Monday 29 April 2019

Catatan Seorang Perekrut - Selingkuh di Tempat Kerja. #14

Halo, saat ini catatan seorang perekrut masuk ke bagian 14. Dukung terus, ya, dan terima kasih untuk para silent reader yang selalu membaca tulisan di blog ini tiap senin. Subscribe, ya! -jelas, ini salah platform-

Ada orang yang bilang, setia itu sulit. Seseorang bilang, setia itu mahal, itu kenapa sulit dilakukan oleh orang yang "murahan". Kalau menurut gue, setia itu setiap tikungan ada. Ga jelas banget candaan gue, kayak candaan bapak-bapak generasi baby boomers.

Satoshi Kanazawa, Psikolog London School of Economics and Political Science pernah mengungkapan soal hasil penelitiannya bahwa, "semakin cerdas pria, semakin dia menghargai nilai-nilai manogami dan eksklusivitas seksual dibanding pria yang kurang cerdas." Jadi, menurut gue pribadi, di zaman yang modern ini, setia itu pilihan, bagi pria khususnya. Pilihan untuk menjadi sosok yang cerdas atau sebaliknya.

Nazliah pernah bilang ke gue, "kalau kamu selingkuh, yang rugi kamu, lah. Berarti kamu ga worth it buat aku.". Ini yang bikin gue cinta sama Nazliah. Punya sikap, betul-betul punya nilai yang tinggi akan dirinya sendiri. Dia merasa diri dia berharga, jadi kalau pun gue selingkuh, ya kenapa dia harus repot? Tinggalin aja. Kurang lebih begitu.

Tentu, gue lebih memilih setia, bukan karena biar dibilang cerdas atau punya IQ tinggi gue menikah dengan Nazliah karena memang dia sosok yang gue cari. Kalau gue cari lagi yang lain, berarti gue udah mengingkari pernyataan gue sendiri.

Cerita ini bukan soal tentang gue dan Nazliah. Ini soal perselingkuhan yang memang nyata terjadi di tempat kerja. Yang kebetulan punya selingkuhan di kantor, kalau tersinggung dipersilahkan.

Dengan segala alasannya, gue ga ngerti alasan kenapa orang yang sudah menikah bisa berselingkuh, khususnya di tempat kerja. Walaupun berdasarkan penelitian yang ada, perselingkuhan memang rentan terjadi di perkantoran (gue lupa penelitiannya siapa, kayaknya kalau cek di google akan mucul sugestinya, deh). Pemikiran sederhana gue adalah, dia ga mikirin pasangannya gitu? Para pria khususnya. Mereka ga mikirin perasaaan istrinya yang udah mau repot-repot ngurus anak di rumah gitu? Yang standby jaga anaknya 24 jam 7 hari dalam seminggu. Alasannya apa?

Entah ini bisa dipercaya atau engga, seorang teman yang sudah menikah dekat sama perempuan lain karena istrinya kurang cantik. LAH?! Kalau memang menurutnya demikian, kenapa dulu bisa sampai menikah dan punya anak? Apa pun alasannya, di gue ga masuk logika kenapa bisa dia dekat dengan perempuan lain. Kurang cantik? Kasih biaya ke salon lah biar bisa dandan dan tampil cantik. Ga ada duit? Jangan banyak tingkah makanya.

Bahkan gue pernah liat dengan mata kepala gue sendiri, lelaki yang gue ketahui udah menikah ini suap-suapan di jam istirahat dengan perempuan yg bukan istrinya. Bukannya sweet, malah geli liatnya. Memang, suap-suapan ini ga bisa dijadiin bukti yang kuat seseorang selingkuh, tapi kenapa ya harus suap-suapan di jam istirahat dan di depan orang-orang?

Mengerti, tempat kerja rentan banget terjadi peselingkuhan, apalagi intensitas ketemu satu sama lain lebih sering terjadi. Belum lagi kalau memang satu divisi/bagian. Paling engga lima hari dalam seminggu dengan waktu yang relatif lebih lama dibanding waktu dengan pasangan. Cuma ya memang ga mikir gitu, pasangan di rumah udah mengasuh anak, bahkan sebelumnya mengandung lebih kurangnya 9 bulan dengan segala keresahannya, belum lagi mual, sakit badan, dan lain sebagainya.

