Monday 18 March 2019

Catatan Seorang Perekrut - Debut Seorang Perekrut. #8

Pagi itu ketika gue berangkat kerja di hari kedua setelah tanda tangan kontrak, rasanya dingin banget. Gue berpakaian rapi, kemeja krem, celana cokelat, juga sweater biar hangat. Setelahnya gue sadari, kayaknya badan gue drop, belum terbiasa harus bangun subuh dan langsung beraktivitas, sepertinya. Pukul 05.30, tidak ramai laiknya hari kerja, perlu diingat, gue langsung diminta untuk lembur di hari Sabtu. Selama di kereta, gue mengingat lagi apa aja yang dikerjakan selama menganggur alias jobless. Bantu istri di rumah, cuci piring, nyapu, ngajak ngobrol Tobio yang ketika itu usianya kurang lebih empat bulan, pokoknya apa yang bisa dikerjakan, gue lakukan. Terharu setelahnya, malah ada rasa kangen ada di rumah bareng Nazliah dan Tobio -mungkin karena kebiasaan tersebut sudah terbentuk selama 14 hari-. Selain itu, gue pun masih ga menyangka akan bekerja di kantor baru, dengan ruang lingkup pekerjaan yang baru, kebiasaan baru, dan rekan kerja baru. Meninggalkan kebiasaan lama berikut juga rekan kerjanya. Adaptasi.

Awal lulus kuliah, gue memang ingin kerja di Bogor dulu, biar dekat dengan domisili, setelah merasakan kerja di Bogor, eh, malah pengen kerja di kawasan Jakarta, naik kereta dan transjakarta biar seperti pekerja kebanyakan. Hehe. Lumayan ada konten baru yang bisa diposting di instastory dengan segala keunikan cerita kemacetan di Jakarta. Untuk menuju Gatot Subroto, awalnya gue turun di Stasiun Sudirman, dilanjutkan dengan naik metromini 640 untuk menghindari kemacetan. Namanya anak baru, belum tau rute efektif lewat mana karena belum banyak tanya dan ga nanya ke teman. Singkat cerita, tiba di kantor sekitar jam 08.00, kepagian. Ruangan masih kosong. Baru bengong sebentar, akhirnya mulai pada berdatangan, ada satu supervisor dan dua rekan kerja gue, mereka gue anggap senior karena memang lebih dulu dan lebih lama masa kerjanya dibanding gue yang baru satu hari. Selain ada mereka ini, di ruangan nanti ada dua anak magang, sebab Sabtu, jadi mereka ga perlu masuk.

Diinfokan, pada hari itu udah banyak kandidat yang dihubungi untuk mengikuti proses walau pun hari Sabtu karena sedang ada kebutuhan atau projek baru. Mulai 08.30, akhirnya kandidat mulai berdatangan satu per satu. Cukup banyak, sekitar 20 orang. Awal mula wawancara kandidat, gue liat bagaimana para senior gue "beraksi", apa aja yg sekiranya wajib ditanya, selebihnya probing aja. Jujur aja, awal mula wawancara itu gue belum dapet feelnya, kandidat yang bagus itu yang seperti apa dari mulai cara menjawab, jawaban yang dilontarkan, dan sikap ketika wawancara. Seadanya aja di hari pertama itu, yang penting ngerasain dulu hiruk pikuk sebagai perekrut.

Dalam satu hari yang sama, jika ada kandidat yang hasil wawancara awal paling tidak dipertimbangkan bisa langsung mengikuti psikotes. Lagi-lagi, gue harus belajar lagi soal psikotes, bagaimana administrasinya (instruksi, dlsb), skoring, dan lain-lain. Kali ini, gue langsung "dicemplungin" sama senior gue untuk psikotes sendirian secara langsung. Ga ngerti apa motivasinya, apa dia lagi sibuk atau emang mau challenge gue aja. Sempet panik juga gue, walau pun dulu sempat jadi asisten laboratorium psikologi di kampus yang tugasnya jadi tutor buat para mahasiswa untuk administrasi alat tes psikologi, ya namanya pengalaman pertama, apalagi baru "pegang" alat tes lagi. Alhasil, untuk instruksi gue langsung cari tau sendiri di internet. Begitu dapet, gue baca instruksinya langsung dari handphone. Gugup, tapi gue harus tetep keliatan profesional dan pede.

Sekitar jam 12.00, semua kandidat diistirahatkan terlebih dulu. Kami pun butuh istirahat. Selama istirahat gue ditanya dan diajak ngobrol soal proses tadi, ya gue langsung jujur aja agak grogi waktu psikotes. Setelah itu, baru lah senior gue ini ngasih instruksi alat tes yang ada di kantor dan minta dipelajari. "YA KENAPA GA DARITADI, DONG?", dumel gue.

Di debut gue ini, ada satu kandidat yang cukup menarik, sampai sekarang gue masih inget dia lulusan SMA yang melamar jadi telemarketing. Baru lulus banget dan kalau diterima akan jadi pengalaman kerja pertama banget. Waktu diwawancara gue, entah karena masih polos juga, dia cuma "iya, iya" aja dan "siap", beruntung dia ga sampai bilang "ASHIAAAAAAP" karena memang belum trendnya ketika itu. Selama wawancara kandidat ini cuma cengengesan, gue ga liat potensi dalam diri dia, dia cuma menyampaikan kalau dia niat sekali bekerja. Di hari yang sama gue ajukan dia ke senior gue, mengejutkan, dia diterima. Oke, paling engga dia akan training terlebih dulu dan akan diliat kinerjanya.

Waktu makin sore, kandidat satu per satu mulai pulang, kerjaan hari pertama selesai. Debut gue sebagai perekrut biasa aja, dilalui dengan gugup, grogi, tapi gue cukup puas karena paling engga gue on the track, kembali lagi ke jalur gue. Jadi, gue tetep positif, pede, dan optimis. Kami pulang sekitar jam 16.00, gue pesan ojek online sampai Stasiun Cawang. Sampai di rumah sekitar jam 18.30, langsung disambut Nazliah dan ditanya, "capek, ya?" juga langsung menanyakan gimana pengalaman pertama gue sebagai perekrut. Gue berbagi cerita dan dia tetap kasih support buat gue.

Setelah gue akhirnya bisa kembali ke ruang lingkup psikologi ini, gue ingin melakukan yang terbaik dari awal, karena ini yang gue suka, area ini yang menjadikan apa yang gue kerjakan seperti bermain, perjalanan kerja serasa rekreasi. For closing, "be the best version of yourself in anything you do. You don't have to live anybody else's story." -Stephen Curry.

No comments:

Post a Comment

Catatan Seorang Perekrut #17 Recruiter yang Insecure dengan Perjalanan Karirnya

Jumat, 14 Juli 2017. Hari yang nggak akan pernah saya lupakan dalam perjalanan karir yang, usianya masih seumur jagung ini. Hari di mana akh...