkan orang-orang (dan/atau) temen-temen yang tinggal di suatu perkampungan), pengen tinggal di perumahan, deh, di komplek. Gue bilang dalem hati ketika gue kelas 2 SD, kelas 4 SD akhirnya gue pindah rumah ke kawasan perumahan.

2. Ketika SMP, gue sekolah di salah satu sekolah swasta di Bogor, dari kelas 1 SMP, baru aja gue masuk SMP, gue langsung bilang dan meyakini dalam hati, "ketika SMA, gue harus masuk SMA 6 Bogor". Percaya atau ngga, akhirnya gue masuk SMA 6 Bogor.

3. Ketika SMA, baru kelas 1 SMA, dan baru aja belajar di SMA, gue punya pemikiran lagi, dan bilang ke temen-temen, "gue mau kuliah di jurusan Psikologi aja, ah". Hal itu terulang, jadi nyata, akhirnya gue masuk jurusan Psikologi, walaupun gue udah diterima di jurusan Manajemen Agribisnis, Diploma IPB, Bogor.

4. Ga bohong, sebagai pria yang cukup tampan, gue ga mau menyia-nyiakan ketampanan gue, gue pengen punya pacar, wanita cantik yang gue sayang. Untuk pacar (pasangan hidup), dari dulu gue selalu ingin nemuin yang lebih tua, bisa manjain gue, bisa diajak kompromi, kalau ngobrol nyambung, asik diajak bercanda juga ngobrol. Selama SMA gue pengen wanita seperti itu (walaupun pada nyatanya, mantan gue sebelumnya, kalau ga seumuran, ya usianya 1 tahun dibawah gue), sampai lulus SMA, gue belum nemu, sampe kuliah semester 7 juga belum nemu, AKHIRNYA, ketika semester 8 gue bertemu dengan wanita yang sesuai dengan apa yang gue mau, yang gue sebut sebelumnya. Nazliah Gusmuharti. Dia cantik. Mungkin ini yg dimaksud Law of Attraction. Orang yang bersih akan mencintai kebersihan. Nazliah cantik, makanya dia pilih gue, pria tampan, sebagai pendampingnya.

5. Di kampus gue, ada praktikum. Setiap praktikum dilakukan di lab, oleh karena itu, ada mahasiswa yang bekerja sebagai AsLab (Asisten Lab), semacem Asisten Dosen. Ketika gue pertama kali ikut praktikum di Lab Psikologi, tepatnya semester 2, gue langsung punya keinginan untuk jadi aslab, gue pikirkan, gue ucap, gue yakini. Yak, semester 6 akhirnya gue diterima jadi aslab.

6. Ketika skripsi, gue sempat menemui hambatan. Lalu gue berucap, juga meyakini (Danu saksinya), "kalau gue bisa konsul 2 minggu sekali, atau 1 minggu sekali, skripsi gue bisa beres dalam waktu 3 bulan". Akhirnya, saat ini, gue diberi jalan untuk membuat hal itu jadi nyata.

7. Dari semester 1 perkuliahan, gue meyakini, ipk akhir gue harus 3,5. Gue diberi kesempatan untuk bikin hal itu jadi nyata, ipk gue sementara 3,4.. tinggal menyelesaikan skripsi, dan semoga gue dapet ipk 3,5. Aamiin.

8. Gue seneng ketika berbisnis. Wirausaha. Gue sempet mikir, gue pengen coba wirausaha, akhirnya jadi nyata, gue sama Nazliah punya wirausaha, kecil-kecilan, kita jualan waffle, pizza-mie, sama kentang saus tomat basil. Semoga jualan ini bisa berlanjut sampe seterusnya. Aamiin.

9. Di awal 2013 kemarin, gue berharap, ketika gue ber-ulang tahun, gue akan dapet kado spesial, yang bikin gue bahagia. Lalu, di bulan April 2013, Liverpool FC mengumumkan soal tournya, salah satu negara yang akan dikunjungi adalah Indonesia. Mereka akan bertanding lawan TimNas tanggal 20 Juli. Waw. Itu tanggal ulang tahun gue, dan Liverpool FC adalah klub favorit gue. Jelas gue bahagia ketika itu, dan gue pun dateng ke GBK untuk nonton pertandingan Indonesia vs Liverpool FC.

Makanya gue bilang ke temen-temen kuliah gue di 01-2009, supaya hubungan kita tetep terjaga, kita akan ketemu terus, bikin sesuatu yang bisa bikin kita kumpul terus. Bikin yayasan sendiri. Bukan mengada-ada, gue cuma ingin hal itu jadi nyata.

Itu yang sejauh ini gue inget, yang asalnya dari sekedar ucapan, yakin, sama kepikiran, akhirnya jadi nyata, dan ada jalan untuk dijadikan nyata. Ga perlu bingung, di sini unik dan serunya. Semoga tulisan dan beberapa cerita gue ini bisa jadi inspirasi buat kita semua, untuk terus berpikir positif dan yakin sama apa yang diinginkan, apa yang dimau. Menurut gue, Tuhan bukan cuma mengabulkan apa yang kita butuhkan, tapi, juga apa yang kita inginkan, selama kita yakin. Ga perlu takut punya keinginan apapun selama hal itu baik. Walaupun baru sekedar ucapan, guyonan, kepikiran, atau apapun itu. Itu semua (Insya Allah) akan jadi doa. Kelak akan terkabul.

NB: sejauh ini, gue sering ngatain Usber (temen kuliah gue yang bedebah) dengan sebutan "Berak", dan Bejong (samanya juga kaya Usber, temen kuliah yang bedebah kelakuannya) sering ngatain gue dengan sebutan "Sempak". Pertanyaannya, apakah Usber akan jadi berak, dan gue akan jadi sempak, karena sering dibilang begitu? :(

Catatan Seorang Perekrut #17 Recruiter yang Insecure dengan Perjalanan Karirnya

Jumat, 14 Juli 2017. Hari yang nggak akan pernah saya lupakan dalam perjalanan karir yang, usianya masih seumur jagung ini. Hari di mana akh...