Terus, ditinggal selingkuh gitu aja? Apalagi dengan alasan kurang cantik atau ga cantik lagi. Sok ganteng, memang.

Gue beberapa kali wawancara kandidat yang masih muda, seumuran gue, ada yang udah diamanati momongan, ada yang belum, mereka udah jadi single karena pasangan meninggal. Sedih dengernya, kalau disandingkan dengan pemandangan lelaki yang selingkuh di tempat kerja. Kontras.

"Udah ga ada duit, selingkuh pula. Ga tau diri." -quote dari Nazliah buat para lelaki yang selingkuh padahal ga ada duit- Bukan berarti membenarkan selingkuh untuk orang yang berduit, ya.

Sekarang, coba flashback. Gimana awal mula kalian ketemu dengan pacar atau pasangan hidup. Dari mulai ngelirik, memerhatikan, minta nomor handphone, kenalan, ngobrol sampe malem, ketika dapet chatnya seneng kebangetan kayak jobseeker yang akhirnya dapet peluang bekerja, kencan, pacaran, dan akhirnya duduk bersama di pelaminan.

Udah senyum-senyum sendiri inget kenangan itu?

You're welcome. My pleasure, pal.

Monday 22 April 2019

Catatan Seorang Perekrut - Kepeleset Lidah. #13

Di bagian sebelumnya, gue sedikit bercerita tentang kandidat Reporting Analyst, Inuar Zahrawati. Perkenalannya bisa cek di link ini Ekspresi dan Respon Kandidat. Gue akan melanjutkan cerita tentang Inuar sekaligus kelanjutan ekspresi dan respon para kandidat, khususnya ketika kandidat ini slip tongue, kepeleset lidah, atau bahasa seharinya-harinya salah ngomong. Entah sadar atau engga.

Tanpa menyepelekan atau menganggap mudah pekerjaan sendiri, sampai dengan saat ini, masih ada beberapa posisi yang buat gue pribadi susah banget buat dapetin kandidatnya, khususnya dari kemampuan yang memang sesuai dengan kualifikasi. Bisa dikatakan memang ga semua orang punya kemampuan ini, hanya orang terpilih. Salah satunya posisi Reporting Analyst. Gimana engga, posisi ini harus punya daya analisa di atas rata-rata, ditambah skill dalam Ms. Office, Ms. Excel khususnya.

Dalam mencari kandidat, gue biasa cari melalui portal pencari kerja, job fair, atau mengandalkan informasi dari teman. Setelah gue cek, awalnya memang terlihat banyak yang memenuhi kualifikasi, khususnya dari kemampuan Ms. Excel, paling engga itu dulu yang gue lihat. Setelah gue undang wawancara, banyak dari kandidat mengaku "BISA" sewaktu ditanya kemampuan excel-nya. Ya, bilang bisa aja dulu, pas diminta coba kerjain beberapa soal excel, ga bisa sama sekali. Deadline makin dekat.

For your information, bagian rekrutmen juga jelas punya deadline atau target, ya. Kerja tanpa target? Rasanya engga ada. Hehe.

Kendalanya bukan cuma di excel, karena ada juga kandidat yang niatnya cuma coba-coba, diterima syukur, engga juga yaudah lah, seengganya udah nyoba. Ada juga yang gerogi saat wawancara, sampai mengalami slip tongue.

Gue mulai bertanya,

"Oh, Mba terbiasa menggunakan microsoft office. Biasanya apa aja yang digunakan?"

"Saya biasa menggunakan mikroskop eksel, Pak." -- ((MIKROSKOP))-- jawab dia.

Gue lanjut bertanya sambil nahan ketawa,

"Oh, rumusan apa aja yang biasa digunakan sewaktu pakai excel, Mba?"

"avenger, sum, min, max.." --(AVENGER)-- jawab dia tetap tidak sadar dengan slip tongue-nya, sedangkan gue langsung menunduk nahan tawa.

Mencoba profesional, gue tetap lanjut bertanya,

"selain itu, apa yang bisa ditawarkan untuk perusahaan mengenai kemampuan Mba?"

