Thursday 19 June 2014

Jadi Sampah Karena Sampah

Ketika gue ngetik tulisan di blog ini, alasannya adalah: 1) lagi ga ada kerjaan dan bingung mau ngapain, 2) daripada bosen, ya ngetik aja di blog pribadi, 3) alasan 1 dan 2 dipadu padankan. Untuk pemilihan tentang apa yang dibahas ditulisan gue kali ini, muncul karena kegelisahan gue akan hal sepele yang seharusnya mudah dilakukan oleh banyak orang, bahkan seharusnya oleh semua orang, tapi, malah jadi sulit untuk dilakukan. Fenomena ini sering gue liat sehari-hari, dan tanpa harus sok tahu, gue yakin, kalian semua juga ngeliat fenomena ini, buang sampah sembarangan. Ajaibnya, buang sampah sembarangan ini bisa dilakukan siapapun, dari anak yang usianya di bawah 5 tahun, sampai orang tua atau kakek/nenek, pun, bisa. Tentu kalian paham, "ajaib" yang gue maksud di sini adalah sindirian. Untuk anak yang ber-usia di bawah 5 tahun, dia melakukan hal itu kemungkinan karena orang-orang yang ada di lingkungannya juga melakukan hal yang sama, entah keluarga atau orang lain, dan menganggap hal tersebut (buang sampah sembarangan) adalah hal yang teramat biasa dan bukan masalah (untuk kalangan mereka). Sampai akhirnya, hal tersebut jadi masalah di kemudian hari. Gue ga akan sebut apa permasalahannya, karena akan termasuk kategori retoris. Kalian bisa jawab sendiri.

Kebiasaan buang sampah sembarangan ini akan buruk ketika terbawa hingga usia remaja, dewasa, dan seterusnya. Kita semua tahu, masa remaja identik dengan istilah alay, bahkan orang dewasa pun masih ada yang dengan riangnya ada di posisi alay, walaupun sampai saat ini, gue belum tahu kriteria seseorang bisa dikatakan alay bisa dilihat dari hal apa aja. Emang kalian mau, udah dibilang alay, buang sampah sembarangan pula, kan, jadi jelek banget kalau "dikatain" sama temen, "ciee, udah alay, buang sampah sembarangan pula". Jangan-jangan nanti ada kategori, "alay yang buang sampah pada tempatnya" dan "alay yang buang sampah sembarangan". Paling ngga, sejauh ini gue termasuk dalam kategori yang pertama.

Entah apa yang dipikirkan sama orang yang dengan ekspresi ceria dan begitu gampangnya buang sampah sembarangan. Gue selalu mikir berulang kali kalau mau buang sampah sembarangan, ada rasa ga nyaman dan ga enak, (mirip ketika kita lagi mules dan kepengen pup "si ampas" udah di "ujung tanduk", tapi, kita masih belum nemu toilet di mana. Ga enak dan ga nyaman.) sampai akhirnya gue ga jadi buang sampah sembarangn dan lebih memilih untuk nemuin tempat sampah terdekat atau yang sudah tersedia. Kalau memang belum ada, biasanya gue pegang atau dimasukan ke kantong atau tas dulu.

Gue udah beberapa kali menegur, menyindir, atau memarahi orang yang buang sampah sembarangan, sekalipun orang itu adalah nyokap gue sendiri, bahkan pernah ketika ada orang yang buang sampah sembarangan di depan mata gue, gue buang sampah yang dia buang ke tempat sampah yang ada di dekat dia. Bayangin, deh, tempat sampah tersedia gitu, dia masih aja sembarangan buangnya. Kurang goblok apa coba? Semoga kata "goblok" tidak menjadi kasar buat para pembaca tulisan ini. Bagaimana pun, goblok beda dengan bodoh, dan goblok bisa dihilangkan atau dimusnahkan. Kalimat tersebut kutipan dari Pandji Pragiwaksono mengenai perbedaan antara "bodoh" dan "goblok", yang kalimat utuhnya, "Bodoh itu bisa hilang karena pendidikan, sedangkan goblok itu bisa dilakukan orang terdidik. Goblok itu ga ada urusan dengan pendidikan. Itu bodoh. Bodoh bisa hilang dengan pendidikan. Goblok itu (bisa) dilakukan siapapun". Siapapun, bisa jadi gue salah satu dari kata "siapapun" yang ada di quote-nya Pandji, tapi, gue berusaha untuk ga jadi bagian dari orang yang buang sampah sembarangan. Pernah ketika gue lagi jajan sama beberapa teman, dan ga tau mau buang sampah di mana (karena di sekitar situ ga ada tempat sampah), teman gue menyarankan, "tuh, buang di pinggir situ aja", alias sembarangan, dan menurut gue sarannya jauh dari kata brilian. Gue menolak dan memilih untuk memegang sampah (bekas jajanan) sampai nemuin tempat sampah, dan akhirnya nemu. Pengalaman menarik lainnya di waktu gue makan di Domino's Pizza. Gue makan di tempat, ketika itu gue bareng pasangan duduk dan makan di area luar, katakanlah smoking area, ketika itu lagi banyak orang yang makan di Domino's, dan mayoritas yang makan ya orang Indonesia, di antara mereka yang makan, setelah ngabisin pizzanya, ga ada satu pun yang ngebuang kotak pizza ke tempat sampah, yang ngebuang selalu pegawai Domino's-nya, lalu di meja sebelah ada dua orang wisatawan asing, katakanlah "bule", yang lagi cerita, gue dan pasangan sedikit nguping apa yang dibicarain mereka (hehe), sampai akhirnya kedua orang bule itu beres makan, mereka ngeliat kelakuan beberapa orang Indonesia yang setelah makan pizza, kotak pizzanya ga dibuang ke tempat seharusnya --tempat sampah--, setelah itu bule yang satu ngomong ke temennya sambil ngeliatin kotak pizza yang berserakan (dan ga dibuang ke tempatnya), "I don't do that". Gue ngeliat ekspresi ketika dia ngomong, terlihat senyum "nyinyir" dari wajah si bule. Oh, shit. Malu, bro, malu. Di "kandang" sendiri kita malah nunjukin tindakan yang ga perlu. Terlepas dari si bule memang suka buang sampah pada tempatnya atau memang sedang menghargai karena dia sedang "berkunjung", poin positif layak gue kasih ke wisatawan tersebut.

Jika buang sampah sembarangan sesekali itu adalah suatu kesalahan, gue punya quote yang cukup bagus untuk dicerna, "you can never make the same mistake twice, because the second time you make it, it's not a mistake, it's a choice." -unknown-

Jadi, demi kebersihan lingkungan di sekitar kita, apa kita mau membuat dan menjalani pilihan yang goblok?

No comments:

Post a Comment

Catatan Seorang Perekrut #17 Recruiter yang Insecure dengan Perjalanan Karirnya

Jumat, 14 Juli 2017. Hari yang nggak akan pernah saya lupakan dalam perjalanan karir yang, usianya masih seumur jagung ini. Hari di mana akh...