"Saya punya kemampuan kontraksi yang baik, Pak, karena saya biasa kontraksi dengan orang lain."
((KONTRAKSI)), guys! KONTRAKSI.

PECAH PARAH, PECAH! INI KALAU GUE IKUT DI BENTENG TAKESHI, UDAH DITERIAKIN SAMA YANG NONTON,

"AH, PAYAH, PAYAH! BEGITU SAJA TIDAK BISA!" Karena gue susah nahan tawa.

*******

Sampai akhirnya di portal pencari kerja, gue nemuin satu kandidat, punya pengalaman sesuai dengan posisi yang dibutuhkan. Sempat hopeless, karena dia masih aktif kerja, kurang lebih sudah dua tahun bekerja di tempat kerjanya. Sebagaimana diketahui, kalau masih aktif kerja, biasanya perlu notice satu bulan untuk pengajuan resign kalau memang cocok alias diterima.

Inuar Zahrawati, namanya. Akun instagramnya @inuarzahra (boleh dicek, khususnya untuk kalian para individu dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Gue udah minta izin sama Inuar buat share akun instagramnya juga di blog. Hehe).

Pertama kali ketemu, kesan pertama yang didapat itu anaknya sopan, murah senyum, walaupun sewaktu wawancara kurang antusias keliatannya, cuma ya udah keliatan dia ini pinter dari cara menjawab pertanyaan. Ditanya soal deskripsi kerja, memang cocok banget, sesuai kebutuhan. Akhirnya Inuar tes excel dan hasilnya memang bagus banget, sih, diantara kandidat yang lain.

Proses lanjutannya tentu ada psikotes dan wawancara dengan User, dalam hal ini calon managernya Inuar. Singkat cerita, selesai wawancara, gue coba komunikasi dengan User tentang prosesnya Inuar. Beliau menyampaikan,

"Mas Seto, please keep Inuar for us. She is smart, I like her."

Lalu gue jawab,

"but, is it ok if Inuar join next month? Cause she should notice one month."

"It's ok, Mas Seto. We will waiting for her."

Duh, mohon maaf kalau bahasa inggris gue di bawah rata-rata. Kurang lebih seperti itu. Bisanya begitu. Iya, User berbicara dengan bahasa inggris, karena memang itu bahasa sehari-harinya dan beliau bukan orang Indonesia.

Sampai di sini udah kebayang gimana spesialnya Inuar?

Lalu, karena kemampuan Inuar ini di atas rata-rata, jadilah dia training sebagai WFM (Work Force Management).

Sampai pada akhirnya, Inuar join.

Monday 15 April 2019

Catatan Seorang Perekrut - Ekspresi dan Respon Kandidat. #12

Sebagai rekruter, sudah sewajarnya selalu berkomunikasi secara langsung atau tidak langsung dengan para kandidat, pencari kerja. Banyak orang di sekitar gue -khususnya kandidat- yang bilang, komunikasi itu lebih enak secara langsung, karena bisa liat emosi orang yang berbicara, jadi tau mana yang lagi marah atau engga, bisa menyesuaikan. Ada betulnya. Bukan berarti bicara secara ga langsung (via telfon, chat, dan lain sebagainya) itu ga enak, tergantung kita mulai percakapannya gimana, nada suaranya gimana. Cukup banyak kandidat yang berpengalaman di Call Center yang gue wawancara, mereka menyampaikan, salah satu kebahagiaan mereka adalah ketika bisa meredam amarah pelanggan yang dari awal nelfon udah bernada tinggi.

Gue pun punya tugas yang sama, menyampaikan informasi ke kandidat, mulai dari mengundang untuk proses wawancara via telfon, via email, atau sms dan chat kalau memang diperlukan. Kesulitannya adalah ketika ga ada respon dari mereka, ya mau gimana, paling engga gue udah coba komunikasikan dengan menggunakan beberapa media.

Ekspresi dan respon mereka pun beragam dalam menanggapi info dari perusahaan, apa pun prosesnya, wawancara tahap awal, psikotes dan/atau wawancara lanjutan dengan User, sampai info perihal lolos semua tahapan atau tidaknya.

Ada kandidat yang sudah apply posisi untuk lowongan Call Center di salah satu akun portal pencari kerja, ketika gue telfon dan gue undang wawancara, responnya,

"maaf, Mas, saya ga minat dan ga tertarik sama posisinya." Kesel, loh, YANG APPLY KAN ELU, MAMAT! KALAU GA MINAT YA KENAPA APPLY.

Melanjutkan cerita ini, gue pun pernah nelfon kandidat yang apply dari salah satu job fair, pas ditelfon, masa kandidatnya bilang sambil ngegas,

"OH DAPET DATA SAYA DARI JOB FAIR, YA? SAYA GA PERCAYA LAGI SAMA ACARA JOB FAIR, PENIPU!"

Lah, Malih, kalau job fair penipuan, kegiatan ini udah dianggap ilegal dan akan diberentikan sama pemerintah. Lagian kan kandidat ini yang nulis data diri dan kumpulin CV, kalau memang ga percaya, ngapain lakuin itu? Datang ke job fair dan tulis data diri. Cuma biar dapet duit jajan ke orang tua, ya? Iya? Lagian perusahaan yang ikut job fair biasanya akan dipantau kredibilitasnya, ga sembarang kalau memang yang mengadakan job fair orang atau instansi yang berkompeten. Kalau lo bilang job fair penipuan, sama aja kayak lo bilang, "semua cowo sama aja." Menyama-ratakan adalah suatu kesalahan. Kenapa jadi serius gue. Wqwqwq.

Itu kenapa, pesan gue, dan dari pengalaman pribadi, apply posisi yang memang diminati atau yang kira-kira kita akan tetap jalani walaupun dirasa berat, sederhananya disanggupi. Coba posisi lain yang bikin penasaran boleh, tapi coba diliat atau dicari tau dulu, deskripsi kerjanya apa aja, tanggung jawabnya apa aja. Jadi, ga ada alasan ketika menjalani kerjaannya, "saya ga kuat, Mas." Udah tau ga akan kuat, malah dicobain. Bukan apa, sayang banget sama waktu dan karirnya. Prinsip gue, apply posisi yang memang sekiranya diminati atau sanggup jalaninnya. Jadi, minimal satu tahun ada di posisi itu, dapat paklaring/surat referensi kerja, biar ada bukti bahwa kita udah berpengalaman atau bekerja sebelumnya.

Soal ekspresi dan respon kandidat ketika diinfokan bahwa dia lolos semua tahapan pun berbeda-beda, ada yang flat, ada yang antusias, yang nangis terharu di depan gue pun ada,

"Makasi infonya ya, Mas."

Dengan nada yang datar dan percaya diri, setidaknya penilaian sok tau gue sih gitu, salah satu tipe yang kayak gini, itu si Inuar Zahrawati, kandidat yang pertama di posisikan buat Reporting Analyst, tapi karena kemampuan dan analisanya di atas rata-rata, dipindah jadi WFM (Work Force Management). -cerita soal Inuar akan berlanjut di bagian selanjutnya-

Ada juga kandidat yang ekspresif,

"Hah?! Serius, Mas?" Lalu dia nangis terharu di depan gue, ketika gue tanya kenapa nangis, dia terharu dan seneng, dia langsung ngabarin orang tuanya, dia diterima.

Ada kandidat yang engga fokus ketika wawancara. Sewaktu gue persilakan untuk perkenalan diri, DIA MALAH KELUAR RUANGAN. Gue kaget dan langsung nanya,

Gue: "Loh? Mba mau ke mana?"

Kandidat: "Saya diminta tunggu di luar, kan, Mas?"

Gue: "Perkenalkan diri, Mba, bukan keluar. Hehe."

Kandidat: "Oh, hehe. Maaf, Mas. Hehe"

Gue: "Hehe.."

Kandidat: "Heuu."

Ingin rasanya ku keluar dari ruangan wawancara dan cari alfamerit, terus emut kuping tukang parkir yang ketika kita datang ga ada, begitu kita selesai belanja, dia muncul sembari menagih uang parkir. 

--cerita ini bersambung di chapter berikutnya, ya--

Monday 8 April 2019

Catatan Seorang Perekrut - Adaptasi dan perpisahan. #11

Pada akhirnya, Citra memutuskan untuk tidak melanjutkan kontrak magangnya, mau bagaimana pun, itu pilihan. Berat mungkin, tapi harus menentukan. Dalam lamunan, gue teringat awal mula gue harus menentukan untuk masa depan sendiri, tepatnya sewaktu lulus SMA. Gue harus menentukan, memilih balikan sama mantan dengan segala kenangan yg sudah dijalani atau cari pacar baru dengan segala benefitnya kuliah di salah satu kampus yang memiliki basic pertanian di Bogor atau memilih psikologi yang memang sudah gue minati dari awal. Di kampus pertanian tersebut, gue sudah jelas diterima, orang tua gue meminta masuk dan memilih jurusan manajemen agribisnis di kampus itu, setelah gue sadari, kampus tersebut memang memiliki kebanggaan tersendiri untuk sebagian orang, tapi kebanggan gue justru terletak di psikologi, sampai akhirnya gue lebih memilih kuliah di Universitas Swasta (karena ga diterima di beberapa kampus negeri dengan jurusan psikologi, haha) yang penting jurusannya psikologi. Logika terbalik.

Balik lagi ke topik awal, Citra akhirnya pamitan. Citra menangis, gue menenangkan. Walaupun baru saling kenal tiga bulan, kami terbilang cukup akrab. Kepergian Eva dan Citra menjadi kehilangan yang cukup berarti, karena gue kehilangan sekaligus dua anak magang yang pintar. Ya, Eva lebih banyak somplaknya, sih, dibanding nunjukin kepintarannya. Gue ga betul-betul kehilangan Eva, karena dia masih berhubungan dengan tim rekrutmen di kantor. Bersamaan dengan itu, muncul kembali empat anak magang yang gue ceritakan di bagian sebelumnya, bisa dibaca pada tautan ini Rupa Kandidat kontrak mereka lima bulan. Gue ingatkan kembali sedikit, Jejen, Fajar, Siti, dan Ria. Awalnya gue liat mereka berempat ini laiknya remaja yang belum siap bekerja, candaan mereka ya anak sekolahan banget. Ada yang gampang marah, ada yang bisanya cuma cengin doang, ada yang tugasnya kompor (sengaja memanas-manasi situasi). Gue curiga mereka ini grup lawak.

Mereka berempat ini awalnya susah banget diajarin, ngeyel, grogi, dan penakut semua. Pada akhirnya gue paksa mereka untuk belajar merapikan CV, input data, menelfon kandidat, wawancara (bareng gue), dan psikotes sampai akhirnya mereka berani. Beberapa bulan akhirnya terlewati, posisi Eva dan Citra sudah digantikan dengan keributan mereka berempat.

Kejadian lucu selalu didapat entah kenapa. Dari Siti, tipikal yang amat sangat gerogian, ketika berhadapan dengan orang baru, omongan dia ga beraturan, penyampaian kacau. Sakingnya geroginya Siti ketika nelfon kandidat dan mendadak jadi gagap, dia pernah dapat respon, "Mba, yang bener dong kalau nelfon! Ini penipuan, ya?!" Setelah itu dia langsung tutup telfonnya dan ga mau nelfon lagi. Pernah ketika Siti membawakan administrasi psikotes berupa perhitungan dengan instruksi "pindah", karena Siti mengucap terlalu keras ada kandidat yang sampai kaget dan latah, "eh, ayam ayam" sembari mengangkat kedua tangannya, dan kandidat itu cowo. Terima kasih sudah membuat saya menahan tawa selama psikotes. Kelebihan Siti adalah dia cukup sigap ketika diminta bantuan.

Selama bareng Fajar, jelas sekali dia ini anak yang keras kepala. Seringkali Fajar membantah apa yang gue sampaikan, dengan nada suaranya yang tinggi -cempreng tepatnya- membuat dia seakan Chipmunk yang menyamar. Mau gimana pun, Fajar ini jadi penyelamat gue ketika ada kerjaan yang belum selesai di kantor, dia selalu nunggu karena gue selalu numpang motornya Fajar sewaktu pulang kerja ke arah stasiun Tanjung Barat. Thank you, Fajar! Kelebihan Fajar itu dia termasuk anak yang cepat belajar dan ada pada design grafis. Sama seperti gue, dia hobi merakit gunpla (gundam plastic).

Jejen yang terbilang cukup gemuk ini awalnya diem-diem aja, entah memang pemalu atau memang dia bingung gimana caranya pinjem uang ke teman yang baru dia kenal. Keliatannya dia berpikir keras soal itu. Makannya banyak banget anak ini. Orang tuanya memiliki pabrik penghasil kerupuk terbesar di kawasan Bekasi. Meski begitu, Jejen anak yang sederhana. Kekurangan terbesarnya dia hanya kentutnya yang amat sangat bau dan menggetarkan jiwa. Gue mengakui diri ini aneh karena suka menghirup kentut beberapa orang (eh, kalian harus tau, menghirup aroma kentut itu menurut penelitian justru sehat dan mengurangi resiko penyakit jantung dan mencegah kanker, loh! Ya kalau gue salah, mohon maaf), terkecuali kentutnya Jejen. Kelebihan Jejen, dia cepat belajar dan dia yang paling berani untuk belajar banyak hal sekaligus ketika magang.

Untuk Ria mohon maaf ini, gue ga deket sama anak ini, dia kebanyakan pacaran. Jadi, ga bisa banyak cerita. Hehe. 

Mereka berempat, dengan segala keunikannya akhirnya bisa beradaptasi, belajar. Sampai akhirnya, kami dipisahkan oleh kontrak. Ya, dengan kontrak mereka yang hanya lima bulan, kebersamaan kami cepat berlalu. Sesak juga rasanya ketika sudah mulai akrab justru kami harus berpisah. Dalam ucapan perpisahan Siti menangis, Fajar terlihat seperti menahan ludah menahan kesedihannya, Jejen keliatan ga ada beban. Entah kenapa juga dia santai banget. Ya, tapi mau gimana lagi, kantor itu tempat mencari sekaligus mendapatkan pengalaman, bukan tempat yang tepat untuk menimbun banyak kenangan. Paling tidak, gue sudah memberi bekal soal bagaimana baiknya berkomunikasi, cerita soal pengalaman di kantor, bekerja, dan lain sebagainya. Bukan cuma sekadar bantuin fotokopi berkas, ya. Entah kenapa gue kurang suka kalau ada anak magang yang cuma diminta tolong buat fotokopi tanpa diberi pembekalan yang lain, sih.

Beberapa dari mereka sebenarnya ditawarkan untuk kembali ikut program magang, tapi diantaranya menolak karena mereka ingin bekerja, bukan hanya sekadar magang. Jejen yang menyanggupi untuk kembali mengabdi dengan status magang. Cerita soal Jejen pun masih berlanjut.

Pada akhir cerita di tulisan ini, gue hanya ingin menyampaikan unek-unek, ada kandidat yang dijadwalkan untuk tanda - tangan kontrak, kalian semua tahu dia jawab apa ketika gue konfirmasi;

Gue: "Mba, dari semua proses, Mba dinyatakan lolos dan akan kami jadwalkan untuk tanda - tangan kotrak besok, ya. Ada yang mau ditanyakan?"

Kandidat: "Mas, boleh minta reschedule, ga? Soalnya besok saya ada jadwal nonton bareng temen."

Monday 1 April 2019

Catatan Seorang Perekrut - Rupa Kandidat. #10

Semakin lama, gue makin terbiasa dengan deskripsi pekerjaan sebagai perekrut, tanpa maksud menyepelekan pastinya karena gue masih harus dan terus belajar. Selain itu, akhirnya gue bisa membaur dengan yang lain di ruangan. Dua senior gue yang belum disebutkan namanya, diantaranya adalah Mas Taqim lalu Irma (kadang dipanggil Ocha), dengan adanya Eva dan Citra di ruangan, kebayang dong betahnya gue? Hehe. Engga, maksudnya jadi rame aja gitu. Ga lama setelah gue masuk, kabarnya akan ada beberapa anak magang tambahan yang memang masuk dalam salah satu program pemerintah. Gue sempet mikir dan bingung juga, ada Citra dan Eva aja cukup banget, ini lagi ada tambahan anak magang, harusnya lebih dari cukup, dong? Atau bisa jadi gue sebagai staff kerjanya akan males-malesan karena banyak yang bantu. Ga bisa dihindari soal ini. Hehe

Akhirnya anak magang yang gue maksud mulai efektif berada di ruangan. Program ini mengirimkan total 10 anak magang dan rencananya akan dibagi ke beberapa divisi, IT dan Learning & Development salah duanya, di HR Rekrutmen sendiri kedapatan empat kuota, nama mereka antara lain, Jejen, Fajar, Siti, dan Ria. Mereka masih aktif kuliah dan ada pula yang baru lulus juga berasal dari kampus yang sama. Ga heran kalau mereka bisa gampang akrab satu sama lain meski beda angkatan. Cerita soal mereka akan diselipkan di beberapa bagian setelah ini, mereka berempat ini lucu dengan segala keragaman karakteristiknya. Ya, laiknya seseorang yang sedang dalam periode dewasa awal, mereka labil dan ada aja tingkah lakunya.

Dalam keseharian proses yang gue lakukan, gue selalu dibantu Citra dan Eva. Biasanya Eva bantu dalam pelaksanaan psikotes, sedangkan Citra bantu gue ketika proses wawancara berlangsung. Ya, ketika kandidat yang walk in interview menumpuk, gue sering mengajak Citra untuk wawancara bareng gue. Selama proses wawancara -dari awal datang, wawancara, sampai akhir- ada beberapa kandidat yang memang unik. "Nyeleneh", tepatnya. Koreksi gue kalau salah, dari gue lulus kuliah dan dapet panggilan wawancara kerja pertama gue selalu mengenakan pakaian rapi formal ketika interview (sampai sekarang bahkan), nah ini ada kandidat yang mau wawancara datang gitu aja pake legging, kaos, lalu sendal main, bro. Asli, ini nyata. Kaget gue. Lain dari itu ya berpakaian rapi dan sopan. Ketika wawancara, ada kandidat yang memang cuma jawab "iya", "aku siap, Pak" dan manggut aja, mereka apa ga sadar ya komunikasi itu salah satu hal yang mau diperhatikan. Kalau cuma jawab "aku siap", yha SpongeBob juga bisa, tiap hari dia bilang kayak gitu selama main di Bikini Bottom.

Ada kandidat yang dengan rajin melampirkan banyak sertifikat (seminar,  kursus, dll.), kalau lagi iseng gue pasti nanya ke kandidat soal sertifikat ini satu per satu. "Mas/Mba, sertifikat ini dulu didapat dalam acara apa? Ilmu atau pengetahuan apa aja yang di dapat? Ada info soal potongan harga di alfamerit, ga?", tanya gue. Dari mereka cuma keluar jawaban template, "Hmm (ala Nissa Sabiyan), lupa, Pak. Soalnya udah lama ikut seminarnya. Hehe". Ya kalau lupa ngapain dicantumkan. Sebagai "pemanis CV", iya, gue paham. Kalau gue, biasanya ga melampitkan sertifikat yang memang gue lupa itu gue ikutin dalam rangka apa, relate ga sama posisi yang gue lamar. Ada juga kandidat yang mencantumkan banyak ijazah entah pendidikan terakhirnya sarjana atau diploma. Padahal, ketika kita sudah dapat gelar sarjana secara otomatis udah lulus SMA/SMK (atau sederajat), dong? Ngapain pula dilampirkan ijazah SMA, transkrip nilai ujian SMA, sertifikat les sewaktu SMA, dll..

Panggilan buat gue pun beragam. Gue inget betul, kali pertama selama proses wawancara dipanggil "kakak" sama kandidat, waktu itu bareng Citra. Kami nanya pertanyaan biasa, lalu tiba-tiba dijawab, "iya, Kak, saya siap dengan target". Sontak gue dan Citra langsung tatap-tatapan dan senyum nahan tawa. Setelah wawancara selesai, gue kaget lah dan bilang ke Citra, "ini serius gue dipanggil Kakak? Selama gue wawancara, gue selalu manggil interviewer pake sapaan Mas/Pak atau Mba/Ibu, deh", dumel gue. "Ga tau tuh, Kak, kocak", balas Citra. "Apa jangan-jangan dia adek-adekan gue waktu SMA ya, Cit. Terus kami dipertemukan lagi sekarang?" Sahut gue menimpali jawaban Citra.

Dipanggil Abang? Pernah juga! Makin bingung gue, kandidat ini kok banyak yang manggil interviewer dengan kata sapaan yang ga lazim, ya. Begini percakapan gue dengan kandidat tersebut:

😊 Gue | 😶 Kandidat

😊: "Mba, bisa diceritakan apa motivasimu melamar sebagai Call Center?"
😶 : "Ga tau, Bang. Saya ke sini karena info dari teman saya aja, Bang."
😊 : "Boleh disebutkan apa aja kemampuan yang Mba miliki?"
😶 : "Ga tau, Bang, saya belum tau kemampuan saya apa aja, tapi saya mau belajar, Bang. Jangan marahi saya, Bang."

Gue bingung karena gue ga berniat dan ga akan marahin juga, nada bicara gue pun biasa, sampai akhirnya gue mengajukan pertanyaan terakhir.

😊 : "Mba, kasih saya alasan kenapa saya harus menerima dirimu?"
😶 : "Yang menilai biar Abang aja, tapi saya mau belajar, Bang. Jangan marahin saya, karena saya takut dimarahin, Bang".

Makin bingung aja gue, udahlah dipanggil Abang, jawaban dia selalu diawali dengan kata "Ga tau", lalu dia bilang jangan marahin. Sumpah, dari awal gue wawancara biasa aja dan ga mau marahin juga. 

Sewaktu gue ikut wawancara sebagai pencari kerja, gue pasti panggil HRD itu dengan sapaan "Ibu/Mba" atau "Pak/Mas". Bahkan kadang gue suka minta persetujuan, "saya bisa panggil dengan sapaan Bapak atau Mas, ya, maaf?".

Gue bukan tipe pewawancara yang galak, lebih ke santai dan ngobrol biasa aja gitu. Sesekali ketawa kalau memang ada yang dianggap lucu atau nunjukin rasa penasaran, amaze ke kandidat yang punya cerita menarik. Suatu waktu, gue dan Citra dapet kesempatan wawancara kandidat yang punya pekerjaan sampingan sebagai stand up comedian/komika, Ferdiansyah namanya. Selama proses wawancara gue dan Citra ketawa mulu karena celetukannya dia. Ferdi diterima dan bisa bergabung di kantor. Sampai sekarang kami masih berteman dengan baik, walaupun menjelang satu tahun masa kerjanya, dia resign.

Wawancara kandidat yang luar biasa? Pasti pernah, lah. Sampai sekarang, ada satu kandidat perempuan melamar untuk posisi Call Center yang menurut gue luar biasa kemampuannya dalam berkomunikasi, cheerful juga orangnya. Dari pertama berkenalan dalam proses wawancara, gue yakin dia akan diterima oleh User. Setelah gue ajukan, betul aja, dia dapat penilaian yang sangat baik dan bisa segera join. Kandidat pertama di awal masa kerja gue mengajukan ke User dan akhirnya bisa "tembus". Gue seneng karena kali pertama mengajukan kandidat ketika ada kebutuhan pemenuhan (deadline), disaat itu juga gue dapat kandidat yang cocok.

Setelah beberapa bulan magang, akhirnya Eva dapat tawaran untuk mengisi HR Representative untuk satu  klien di kantor. Ga lama dari Eva dapat tanggung jawab baru, kontrak magang Citra pun akan segera berakhir, sudah ditawarkan kontrak baru hanya saja untuk magang, Citra bimbang karena posisi dia sudah lulus kuliah. Betah, tapi sebagai fresh graduate dia butuh pengalaman kerja agar benefit dari segi ilmu, kemampuan, dan pendapatan meningkat. Citra sampai sempat menangis curhat soal kebimbangannya dia. Gue cuma bisa menenangkan dan mengingatkan, pikirkan baik-baik dan minta atau dengar saran dari orang tua. Berat, tapi, Citra harus tetap menentukan pilihan.

It's hard to move on, but you do, you have to (,Citra). -Steven Gerrard.

Catatan Seorang Perekrut #17 Recruiter yang Insecure dengan Perjalanan Karirnya

Jumat, 14 Juli 2017. Hari yang nggak akan pernah saya lupakan dalam perjalanan karir yang, usianya masih seumur jagung ini. Hari di mana akh...